Saturday 28 January 2017

PASANG SURUT POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Pasang Surut Politik Islam di Indonesia
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Politik Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA.
                                 
               Disusun oleh :
            Nur Laili Khoiriyah               (122111107)

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2015

I.                   Pendahuluan
       Islam telah menghuni Indonesia jauh sebelum datangnya kolonial Belanda. Bahkan peran Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sangatlah besar. Peran para Ulama dan tokoh-tokoh Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan bukan hanya dalam bentuk perlawanan secara fisik, namun juga menggunakan ilmu politik. Sehingga Islam dan politik di Indonesia juga sudah melekat dengan erat.
       Namun demikian, Islam tidak bisa serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Karena beberapa alasan diantaranya yaitu: karena Indonesia yang sangat luas menjadikan banyak agama dan suku adat yang pasti berkeberatan jika Negara Indonesia dijadikan negara Islam, walaupun berjanji agama yang lain tetap aman dalam naungan Islam.
       Hal tersebut sudah tampak ketika dibuatnya piagam Jakarta yang pada saat itu sudah disepakati bersama namun ada beberapa pihak yang keberatan dengan penyebutan hal-hal yang kaitannya dengan agama Islam.
       Makalah yang saya buat ini berhubungan erat dengan keadaan politik hukum islam pada tiga masa, yaitu: 1. Masa piagam Jakarta. 2. Masa Revolusi. 3. Masa Konstituante. Lebih lengkapnya akan saya paparkan dalam pembahasan.
II.                Pembahasan
1.      Piagam Jakarta
a.       Pengertian
       Piagam jakarta adalah dokumen historis yang berupa kompromi antara pihak nasionalis Islam dan nasionalis sekular  dalam BPUPKI  untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara yang disusun oleh panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945.[1]
b.      Sejarah Lahirnya Piagam Jakarta
       Dalam persidangan BPUPKI jelas sekali ada dua golongan yakni golongan para ahli agama yang menganjurkan Indonesia menjadi negara Islam, dan golongan nasionalis yang memilih kesatuan nasional dan memisahkan Islam dengan urusan negara. Sehingga diadakan pemungutan suara oleh anggota BPUPKI yang berjumlah 60 orang dengan hasil 45 orang memilih dasar negara kebangsaan dan 15 orang memilih dasar Islam.
       Setelah itu, 38 anggota mengadakan pertemuan lanjutan dan membentuk panitia sembilan untuk menyusun rancangan pembukaan UUD 1945. Dan jadilah preambul tersebut yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. dan perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonessia itu dalam suatu ssunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dan kemudian ditandatangani oleh panitia sembilan.
       Walaupun dokumentasi pidato dari pihak naionalis Islami sedikit sekali, namun tampak jelas adanyabahan masuk yang berarti dari pemikiran aktif di kalangan nasionalis Islam dengan bukti 52 ribu surat dari alim ulama yang berisi inisiatif sebagai usul saran tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan bagi Indonesia merdeka nanti. Surat-surat tersebut diterima di meja Djawa Hokokai.
       Kemudian pada tanggal 11 Juli 1945 mulai bermunculan orang-orang yang keberatan terhadap kata-kata yang menyebutkan “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang mereka menganggap kalimat tersebut tajam. Namun Ir. Soekarno menolak dengan alasan bahwa anak kalimat tersebut merupakan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan dengan susah payah.
       Setelah melewati beberapa kali perdebatan panjang mengenai anak kalimat tersebut yang selalu mendapat penolakan dari Soekarno, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah memproklamirkan kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh Soekarno dan wakil oleh Mohammad Hatta, mengadakan rapat yang membicarakan agenda pentig mengenai perubahan penting dalam Pembukaan yaitu:
1)      Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.
2)      Dalam Piagam Jakarta, anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
3)      Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Isslam” dicoret.
4)      Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti dari “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[2]
Dengan ditambahnya sila Ketuhanan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, wakil-wakil umat Islam tidak akan keberatan dengan formula Pancasila yang baru tersebut. Karena pada hakikatnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan refleksi ketauhidan. Dan  usaha-usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam pada saat itu tidak memungkinkan.
Namun demikian, umat Islam secara teratur dan berencana tetap berusaha menyalurkan aspirasi politik dari golongan-golongan terbesar umat Islam dengan menciptakan partai politik yang mendukungnya.
2.      Masa Revolusi
       Masa-masa revolusi berlangsung dari tahun 1945 sampai 1950. Pada masa ini gerakan Islam dan nasionalis berhubungan dengan baik dan harmonis. Mereka sejenak bersedia melupakan perbedaan-perbedaan ideologis mereka. Kelompok nasionalis memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu, menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik Indonesia, kelompok Islam mulai menunjukkan kekuatan yang besar.[3]
       Pada November 1945 melalui Masyumi, Islam berhasil menarik  jumlah pengikut yang besar. Partai ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama, modernis, tradisionalis, serta pemimpin – pemimpin umat Jawa – Madura maupun luar Jawa. Bahkan dukungan terbesar terhadap Masyumi diberikan oleh NU dan Muhammadiyah.
       Akan tetapi persatuan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 1952 NU memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Peristiwa itu tentu mengguncang Masyumi karena NU merupakan kelompok dengan jumlah anggota yang cukup besar. Diantara sebab –sebab yang melatarbelakangi keluarnya NU adalah konflik antara konservatisme Islam dengan modernisme Islam di dunia politik. NU merasa diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang memiliki kedudukan kuat dalam struktur organisasi yang berlaku. Berubahnya golongan NU menjadi organisasi politik mempunyai dampak yang cukup besar atas pola kepemimpinan politik Islam yang selama ini dikuasai oleh kelompok modernis.
       Selain itu perlu dicatat bahwa sebagai entitas politik yang bersatu, Indonesia saat itu masih sangat lemah. Indonesia belum mampu melakukan kontrol sosial serta belum efektif dalam mendistribusikan sumber – sumber. Hal – hal tersebut menimbulkan gejolak sosial-politik yang amat merepotkan kepemimpinan. Sebagai contoh adalah terjadinya pemberontakan Darul Islam, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia serta Perjuangan Semesta Alam.
       Sebagian besar diakibatkan ketidakmampuan pemerintah untuk merebut loyalitas masyarakat. Di Jawa Barat, DI timbul karena ketidaksetujuan Kartosuwirjo terhadap pemimpin Republik. Beliau sangat kecewa terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya kembalinya Belanda ke Indonesia. Sehingga ia menarik diri dari aktifitas politik negara. Ketika terjadi Aksi Polisionil Belanda pertama (1947), Kartosuwirjo menyerukan jihad melawan pasukan Belanda dengan menolak perjanjian Renville. Bahkan sebagai respons terhadap dibentuknya negara boneka Pasundan, ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
       Dengan dilancarkannya Aksi Polisionil Belanda yang kedua (1948), Indonesia benar-benar berada dalam kondisi krisis secara teritorial dan politik. Menghadapi situasi ini, Kartoswirjo semakin bersemangat menyeru jihad serta memproklamasikan berdirinya negara Islam bahkan diseluruh wilayah Indonesia. Menyusul kemudian pemberontakan yang terjadi di Sulawesi selatan dan Aceh yang semakin menampakkan lemahnya Indonesia. Upaya-upaya negosiasi dilakukan sampai pada akhir 1950-an Aceh diakui sebagai daerah istimewa yang otonom.
       Terlepas dari pemberontakan-pemberontakan tersebut, hubungan politik antara Islam dan negara tetap baik. Dengan dimasukkannya pernyataan monoteistik dalam Pancasila, maka sudah dipandang bahwa Indonesia adalah negara Islam. Namun hubungan baik tersebut tidak berlangsung lama. Kesepakatan ideologis yang terbentuk sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibangun di atas landasan yang rentan sehingga para elite politik negara terlibat perdebatan-perdebatan ideologis-politis mengenai bentuk negara dan bentuk konstitusionalnya. Pemicu pada masa tersebut berkisar soal pemilihan umum dan majelis Konstituante.[4]
3.      Masa  Konstituante
       Pemilihan umum pertama di Indonesia diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955. Terdapat sekitar 28 partai politik atau perorangan ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut. Walaupun banyak mereka dapat digolongkan menjadi 3 aliran ideologi, yaitu: Islam, Marxisme, dan Nasionalisme sekuler.
       Hasil pemilihan umum tidak memuaskan pihak manapun, terutama Maasyumi dan PNI yang sebelumnya berharap besar akan menang. Tidak ada satu aliranpun yang mendapat suara terbanyak mutlak.
       Segera setelah usainya pemilu yang pertama tersebut, dibentuklah kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masyumi-NU). Kabinet ini mendapat sokongan sangat kuat dari parlemen, yaitu dengan mayoritas mutlak, kecuali PKI yang tidak dibawa masuk. Kabinet ini mewakili 2 aliran besar, yakni Islam dan nasionalisme sekuler. Namun kabinet ini tidak bertahan lama, yaitu hanya selama satu tahun.[5] Tantangan yang dihadaapinya datang bertubi-tubi sehingga pada akhirnya mengakibatkan perpecahaan antara PNI dan Masyumi sebagai pendukung utama kabinet itu. Masalah-masalah yang lain berdatangan sehingga tidak memungkinkan kabinet bertahan. Masyumi telah terlebih dahulu menarik menteri-menterinya sebelum Ali menyerahkan mandatnya kepada Presiden pada Maret 1957.
Negara. Setelah Majlis Konstituante berhasil menyelesaikan 90% tugasnya, akhirnya terpaksa menempuh jalan pitas dengan dibubarkannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1950 , sementara DPR dibiarkan hidup sampai dibubarkan juga pada Maret 1960 dan digantikan dengan DPRGR.
       Dengan memasuki era pertengahan tahun 1959, sebenarnya telah masuk era Demokrasi Terpimpin ciptaan Soekarno. Melalui Dekrit Presiden, Pancasila telah dikukuhkan sebagai dasar negara dan mengorbankan dasar Islam, tapi cita-cita untuk melaksanakan ajaran Islam dalam negara Pancasila tidaklah tertutup. Yang tidak dibenarkan adalah menempatkan Islam sebagai dasar negara.[6]


III.             Kesimpulan
       Di Indonesia telah tertanam nilai-nilai Islam bahkan sebelum datangnya kolonialisme. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Islam di Indonesia memiliki arti penting, bahkan pada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga wajar saja kalau Islam ikut andil dalam perpolitikan dan berusaha menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar negara.
       Walaupun demikian perjuangan umat Islaam tidak akan sia-sia. Karena penanaman nilai-nilai Islam sebagai dasar negara belum tertutup. Masih ada kesempatan untuk bisa meraih kejayaan yang pernah hinggap walau sekejap. Hanya tinggal meyakinkan masyarakat bahwa dengan menanamkan nilai-nilai Islam, tidak akan mendeskriminasi agama lainnya. Bahwa nasionalisme juga termasuk dalam nilai Islam.























DAFTAR PUSTAKA


Anshaari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Id.m.wikipedia.org
IethaFairuz.blogspot.com
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara, 1988.




[1] Id.m.wikipedia.org diakses pada 6 April 2015 pukul 23.34 WIB.
[2] Endang Saifuddin Anshaari, Piagam Jakarta, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal. 27-47.
[3] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 92.
[4] IethaFairuz.blogspot.com diakses pada  5 April 2015 pukul 19.45 WIB.
[5] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal.121-123.
[6] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara, 1988, hal. 42-43.

1 comment:

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Kaos Dakwah Terbaru

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu

    ReplyDelete