MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Manajemen Resiko Bank Syari’ah
DosenPengampu: Bapak Wahab Zaenuri
Disusun Oleh: Tatang turhamun (1405015198)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015/ 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan
dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Hutang
piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena
ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang
terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan
hartanya.
Dalam
hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai
boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.Akan
tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak
sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar
hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa
itu gadai dan hukumnya
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Landasan Hukum Rahn?
2. Apa Rukun san Syarat Rahn?
3. Apa yang dimaksud Pengambilan Manfaat Barang Gadai?
4. Bagaimana Pencatatan Rahn dalam Akuntansi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Rahn dan Landasan Hukumnya
1. Pengertian Rahan (gadai)
Arti harfiah rahn adalah tetap, kekal, dan jaminan. Rahn merupakan perjanjian penyerahan
barang untuk menjadi agunan dan fasilitas pembiayaan yang diberikan.[1]
Hal yang paling penting diperhatikan adalah metode penentuan biaya pemeliharaan
dan sewa tempat penyimpanan barang jaminan, dimana biaya tersebut tidak
dibenarkan menggunakan sistem bunga yang didasarkan pada nilai pinjaman.[2]
Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang
berutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada hakekatnya adalah
kewajiban pihak yang menggadaikan (rahin). Namun dapat juga dilakukan oleh
pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan biayannya harus ditanggung rahin.
Besarnya biaya ini tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.[3]
Ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh ulama fiqih. Ulama Mazhab Maliki mendefiniskan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya
dijadikan jaminan utang yang bersifat mengikat.
Ulama Mazhab Hanafi
mendefiniskan rahn dengan, “
Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhya maupun
sebagiannya. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisakn rahn dalam arti akad , yaitu “Menjadikan materi (barang) sebagai
jaminan uang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang
tidak bisa membayar utangnya itu.”
2. Landasan Hukum
Landasan
hukum rahn dapat dijelaskna sebagai
berikut:
a. QS. al-Baqarah: 283:
b. Hadis “ Nabi
SAW. Pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan beliau
‘menggadaikan’ baju besi kepadanya “ (HR. Bukhari).
c. Fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Gadai Islam
(Rahn):
1. Pertama: HUKUM, bahwa pinjaman dengan menggadaikan
barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
dibolehkan.
2. Kedua: Ketentuan
Umum, meliputi:
a) Murtahin (penerima barang) mmpunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya , marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin
kecuali seijin rahin, dengan
tidak mengurangi nilai marhun dan
pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap
menjadi kewajiban rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan
biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
e) Penjualan marhun:
1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin
untuk segera melunasi utangnya;
2) Apabila rahin tetap
tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai Islam;
3) Hasil penjualan marhun
digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang
belum dibayar serta biaya penjualan; dan
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban rahin.
3. Ketiga: Ketentuan Penutup:
a) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[4]
Skema
Rahn
B.
Rukun dan Syarat Rahn
1.
Rukun rahn
Para ulam fikih berbeda pendapat dalam
menetapkan hokum rukun rahn.namun bila di gabungkan menurut jumhur ulama,rahn
ada lima :
a.
Rahin (orang yang
menggadaikan)
b.
Murtahin (orang yang menerima
gadai)
c.
Marhun/rahn (objek/barang gadia)
d.
Marhun bih (hutang)
2.
Syarat-syarat rahn
Para ulam fikih mengemukakan
syarat-syarat ar rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri yaitu:
a.
Pelaku harus
cakap hukum dan baligh.
b.
Objek yang
digadaikan (marhun)
1) Barang gadai (marhun):
a) Dapat dijual dan nilainya seimbang;
b) Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan;
c) Harus jelas dan dapat ditentukan secara spesifik;
d) Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal
kepemilikan)
2) Utang (marhun bih), nilai utang yang harus jelas
demikian juga tanggal jatuh temponya.
c.
Ijab Kabul,
adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-pihak pelaku
akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.[6]
C. Pengambilan
Manfaat Barang Gadai
Dalam
pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat,
diantara jumhur fuqaha
dan ahmad. Jumhur
fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat
barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini
termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan
termasuk riba.
Rasul
bersbada:
“Setiap orang
yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan
al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau
binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang
dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang
tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul bersabda:
“ Binatang tunggangan boleh
ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya
untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang
dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[7]
Pengambilan
manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk
pemeliharaan sehingga bagi yang memegang
barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus
membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di
bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang
ada pada dirinya.[8]
D. Perlakuan
Akuntansi Rahn
Bagi Pihak yang Menerima Gadai (Murtahin)
Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi
membuat tanda terima atas barang.
1. Pada saat menyerahkan uang pinjaman.
Jurnal:
Dr. Piutang xxx
Cr. Kas xxx
2. Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan
penyimpanan.
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Cr. Pendapatan xxx
3. Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan
dan penyimpanan.
Jurnal:
Dr. Beban xxx
Cr. Kas xxx
4. Pada saat pelunasan uang pinjaman, barang gadai
dikembalikan dengan membuat tanda serah terima barang.
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Cr. Piutang xxx
5. Jika pada saat jatuh tempo, uang tidak dapat dilunasi
dan kemudian barang gadai dijual oleh pihak yang menggadaikan.
Penjualan barang
gadai, jika nilainya sama dengan piutang.
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Cr. Piutang xxx
Jika kurang,
maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan dengan saldo
piutang.
Bagi Pihak yang Menggadaikan
Pada saat menyerahkan asset tidak dijurnal, tetapi
menerima tanda terima atas penyerahan asset serta membuat penjelasan atas
catatan akuntansi atas barang yang digadaikan.
1. Pada saat menerima uang pinjaman.
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Cr. Utang xxx
2. Bayar uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan.
Jurnal:
Dr. Beban xxx
Cr. Kas xxx
3. Ketika dilakukan pelunasan atas utang.
Jurnal:
Dr. Utang xxx
Cr. Kas xxx
4. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi
sehingga barang gadai dijual pada saat penjualan barang gadai.
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Dr. Akumulasi
Penyusutan (apabila asset tetap) xxx
Dr. Kerugian
(apabila rugi) xxx
Cr. Keuntungan (apabila untung) xxx
Cr. Aset xxx
Pelunasan utang atas barang yang dijual pihak yang
menggadai.
Jurnal:
Dr. Utang xxx
Cr. Kas xxx
Jika masih ada kekurangan
pembayaran utang setelah penjualan barang gadai tersebut, maka berarti pihak
yang menggadaikan masih memiliki ssaldo utang kepada pihak yang menerima gadai.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk
menjadi agunan dan fasilitas pembiayaan yang diberikan. Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih
mempercayai pihak yang berutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian
pada hakekatnya adalah kewajiban pihak yang menggadaikan (rahin). Namun dapat
juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan biayannya
harus ditanggung rahin. Besarnya biaya ini tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.
Dalam
pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat,
diantara jumhur fuqaha
dan ahmad. Jumhur
fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat
barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini
termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan
termasuk riba. Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat
diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama
kendaraaan atau binatang itu ada padanya.
Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh
menggunakan barang gadai tersebut
B.
Saran
Demikian makalah
yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal
penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurul Huda,
Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam,
Jakarta: KENCANA, 2013.
Sjahdeini
Sutan Remy, Perbankan Islam, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakata: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Wasilah ,Nurhayati
Sri, Akuntansi Syari’ah di Indonesia,
Jakarta: Salemba Empat, 2015.
[3] Sri
Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syari’ah di
Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2015, hlm. 269.
[5] http://sulthonhasanilardli.blogspot.co.id/2014/06/makalah-fiqih-muamalah-tentang-rahn.html. Di
akses pada tanggal 20/05/2016 pukul 14.34.
[7] http://hamasfaiumi.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html. Di
akses pada tanggal 20/05/2016 pukul 15.14.
0 komentar:
Post a Comment