Pasang Surut Politik Islam di Indonesia
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Politik Hukum Islam di Indonesia
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA.
Disusun oleh :
Nur Laili Khoiriyah (122111107)
FAKULTAS
SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
Pendahuluan
Islam telah menghuni Indonesia jauh
sebelum datangnya kolonial Belanda. Bahkan peran Islam dalam memperjuangkan
kemerdekaan Republik Indonesia sangatlah besar. Peran para Ulama dan tokoh-tokoh
Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan bukan hanya dalam bentuk perlawanan
secara fisik, namun juga menggunakan ilmu politik. Sehingga Islam dan politik
di Indonesia juga sudah melekat dengan erat.
Namun demikian, Islam tidak bisa serta
merta menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Karena beberapa alasan
diantaranya yaitu: karena Indonesia yang sangat luas menjadikan banyak agama
dan suku adat yang pasti berkeberatan jika Negara Indonesia dijadikan negara
Islam, walaupun berjanji agama yang lain tetap aman dalam naungan Islam.
Hal tersebut sudah tampak ketika
dibuatnya piagam Jakarta yang pada saat itu sudah disepakati bersama namun ada
beberapa pihak yang keberatan dengan penyebutan hal-hal yang kaitannya dengan
agama Islam.
Makalah yang saya buat ini berhubungan
erat dengan keadaan politik hukum islam pada tiga masa, yaitu: 1. Masa piagam
Jakarta. 2. Masa Revolusi. 3. Masa Konstituante. Lebih lengkapnya akan saya
paparkan dalam pembahasan.
II.
Pembahasan
1.
Piagam Jakarta
a.
Pengertian
Piagam jakarta adalah dokumen historis
yang berupa kompromi antara pihak nasionalis Islam dan nasionalis sekular dalam BPUPKI
untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara yang disusun oleh
panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945.[1]
b.
Sejarah Lahirnya Piagam Jakarta
Dalam persidangan BPUPKI jelas sekali
ada dua golongan yakni golongan para ahli agama yang menganjurkan Indonesia
menjadi negara Islam, dan golongan nasionalis yang memilih kesatuan nasional
dan memisahkan Islam dengan urusan negara. Sehingga diadakan pemungutan suara
oleh anggota BPUPKI yang berjumlah 60 orang dengan hasil 45 orang memilih dasar
negara kebangsaan dan 15 orang memilih dasar Islam.
Setelah itu, 38 anggota mengadakan
pertemuan lanjutan dan membentuk panitia sembilan untuk menyusun rancangan
pembukaan UUD 1945. Dan jadilah preambul tersebut yang berbunyi sebagai
berikut:
“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan
diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan
peri keadilan. dan perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat
rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonessia itu dalam suatu ssunan negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dan kemudian
ditandatangani oleh panitia sembilan.
Walaupun dokumentasi pidato dari pihak
naionalis Islami sedikit sekali, namun tampak jelas adanyabahan masuk yang
berarti dari pemikiran aktif di kalangan nasionalis Islam dengan bukti 52 ribu
surat dari alim ulama yang berisi inisiatif sebagai usul saran tentang bentuk
dan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan bagi Indonesia merdeka nanti.
Surat-surat tersebut diterima di meja Djawa Hokokai.
Kemudian pada tanggal 11 Juli 1945 mulai
bermunculan orang-orang yang keberatan terhadap kata-kata yang menyebutkan
“kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang mereka
menganggap kalimat tersebut tajam. Namun Ir. Soekarno menolak dengan alasan
bahwa anak kalimat tersebut merupakan kompromi antara golongan Islam dan
golongan kebangsaan dengan susah payah.
Setelah melewati beberapa kali
perdebatan panjang mengenai anak kalimat tersebut yang selalu mendapat
penolakan dari Soekarno, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah
memproklamirkan kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dipimpin
oleh Soekarno dan wakil oleh Mohammad Hatta, mengadakan rapat yang membicarakan
agenda pentig mengenai perubahan penting dalam Pembukaan yaitu:
1)
Kata “Mukaddimah” diganti dengan
kata “Pembukaan”.
2)
Dalam Piagam Jakarta, anak kalimat:
“Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
3)
Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah
orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Isslam”
dicoret.
4)
Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti dari “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.[2]
Dengan ditambahnya sila Ketuhanan menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, wakil-wakil umat Islam tidak akan keberatan dengan
formula Pancasila yang baru tersebut. Karena pada hakikatnya “Ketuhanan Yang
Maha Esa” merupakan refleksi ketauhidan. Dan
usaha-usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam pada saat itu tidak
memungkinkan.
Namun demikian, umat Islam secara teratur dan
berencana tetap berusaha menyalurkan aspirasi politik dari golongan-golongan
terbesar umat Islam dengan menciptakan partai politik yang mendukungnya.
2.
Masa Revolusi
Masa-masa revolusi berlangsung dari
tahun 1945 sampai 1950. Pada masa ini gerakan Islam dan nasionalis berhubungan
dengan baik dan harmonis. Mereka sejenak bersedia melupakan perbedaan-perbedaan
ideologis mereka. Kelompok nasionalis memegang kemudi kepemimpinan. Sementara
itu, menyusul diserahkannya kekuasaan oleh pihak Belanda kepada Republik
Indonesia, kelompok Islam mulai menunjukkan kekuatan yang besar.[3]
Pada November 1945 melalui Masyumi,
Islam berhasil menarik jumlah pengikut
yang besar. Partai ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama,
modernis, tradisionalis, serta pemimpin – pemimpin umat Jawa – Madura maupun
luar Jawa. Bahkan dukungan terbesar terhadap Masyumi diberikan oleh NU dan
Muhammadiyah.
Akan tetapi persatuan tersebut tidak
berlangsung lama. Pada tahun 1952 NU memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi
partai politik yang berdiri sendiri. Peristiwa itu tentu mengguncang Masyumi
karena NU merupakan kelompok dengan jumlah anggota yang cukup besar. Diantara
sebab –sebab yang melatarbelakangi keluarnya NU adalah konflik antara
konservatisme Islam dengan modernisme Islam di dunia politik. NU merasa
diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang memiliki
kedudukan kuat dalam struktur organisasi yang berlaku. Berubahnya golongan NU
menjadi organisasi politik mempunyai dampak yang cukup besar atas pola
kepemimpinan politik Islam yang selama ini dikuasai oleh kelompok modernis.
Selain itu perlu dicatat bahwa sebagai
entitas politik yang bersatu, Indonesia saat itu masih sangat lemah. Indonesia
belum mampu melakukan kontrol sosial serta belum efektif dalam mendistribusikan
sumber – sumber. Hal – hal tersebut menimbulkan gejolak sosial-politik yang
amat merepotkan kepemimpinan. Sebagai contoh adalah terjadinya pemberontakan
Darul Islam, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia serta Perjuangan
Semesta Alam.
Sebagian besar diakibatkan
ketidakmampuan pemerintah untuk merebut loyalitas masyarakat. Di Jawa Barat, DI
timbul karena ketidaksetujuan Kartosuwirjo terhadap pemimpin Republik. Beliau
sangat kecewa terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya kembalinya Belanda ke Indonesia. Sehingga ia menarik diri dari
aktifitas politik negara. Ketika terjadi Aksi Polisionil Belanda pertama
(1947), Kartosuwirjo menyerukan jihad melawan pasukan Belanda dengan menolak
perjanjian Renville. Bahkan sebagai respons terhadap dibentuknya negara boneka
Pasundan, ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia.
Dengan dilancarkannya Aksi Polisionil
Belanda yang kedua (1948), Indonesia benar-benar berada dalam kondisi krisis
secara teritorial dan politik. Menghadapi situasi ini, Kartoswirjo semakin
bersemangat menyeru jihad serta memproklamasikan berdirinya negara Islam bahkan
diseluruh wilayah Indonesia. Menyusul kemudian pemberontakan yang terjadi di
Sulawesi selatan dan Aceh yang semakin menampakkan lemahnya Indonesia. Upaya-upaya
negosiasi dilakukan sampai pada akhir 1950-an Aceh diakui sebagai daerah
istimewa yang otonom.
Terlepas dari pemberontakan-pemberontakan
tersebut, hubungan politik antara Islam dan negara tetap baik. Dengan dimasukkannya
pernyataan monoteistik dalam Pancasila, maka sudah dipandang bahwa Indonesia
adalah negara Islam. Namun hubungan baik tersebut tidak berlangsung lama.
Kesepakatan ideologis yang terbentuk sehari setelah proklamasi kemerdekaan
dibangun di atas landasan yang rentan sehingga para elite politik negara
terlibat perdebatan-perdebatan ideologis-politis mengenai bentuk negara dan
bentuk konstitusionalnya. Pemicu pada masa tersebut berkisar soal pemilihan
umum dan majelis Konstituante.[4]
3.
Masa Konstituante
Pemilihan umum pertama di Indonesia
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955. Terdapat sekitar 28 partai
politik atau perorangan ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut. Walaupun
banyak mereka dapat digolongkan menjadi 3 aliran ideologi, yaitu: Islam,
Marxisme, dan Nasionalisme sekuler.
Hasil pemilihan umum tidak memuaskan
pihak manapun, terutama Maasyumi dan PNI yang sebelumnya berharap besar akan
menang. Tidak ada satu aliranpun yang mendapat suara terbanyak mutlak.
Segera setelah usainya pemilu yang
pertama tersebut, dibentuklah kabinet Ali-Roem-Idham (PNI-Masyumi-NU). Kabinet
ini mendapat sokongan sangat kuat dari parlemen, yaitu dengan mayoritas mutlak,
kecuali PKI yang tidak dibawa masuk. Kabinet ini mewakili 2 aliran besar, yakni
Islam dan nasionalisme sekuler. Namun kabinet ini tidak bertahan lama, yaitu
hanya selama satu tahun.[5]
Tantangan yang dihadaapinya datang bertubi-tubi sehingga pada akhirnya mengakibatkan
perpecahaan antara PNI dan Masyumi sebagai pendukung utama kabinet itu.
Masalah-masalah yang lain berdatangan sehingga tidak memungkinkan kabinet
bertahan. Masyumi telah terlebih dahulu menarik menteri-menterinya sebelum Ali
menyerahkan mandatnya kepada Presiden pada Maret 1957.
Negara.
Setelah Majlis Konstituante berhasil menyelesaikan 90% tugasnya, akhirnya
terpaksa menempuh jalan pitas dengan dibubarkannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dekrit ini menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS
1950 , sementara DPR dibiarkan hidup sampai dibubarkan juga pada Maret 1960 dan
digantikan dengan DPRGR.
Dengan memasuki era pertengahan tahun
1959, sebenarnya telah masuk era Demokrasi Terpimpin ciptaan Soekarno. Melalui
Dekrit Presiden, Pancasila telah dikukuhkan sebagai dasar negara dan
mengorbankan dasar Islam, tapi cita-cita untuk melaksanakan ajaran Islam dalam
negara Pancasila tidaklah tertutup. Yang tidak dibenarkan adalah menempatkan
Islam sebagai dasar negara.[6]
III.
Kesimpulan
Di Indonesia telah tertanam nilai-nilai
Islam bahkan sebelum datangnya kolonialisme. Sehingga tidak dapat dipungkiri
bahwa Islam di Indonesia memiliki arti penting, bahkan pada masa perjuangan
merebut kemerdekaan. Sehingga wajar saja kalau Islam ikut andil dalam
perpolitikan dan berusaha menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar negara.
Walaupun demikian perjuangan umat Islaam
tidak akan sia-sia. Karena penanaman nilai-nilai Islam sebagai dasar negara
belum tertutup. Masih ada kesempatan untuk bisa meraih kejayaan yang pernah
hinggap walau sekejap. Hanya tinggal meyakinkan masyarakat bahwa dengan
menanamkan nilai-nilai Islam, tidak akan mendeskriminasi agama lainnya. Bahwa
nasionalisme juga termasuk dalam nilai Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anshaari, Endang Saifuddin, Piagam
Jakarta, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Id.m.wikipedia.org
IethaFairuz.blogspot.com
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan
Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara,
1988.