Monday 30 May 2016

MAKALAH RAHN (GADAI)



RAHN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Manajemen Resiko Bank Syari’ah
DosenPengampu: Bapak Wahab Zaenuri

Disusun  Oleh: Tatang turhamun      (1405015198)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015/ 2016
 






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dan Landasan Hukum Rahn?
2.      Apa Rukun san Syarat Rahn?
3.      Apa yang dimaksud Pengambilan Manfaat Barang Gadai?
4.      Bagaimana Pencatatan Rahn dalam Akuntansi?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rahn dan Landasan Hukumnya
1.      Pengertian Rahan (gadai)
Arti harfiah rahn adalah tetap, kekal, dan jaminan. Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dan fasilitas pembiayaan yang diberikan.[1] Hal yang paling penting diperhatikan adalah metode penentuan biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan barang jaminan, dimana biaya tersebut tidak dibenarkan menggunakan sistem bunga yang didasarkan pada nilai pinjaman.[2]
Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada hakekatnya adalah kewajiban pihak yang menggadaikan (rahin). Namun dapat juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan biayannya harus ditanggung rahin. Besarnya biaya ini tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.[3]
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqih. Ulama Mazhab Maliki mendefiniskan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama Mazhab Hanafi mendefiniskan rahn dengan, “ Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhya maupun sebagiannya. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali  mendefinisakn rahn dalam arti akad , yaitu “Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan uang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.”
2.      Landasan Hukum
Landasan hukum rahn dapat dijelaskna sebagai berikut:
a.       QS. al-Baqarah: 283:
b.      Hadis “ Nabi SAW. Pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan beliau ‘menggadaikan’ baju besi kepadanya “ (HR. Bukhari).
c.       Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Gadai Islam (Rahn):
1.      Pertama: HUKUM, bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan.
2.      Kedua: Ketentuan Umum, meliputi:
a)      Murtahin (penerima barang) mmpunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b)      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya , marhun tidak boleh dimanfaatkan  oleh murtahin kecuali seijin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c)      Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d)     Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e)      Penjualan marhun:
1)      Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya;
2)      Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai Islam;
3)      Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; dan
4)      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
3.      Ketiga: Ketentuan Penutup:
a)      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[4]
Skema Rahn




B.     Rukun dan Syarat Rahn
1.      Rukun rahn
Para ulam fikih berbeda pendapat dalam menetapkan hokum rukun rahn.namun bila di gabungkan menurut jumhur ulama,rahn ada lima :
a.       Rahin (orang yang menggadaikan)
b.      Murtahin (orang yang menerima gadai)
c.       Marhun/rahn (objek/barang gadia)
d.      Marhun bih (hutang)
e.       Sighat (ijab kabul) [5]
2.      Syarat-syarat rahn
Para ulam fikih mengemukakan syarat-syarat ar rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri yaitu:
a.       Pelaku harus cakap hukum dan baligh.
b.      Objek yang digadaikan (marhun)
1)      Barang gadai (marhun):
a)      Dapat dijual dan nilainya seimbang;
b)      Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan;
c)      Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik;
d)     Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
2)      Utang (marhun bih), nilai utang yang harus jelas demikian juga tanggal jatuh temponya.
c.       Ijab Kabul, adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.[6]

C.    Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad. Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul bersabda:
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[7]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[8]

D.    Perlakuan Akuntansi Rahn
Bagi Pihak yang Menerima Gadai (Murtahin)
Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda terima atas barang.
1.      Pada saat menyerahkan uang pinjaman.
Jurnal:
Dr. Piutang                                                                        xxx
      Cr. Kas                                                                                    xxx
2.      Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan.
Jurnal:
Dr. Kas                                                                              xxx
      Cr. Pendapatan                                                                                   xxx
3.      Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan.
Jurnal:
Dr. Beban                                                                          xxx
      Cr. Kas                                                                                                xxx
4.      Pada saat pelunasan uang pinjaman, barang gadai dikembalikan dengan membuat tanda serah terima barang.
Jurnal:
Dr. Kas                                                                              xxx
      Cr. Piutang                                                                                          xxx
5.      Jika pada saat jatuh tempo, uang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang gadai dijual oleh pihak yang menggadaikan.
Penjualan barang gadai, jika nilainya sama dengan piutang.
Jurnal:
Dr. Kas                                                                              xxx
      Cr. Piutang                                                                                          xxx
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan dengan saldo piutang.

Bagi Pihak yang Menggadaikan
Pada saat menyerahkan asset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima atas penyerahan asset serta membuat penjelasan atas catatan akuntansi atas barang yang digadaikan.
1.      Pada saat menerima uang pinjaman.
Jurnal:
Dr. Kas                                                                              xxx
      Cr. Utang                                                                                            xxx
2.      Bayar uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan.
Jurnal:
Dr. Beban                                                                          xxx
      Cr. Kas                                                                                                xxx
3.      Ketika dilakukan pelunasan atas utang.
Jurnal:
Dr. Utang                                                                          xxx
      Cr. Kas                                                                                                xxx

4.      Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual pada saat penjualan barang gadai.
Jurnal:
Dr. Kas                                                                              xxx
Dr. Akumulasi Penyusutan (apabila asset tetap)               xxx
Dr. Kerugian (apabila rugi)                                               xxx
      Cr. Keuntungan (apabila untung)                                                       xxx
Cr. Aset                                                                                               xxx
Pelunasan utang atas barang yang dijual pihak yang menggadai.
Jurnal:
Dr. Utang                                                                          xxx
      Cr. Kas                                                                                                xxx
Jika masih ada kekurangan pembayaran utang setelah penjualan barang gadai tersebut, maka berarti pihak yang menggadaikan masih memiliki ssaldo utang kepada pihak yang menerima gadai.[9]



BAB III
                                                                        PENUTUP             
A.    Kesimpulan
Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dan fasilitas pembiayaan yang diberikan. Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang berutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada hakekatnya adalah kewajiban pihak yang menggadaikan (rahin). Namun dapat juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan biayannya harus ditanggung rahin. Besarnya biaya ini tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad. Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut

B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Nurul Huda, Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: KENCANA, 2013.
Sjahdeini Sutan Remy, Perbankan Islam, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakata: Raja Grafindo Persada, 2002.
Wasilah ,Nurhayati Sri, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2015.


[1] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 78.
[2] Nurul Huda, Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam, Jakarta: KENCANA, 2013, hlm. 99.
[3] Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2015, hlm. 269.
[4] Ibid., hlm. 99-101..
[6] Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, hlm. 271.
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakata: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 108-109.

[9] Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, hlm. 272-273.

0 komentar:

Post a Comment