Saturday, 28 January 2017

PASANG SURUT POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Pasang Surut Politik Islam di Indonesia
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Politik Hukum Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA.
                                 
               Disusun oleh :
            Nur Laili Khoiriyah               (122111107)

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2015

I.                   Pendahuluan
       Islam telah menghuni Indonesia jauh sebelum datangnya kolonial Belanda. Bahkan peran Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sangatlah besar. Peran para Ulama dan tokoh-tokoh Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan bukan hanya dalam bentuk perlawanan secara fisik, namun juga menggunakan ilmu politik. Sehingga Islam dan politik di Indonesia juga sudah melekat dengan erat.
       Namun demikian, Islam tidak bisa serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Karena beberapa alasan diantaranya yaitu: karena Indonesia yang sangat luas menjadikan banyak agama dan suku adat yang pasti berkeberatan jika Negara Indonesia dijadikan negara Islam, walaupun berjanji agama yang lain tetap aman dalam naungan Islam.
       Hal tersebut sudah tampak ketika dibuatnya piagam Jakarta yang pada saat itu sudah disepakati bersama namun ada beberapa pihak yang keberatan dengan penyebutan hal-hal yang kaitannya dengan agama Islam.
       Makalah yang saya buat ini berhubungan erat dengan keadaan politik hukum islam pada tiga masa, yaitu: 1. Masa piagam Jakarta. 2. Masa Revolusi. 3. Masa Konstituante. Lebih lengkapnya akan saya paparkan dalam pembahasan.
II.                Pembahasan
1.      Piagam Jakarta
a.       Pengertian
       Piagam jakarta adalah dokumen historis yang berupa kompromi antara pihak nasionalis Islam dan nasionalis sekular  dalam BPUPKI  untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara yang disusun oleh panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945.[1]
b.      Sejarah Lahirnya Piagam Jakarta
       Dalam persidangan BPUPKI jelas sekali ada dua golongan yakni golongan para ahli agama yang menganjurkan Indonesia menjadi negara Islam, dan golongan nasionalis yang memilih kesatuan nasional dan memisahkan Islam dengan urusan negara. Sehingga diadakan pemungutan suara oleh anggota BPUPKI yang berjumlah 60 orang dengan hasil 45 orang memilih dasar negara kebangsaan dan 15 orang memilih dasar Islam.
       Setelah itu, 38 anggota mengadakan pertemuan lanjutan dan membentuk panitia sembilan untuk menyusun rancangan pembukaan UUD 1945. Dan jadilah preambul tersebut yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. dan perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonessia itu dalam suatu ssunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dan kemudian ditandatangani oleh panitia sembilan.
       Walaupun dokumentasi pidato dari pihak naionalis Islami sedikit sekali, namun tampak jelas adanyabahan masuk yang berarti dari pemikiran aktif di kalangan nasionalis Islam dengan bukti 52 ribu surat dari alim ulama yang berisi inisiatif sebagai usul saran tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan bagi Indonesia merdeka nanti. Surat-surat tersebut diterima di meja Djawa Hokokai.
       Kemudian pada tanggal 11 Juli 1945 mulai bermunculan orang-orang yang keberatan terhadap kata-kata yang menyebutkan “kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang mereka menganggap kalimat tersebut tajam. Namun Ir. Soekarno menolak dengan alasan bahwa anak kalimat tersebut merupakan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan dengan susah payah.
       Setelah melewati beberapa kali perdebatan panjang mengenai anak kalimat tersebut yang selalu mendapat penolakan dari Soekarno, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah memproklamirkan kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh Soekarno dan wakil oleh Mohammad Hatta, mengadakan rapat yang membicarakan agenda pentig mengenai perubahan penting dalam Pembukaan yaitu:
1)      Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.
2)      Dalam Piagam Jakarta, anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
3)      Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Isslam” dicoret.
4)      Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti dari “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[2]
Dengan ditambahnya sila Ketuhanan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, wakil-wakil umat Islam tidak akan keberatan dengan formula Pancasila yang baru tersebut. Karena pada hakikatnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan refleksi ketauhidan. Dan  usaha-usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam pada saat itu tidak memungkinkan.
Namun demikian, umat Islam secara teratur dan berencana tetap berusaha menyalurkan aspirasi politik dari golongan-golongan terbesar umat Islam dengan menciptakan partai politik yang mendukungnya.
2.      Masa Revolusi
       Masa-masa revolusi berlangsung dari tahun 1945 sampai 1950. Pada masa ini gerakan Islam dan nasionalis berhubungan dengan baik dan harmonis. Mereka sejenak bersedia melupakan perbedaan-perbedaan ideologis mereka. Kelompok nasionalis memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu, menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik Indonesia, kelompok Islam mulai menunjukkan kekuatan yang besar.[3]
       Pada November 1945 melalui Masyumi, Islam berhasil menarik  jumlah pengikut yang besar. Partai ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama, modernis, tradisionalis, serta pemimpin – pemimpin umat Jawa – Madura maupun luar Jawa. Bahkan dukungan terbesar terhadap Masyumi diberikan oleh NU dan Muhammadiyah.
       Akan tetapi persatuan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 1952 NU memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Peristiwa itu tentu mengguncang Masyumi karena NU merupakan kelompok dengan jumlah anggota yang cukup besar. Diantara sebab –sebab yang melatarbelakangi keluarnya NU adalah konflik antara konservatisme Islam dengan modernisme Islam di dunia politik. NU merasa diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang memiliki kedudukan kuat dalam struktur organisasi yang berlaku. Berubahnya golongan NU menjadi organisasi politik mempunyai dampak yang cukup besar atas pola kepemimpinan politik Islam yang selama ini dikuasai oleh kelompok modernis.
       Selain itu perlu dicatat bahwa sebagai entitas politik yang bersatu, Indonesia saat itu masih sangat lemah. Indonesia belum mampu melakukan kontrol sosial serta belum efektif dalam mendistribusikan sumber – sumber. Hal – hal tersebut menimbulkan gejolak sosial-politik yang amat merepotkan kepemimpinan. Sebagai contoh adalah terjadinya pemberontakan Darul Islam, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia serta Perjuangan Semesta Alam.
       Sebagian besar diakibatkan ketidakmampuan pemerintah untuk merebut loyalitas masyarakat. Di Jawa Barat, DI timbul karena ketidaksetujuan Kartosuwirjo terhadap pemimpin Republik. Beliau sangat kecewa terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya kembalinya Belanda ke Indonesia. Sehingga ia menarik diri dari aktifitas politik negara. Ketika terjadi Aksi Polisionil Belanda pertama (1947), Kartosuwirjo menyerukan jihad melawan pasukan Belanda dengan menolak perjanjian Renville. Bahkan sebagai respons terhadap dibentuknya negara boneka Pasundan, ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
       Dengan dilancarkannya Aksi Polisionil Belanda yang kedua (1948), Indonesia benar-benar berada dalam kondisi krisis secara teritorial dan politik. Menghadapi situasi ini, Kartoswirjo semakin bersemangat menyeru jihad serta memproklamasikan berdirinya negara Islam bahkan diseluruh wilayah Indonesia. Menyusul kemudian pemberontakan yang terjadi di Sulawesi selatan dan Aceh yang semakin menampakkan lemahnya Indonesia. Upaya-upaya negosiasi dilakukan sampai pada akhir 1950-an Aceh diakui sebagai daerah istimewa yang otonom.
       Terlepas dari pemberontakan-pemberontakan tersebut, hubungan politik antara Islam dan negara tetap baik. Dengan dimasukkannya pernyataan monoteistik dalam Pancasila, maka sudah dipandang bahwa Indonesia adalah negara Islam. Namun hubungan baik tersebut tidak berlangsung lama. Kesepakatan ideologis yang terbentuk sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibangun di atas landasan yang rentan sehingga para elite politik negara terlibat perdebatan-perdebatan ideologis-politis mengenai bentuk negara dan bentuk konstitusionalnya. Pemicu pada masa tersebut berkisar soal pemilihan umum dan majelis Konstituante.[4]
3.      Masa  Konstituante
       Pemilihan umum pertama di Indonesia diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955. Terdapat sekitar 28 partai politik atau perorangan ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut. Walaupun banyak mereka dapat digolongkan menjadi 3 aliran ideologi, yaitu: Islam, Marxisme, dan Nasionalisme sekuler.
       Hasil pemilihan umum tidak memuaskan pihak manapun, terutama Maasyumi dan PNI yang sebelumnya berharap besar akan menang. Tidak ada satu aliranpun yang mendapat suara terbanyak mutlak.
       Segera setelah usainya pemilu yang pertama tersebut, dibentuklah kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masyumi-NU). Kabinet ini mendapat sokongan sangat kuat dari parlemen, yaitu dengan mayoritas mutlak, kecuali PKI yang tidak dibawa masuk. Kabinet ini mewakili 2 aliran besar, yakni Islam dan nasionalisme sekuler. Namun kabinet ini tidak bertahan lama, yaitu hanya selama satu tahun.[5] Tantangan yang dihadaapinya datang bertubi-tubi sehingga pada akhirnya mengakibatkan perpecahaan antara PNI dan Masyumi sebagai pendukung utama kabinet itu. Masalah-masalah yang lain berdatangan sehingga tidak memungkinkan kabinet bertahan. Masyumi telah terlebih dahulu menarik menteri-menterinya sebelum Ali menyerahkan mandatnya kepada Presiden pada Maret 1957.
Negara. Setelah Majlis Konstituante berhasil menyelesaikan 90% tugasnya, akhirnya terpaksa menempuh jalan pitas dengan dibubarkannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1950 , sementara DPR dibiarkan hidup sampai dibubarkan juga pada Maret 1960 dan digantikan dengan DPRGR.
       Dengan memasuki era pertengahan tahun 1959, sebenarnya telah masuk era Demokrasi Terpimpin ciptaan Soekarno. Melalui Dekrit Presiden, Pancasila telah dikukuhkan sebagai dasar negara dan mengorbankan dasar Islam, tapi cita-cita untuk melaksanakan ajaran Islam dalam negara Pancasila tidaklah tertutup. Yang tidak dibenarkan adalah menempatkan Islam sebagai dasar negara.[6]


III.             Kesimpulan
       Di Indonesia telah tertanam nilai-nilai Islam bahkan sebelum datangnya kolonialisme. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Islam di Indonesia memiliki arti penting, bahkan pada masa perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga wajar saja kalau Islam ikut andil dalam perpolitikan dan berusaha menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar negara.
       Walaupun demikian perjuangan umat Islaam tidak akan sia-sia. Karena penanaman nilai-nilai Islam sebagai dasar negara belum tertutup. Masih ada kesempatan untuk bisa meraih kejayaan yang pernah hinggap walau sekejap. Hanya tinggal meyakinkan masyarakat bahwa dengan menanamkan nilai-nilai Islam, tidak akan mendeskriminasi agama lainnya. Bahwa nasionalisme juga termasuk dalam nilai Islam.























DAFTAR PUSTAKA


Anshaari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Id.m.wikipedia.org
IethaFairuz.blogspot.com
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara, 1988.




[1] Id.m.wikipedia.org diakses pada 6 April 2015 pukul 23.34 WIB.
[2] Endang Saifuddin Anshaari, Piagam Jakarta, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal. 27-47.
[3] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 92.
[4] IethaFairuz.blogspot.com diakses pada  5 April 2015 pukul 19.45 WIB.
[5] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal.121-123.
[6] Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara, 1988, hal. 42-43.

Saturday, 7 January 2017

MAKALAH DINASTI ABASIYAH



DINASTI ABBASIYAH

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Anthin Latifah, M.ag.


Disusun oleh:
           Nihayatul  Ifadhloh         (122111103)
           Nur Halimah                    (122111106)
           Nur Laily Khoiriyah             (122111)

HUKUM PERDATA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
WALISONGO
SEMARANG
2015
Dinasti Abbasiyah

I.                   Pendahuluan
Setelah kemunduran pemerintahan bani umayyah pada tahun 132 H/749 M yang dikalahkan oleh pasukan bani abbasiyah, maka lahirlah pemerintahan baru yaitu pemerintahan bani abbasiyah. Pemerintahan bani abbasiyah dinisbatkan kepada al abbas, paman rasulullah SAW. Sementara itu khalifah pertama dari pemerintahan ini adlah abdullah as-saffah bin muhammad bin ali bin abdullah bin abbas bin abdul mutthalib. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangnan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani hasyim (alawiyun) setelah meninggalnya rasulullah.[1]
Dalam pemerintahan bani abbasiyah terdapat bebrapa pendapat tentang penggolongan periode pemerintahan, ada yang menggolongkan pemerihtahan abbasiyah kedalam dua periode. Namun dalam literatur lain periode pemerimtahan bani abbasiyah di bagi kedalam lima periode. Pembagian tersebut hanya berbeda dari pengelompokan tahunya, terlepas dari perbedaan pembagian periode pemerintahan, pemerintahan bani abbasiyah terkenal dengan kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan, mulai dari ilmu tafsir, hadits, tasawuf, bahasa, kedokteran dll. Kemudian juga nama-nama ilmuawan muslim yang mulai di kenal dunia, seprti ibnu sina yang dikenal sebagai ahli ilmu kedokteran.
Dalam tulisan ini pemaklah akan membhas tentang bagaimana awal mula berdirinya daulah bani abbasiyah, kemudian kemajuan-kemajuan yang ada pada masa itu, hingga ahirnya bagaimana tumbangnya pemerintahan bani abbasiyah.

II.                Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :
A.           Awal Mula Islam Dinasti Abbasiyah  !
B.            Perkembangan Dan Kemajuan Islam Masa Dinasti Abbasiyah !
C.            Kemunduran Dan Kehancuran Islam Masa Dinasti Abbasiyah  !
III.             Pembahasan
A.    Awal Mula Islam Dinasti Abbasiyah 
Abbbas ibnu abdul muthalib dari namanya disitu dinasti abbasiyah disandarkan. Terdapat tiga tempat yang merupakan kunci pokok berdirinya dinasti abbasiyah, yaitu humaimah, kufah dan kurasan.  humaimah yang merupakan tempat yang tentram dimana keluarga bani hasyim baik kalangan ali maupun abbas yang salah seorang pemimpinya bernamaal imam muhammad ibn ali yang meletakkan dasar-dasar bagi berdirimya daulah abasiyah. Kemudian disebarkan di kuffah, sedangkan tempat pergolakan di lakukan di khurrasan yang jauh dari pengamaatan bani umayyah. Propaganda abbasiyah di lakukan dengan dua tahap, yakni dengan tahap yang sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang. Yang kedua, menggabungkan para pengikut abu muslim al khurrasani dengan pengikut abbasiyah yang mana sama-sama melakuakn perlawanan terhadap pemeriantahan muawiyah. Pimpinan muawiyah saat itu yang ada di kuffah, yazid ibnu umar ibnu hubairah, ditaklukan oleh abbasiyah. Abdullah ibnu ali salah seorang paman abu al abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah muawiyah terahir, yaitu marwan ibnu muhammad bersama pasukanya yang melarikan diri sampai ke fustat di mesir, dan ahirnya terkalahkan dan terbunuh di busir pada tahun 132 H/750 M.[2]
Abdullah as safffah bersama-sama dengan pengikutnya mendeklarasikan pemerintahanya di masjid kuffah dan dia di baiat pada bulan rabiul awal tahun 132 H/749 M. Dengan demikian maka berdirilah daulah abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, abu abbas as saffah yang berpusat pertamakalinya di kufah. Setelah mendeklarasikan pemerintahanya, suffah kemudian memberangkatkan pasukanya untuk memerangi khalifah terahir bani umayyah, dan dimenangkan oleh bani abbas. dengan demikian semua wilayah pemerintahan bani umayyah berada dibawah pemerintahan bani abbasiyah kecuali andalusia.[3]
Pemerimtahan bani abbasiyah dinisbathkan kepada al abbas, paman rasulullah SAW. Silsilah khalifah pertamanya adalah abdullah as saffah bin muhammad bin ali bin abdullah bin abbasbin abdul mutthalib. Berdirinyaa pemerintahan ini merupakan kemenangan dengan salah satu pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani hasyim bahwa yang berhak memimpin adlaah keturunan nabi muhammad SAW. Namun pemikiran ini salah, setelah melihat pada awal islam setelah rasulullah, pemikiran islam yang lurus dan benarlah yang terjad saat itu, bahwa kepemimpinan adalah hak semua kaum muslimin yang mampu mneyandang amanat.[4]
Kekuasaan dinasti abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu drai tahun 132 H/750 M-656 H/1258 M. Selama masa dinasti berkuasa dengan pemimpin yang berubah-rubah,maka sisitem pemerintahan pun yang digunakan berbeda-beda seuai dengan perunahan politik, sosial dan budaya. Pada mulanya ibu kota negaranya adalah al-hasyimiyah, dekat kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu , khalifah al-masnyur memindahkan ibukota negara ke kota yang baru dibangunya, baghdad dekat bekas ibukota persia, ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan bani abbas berada ditengah-tengah bangsa persia.[5]
Para khalifah Bani Abbasiyah sebanyak 37 orang, sebagaimana tercantum di bawah ini:[6]
1
Abul Abbas as-Saffah
132-136 H / 748-754 M
2
Abu Ja’far al-Mansur
136-158 H / 754-775 M
3
Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi
158-169 H / 775-785 M
4
Abu Muhammad Musa al-Hadi
169-170 H / 785-786 M
5
Abu Ja’far Harun ar-Rasyid
170-193 H / 786-809 M
6
Abu Musa Muhammad al-Amin
193-198 H / 809-813 M
7
Abu Ja’far Abdullah al-Makmun
198-218 H / 813-833 M

(Ibrahim ibn al-Mahdi di Bagdad)
201-203 H / 817-819 M
8
Abu Ishaq Muhammad al-Mu’tasim
218-227 H / 833-842 M
9
Abu Ja’far Harun al-Wasiq
227-232 H / 842-847 M
10
Abu Fadl Ja’far al-Mutawakkil
232-247 H / 847-861 M
11
Abu Ja’far Muhammad al-Muntasir
247-248 H / 861-862 M
12
Abul Abbas Ahmad al-Musta’in
248-252 H / 862-866 M
13
Abu Abdullah Muhammad al-Mu’taz
252-255 H / 866-869 M
14
Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi
255-256 H / 869-870 M
15
Abul Abbas Ahmad al-Mu’tamid
256-279 H / 870-892 M
16
Abul Abbas Ahhmad al-Mu’tadid
279-289 H / 892-902 M
17
Abu Muhammad Ali al-Muktafi
289-295 H / 902-905 M
18
Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir
295-320 H / 905-932 M
19
Abu Mansur Muhammad al-Qahir
320-322 H / 932-934 M
20
Abul Abbas Ahmad ar-Radi
322-329 H / 934-940 M
21
Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi
329-323 H / 940-944 M
22
Abul Qasim Abdullah al-Mustaqfi
323-334 H / 944-946 M
23
Abul Qasim al-fadlal-Miti’
334-362 H / 946-974 M
24
Abul Fadl Abdul Karim
362-381 H / 974-991 M
25
Abul Abbas Ahmad al-Qadir
381-442 H / 991-1031 M
26
Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im
422-467 H / 1031-1075 M
27
Abul Qasim Abdullah al-Muqtadi
467-487 H / 1075-1094 M
28
Abul Abbas Ahmad al-Mustazhir
487-512 H / 1094-1118 M
29
Abu Mansur al-Fadl al-Mustarsyid
512-529 H / 1118-1135 M
30
Abu Ja’far al-Mansur al-Fadl al-Mustarsyid
529-530 H / 1135-1136 M
31
Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi
530-555 H / 1136-1160 M
32
Abul Muzaffar al-Mustanjid
555-566 H / 1160-1170 M
33
Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadi’
566-575 H / 1170-1180 M
34
Abul Abbas Ahmad an-Nasir
575-622 H / 1180-1225 M
35
Abu Nasr Muhammad az-Zahir
622-623 H / 1225-1226 M
36
Abu Ja’far al-Mansur al-Muntasir
623-640 H / 1226-1242 M
37
Abu Ahmad Abdullah al-Musta’sim
640-656 H / 1242-1258 M     

B.     Perkembangan Dan Kemajuan Islam Masa Dinasti Abbasiyah
Pemerintahan kekahalifahan bani abbas bertumpu pada banyakna seistem yang pernah dipraktekan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik yang muslim maupun non muslim. Corak penempatan kekuasaan tertinggi yang diberikan kepada para ulama’ memberikan  kesan yang berbeda dengan pemerintahan khulafaur rasyidin yang memeberikan kekuasaan dnegan rakyat, sehingga disebut sistem teokrasi. Para kholifah juga memimpin agama, tidak hanya negara. [7]
Jika dalam dasar pemerintahan daulah abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh abu abbas dan abu ja’far al mansur maka puncak keemasan dinasit ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al mahdi (775-785 M), Al-hadi (775-786 M), harun ar rasyid (786-809 M), Al ma’mun (813-833 M), Al mu’tashim (833-842 M), Al Wsiq (842-847 M), dan Al mutawakkil (847-861 M). Pada masa al mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian melaui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan, seperti perak emas tembaga dan besi. Namun popularitas bani abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah harun ar rasyid (786-809 M) dan putranya al makmun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan oleh harun as rasyid untuk keperluan sosial, pendidikan, dan kesehatan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasanya. Kemudian al makmun sebagai pengganti harun ar rasyid dikenal sebagai khalifah yang sangat mencintai ilmu, hal ini dapat dilihat pada masanya yang menggalangkan penerjemah-penerjemah buku asing, dan juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karyanya yang terpenting adalah pembangunan baitul hikmah yaitu pusat penerjemahan yang berfungsi seagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar, dan pada mas inilah baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pnegetahuan. kemudian al musta’im (832-842 M) yang mengadakan perubahan pada siistem ketentaraan, tentara-tentara muslim dibinasecara khusus menjadi prajurit profesional, dengan demikian kekuatan militer sinasti abbaisyah menjadi sangat kuat. Nmaun dalam pemerintahan ini bnayak terjadi pemberontakan baik dari kalangan internal maupun eksternal, namun semuanya dapat dipadamkan. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa pemerintahan bani abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Inilah salah satu hal yang membedakan bani umayyah dan bani abbasiyah. [8]
Pemerintahan abbasiyah meenmpatkan baghdad sebagai ibukota negara, kemudian mnejadi pusat kegiatan pemerintahan, salah satunya pusat kegiatan politik, sosial kebudayaan, teruka untuk segala bangsa dan keyakinan, sehingga terkumpulah bangsa-bansga disana, seperti arab turli, persia, romawi, qithbi, hindia, barbari, kurdi, dll. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang snagat pentingdan mulia, yang didukung oleh pemerintahan dengan fasilitasnya, dan juga tidka heran para ulama’ yang mencintai ilmu, menghormati sarjana, dan memuliakan pujangga. Kbebeasan berfikir diakui sepenuhnya, dengan membebaskan belenggu taqlid yang mneyebabkan orang sangat leluasa mnegeluarkan pendapat.[9] Khalifah harun merupakan pengauasa yang paling kuuat pada masanya, tidak ada yang menyamainya dalam hal kekuasaan wilayah, kebudayaan, dan peradaaban.[10]
Kemantapan dalam berbagai bidang, khusunya politik pada masa pemerintahan abasiyah turut andil mempengaruhi perembangan ekonomi hingga ilmu pegetahuan, baik tentang agama atau bukan. Seperti halnya ilmu tasawuf yang merupakan salah satu ilmu yang tumbuh dan berkembang, dan kemudian disusul dengan lahirnya ilmu zuhud. Zahid-zahid yang terkenal sperti hasan al bashri dan rabi’ah al adawiyah. Kemduian pada ilmu bahasa menjadi sangat cepat berkembang, akrena pada masanya bahas aarab menjadi bahasa internasional. Zaman keemasan islam pada masanya saati itu jug ajuga telah melahirkan berbagai pakar ahli hukum (fiqh) yang terbagi dalam dua lairan yaitu ahli ra’yi dan ahli hadits yang menyebabkan pertentangan dalam hal pengambilan hukum. Kemudian hal itu menyebabkan para ulama sibuk emmbuat kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh para mujtahid dalam mengambil hukum, dan ahirnya lahirlah para fuqoha ternama yang sampai saat ini kita kenal, yaitu imam abu hanifah, imam malik, imam syafi’i, imam ahmad. Tidak hanya itu, dalam hal ilmu aqli atau yang didasarkan kepada rasio yang kebanyakan diterjemahkan daria bahsa asing seperti yunani, persia, imdia. Yang termasuk ilmu ini antar lain adalah; kedokteran, kimia, filsafat, fisika, tata negara, musik, astronomi, dan ilmu hitung. Hal ini kemduian melahirkan para intelek muslim disegala bidang lapangan ilmu yang mampu mencengangkan mata dunia pada islam.[11]
Daiantara berabgai bidang yang dipelopori oleh ilmuawan muslim pada masa itu adalah :
1.      Bidang astronomi
Nama al farazi merupakan nam apertama yang dikenla dalam islam dengan berhasil menyusun astrolobe dan hairnya dikenal dieropa denngan nama al faragnus.
2.      Bidang kedokteran
Nama ibnu sina dan ar razi yang mempelopori ilmu kedokteran pada masnaya, dan ibnu sina merupakan orang yang pertama menyusun ensiklopedia ilmu kedokteran terbesar dalam sejerah.
3.      Bidang optika
Abu ali al hasan ibn al haytami yang dieropa dikenal dnegan nama alhazen.
4.      Bidang kimia
Terkenal nama Jabir ibnu hayyun yangberpendapat bahwa logam seperti timah, besi da tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan suatu zzta kimia.
5.      Bidang matematika
Nama muhammada ibnu musa al khawarizmi yang menciptakan al jabar ang dikenal dengan aritmatika.
6.      Bidang filsafat
Terdapat beberapa nama dalam bidang filsuf ini diantaranya Al farabi, ibnu sina, dan ibnu rusyd.[12]
C.    Kemunduran Dan Kehancuran Islam Masa Dinasti Abbasiyah 
Akhir dari kekuasaan Abbasiyah ialah ketika Bagdad dihacurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh hulagu khan, 656/1258. Ia adalah saudra Qubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah sebelah barat dari Cina itu ke pangkuannya lagi. Bagdad dihancurkan . kahlifah bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, al-Musta’sim dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang disungai Tigris.[13]
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau dinasti abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti islam berdiri. Ada diantaranya banyak dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti-dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukan kelemahan politiknya.  Pada masa inilah tentara Mongol dan Tatar menyerang Bagdad. Bagdad dihancurkan  tanpa adanya perlawanan yang berarti. Kehancuran Bagdad akibat serangan ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut dengan masa pertengahan.[14]
Kemunduran dan kehancuran dinasti Abbasiyah dipngaruhi oleh beberapa faktor, dan faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, sebagai berikut:
1.      Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. persekutuan dilatarbelakangi oleh perasaan nasib kedua golongan itu pada masa bani Umayyah, yaitu keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Meskipun demikian, orang-orang persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia dan Turki pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang di tubuh mereka adalah darah atau ras istemewa dan meeka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia islam. Selain itu kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi: Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermaca-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan Syu’ubiyah. Fanatisme itu dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia itu dijadikan pegawai dan tentara. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki dalam masa itu. Karena jumlahnya yang banyak dan kekuatan mereka yang sangat besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka.
Kecenderungan masing-masing bangsa mendominasi sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang yang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan keseimbangan politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi Turki tak terbendung lagi. Sejak saat itulah kekuasaan bani Abbasiyah sudah berakhir. Kekuatan berada di tangan para orang-orang Turki, posisi ini kemudian di rebut oleh bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga dan selanjutnya beralih ke dinasti Seljuk pada periode ke empat.
2.      Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonimi bersamaan kemunduran dibidang politik. Setelah khilafah memasuki perode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara tersebut disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekan diri dan tidak membayar pajak. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan banyak pejabat yang korup. Kondisi politik yang tidak stabil berpengaruh pada kondisi ekonomi  morat-marit. Sebaliknya kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, kedua faktor saling berkaitan dan tidak terpisah.
3.      Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan sangan berkaitan erat dengan kebangsaan. Karena cita-cita orang persia tidak tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropogandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya. Al-mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan untuk memberantas bid’ah. Dan konflik antara orang beriman dan orang zindik terus berlanjut dari ajaran hingga sampai konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan alfsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu. Selain itu ada gerakan Syiah yang ekstrim yang berhadapan dengan Ahlus Sunah.[15]
Konflik yang dilatarbelakangi oleh agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dengan Zindiq, Syiah dengan Ahlu Sunnah, tetapi juga antara aliran dalam islam. Muktazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan Salaf. Konflik antara golongan ini berlangsung pada masa khalifah ketujuh yaitu AL-Ma’mun (813-833). Yang mana aliran muktazilah ini di jadikan sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Kemudian masa Al-Mutawakkil, Aliran Muktazilah dibatalkan sebagai mazhab resmi negara dan golongan salaf kembali naik daun. Kemudian aliran Muktazilah bangkit kembali pada dinasti Buwaih dan pada masa dinasti Seljuk yang menganut assy-ariyyah yang tumbuh subur dan berjaya, menyingkirkan secara penuh golongan Muktazilah.
4.      Ancaman dai luar
Merupakan faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan islam. Sebagaimana telah disebutkan orang-orang kristen eropa terpanggil untuk ikut berperang  setelah Paus Urbanus II (1088-1099M) mengeluarkan fatwanya. Perang salib tersebut juga membakar semangat perlawanan orang-orang kristen yang berada diwilayah kekuasaan islam. Namun diantara komunitas-komunitas kristen timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik  dengan perang salib dan melibatkan diri pada tentara salib.
Pengaruh salib juga terlibat dalam penyebuan tentara mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, bahwa tentara mongol sangat benci islam, karena banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti islam dan diperkeras di kantong-kantong ahli al-kitab. Tentara mongol menhacurleburkan pusat-pusat islam dan ikut memperbaiki yerussalam. [16]

IV.             Kesimpulan
Pengertian harta bersama pada intinya adalah harta kekayaan yang diperoleh

V.                Penutup
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati, pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang pemakalah, dan semoga Allah selalu senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang benar, Aamin..

 DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani. Tt. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta; Gema Insani Pers. Cet 1.



[1] Ahmad Al-Usairy. ( Attarih Al Islamy) Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penj; Samson Rahman. Jakarta; Akbar Media Eka Sarana. 2003. Hlm 212-215.
[2] Ali Mufrodi. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta; Logos. 1997. Cet 1. Hlm 87.
[3] Ahmad Al-Usairy. ( Attarih Al Islamy) Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penj; Samson Rahman. Jakarta; Akbar Media Eka Sarana. 2003. Hlm 218.
[4]  Ahmad Al-Usairy. ( Attarih Al Islamy) Sejarah Islam; Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Penj; Samson Rahman. Jakarta; Akbar Media Eka Sarana. 2003. Hlm 215.
[5] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2003. Hlm 49-51.
[6] Ali Mufrodi. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta; Logos. 1997. Cet 1. Hlm 98-99.
[7] Ali Mufrodi. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta; Logos. 1997. Cet 1. Hlm 102.
[8] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2003. Hlm 53.
[9] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta; Kencana. Tt. Hlm 51.
[10] Ali Mufrodi. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta; Logos. 1997. Cet 1. Hlm 103.
[11] Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta; Kencana. Tt. Hlm 57-114.
[12] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2003. Hlm 58.
[13] Ali Mufrodi, islam di kawasan kebudayaan Arab,jakarta:logos, 1997, hal.107
[14] Badri Yatim, sejarah peradaban islam:dirasah islamiyah ii, jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal.80
[15] Ibid, hal.83-84
[16] ibid, hal.85