Sumber Gambar: lpminvest.com
Konflik Urut
Sewu; Tindakan Anarkis TNI-AD Terhadap Petani
Kebumen merupakan nama yang berasal
dari kata kabumian yang artinya adalah tempat Kyai Bumi. Secara
geografis Kabupaten Kebumen Jawa Tengah terletak pada 7°27′- 7°50′ Lintang
Selatan dan 109°22′-109°50′ Bujur Timur. Bagian selatan Kabupaten Kebumen
merupakan dataran rendah, sedang pada bagian utara berupa pegunungan, yang
merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Serayu. Di bagian pesisir pantai
selatan Kebumen, wilayah pedesaan yang bernamakan “Urut Sewu”. Wilayah yang
terbentang dari kecamatan Mirit sampai Bulupesantren, kurang lebihnya 38 desa
yang berada dalam kawasan Urut sewu tersebut.
Pesisir Pantai Selatan Kebumen
merupakan daerah yang mempunyai kualitas tanah sangat subur. Tanah yang
ditumbuhi berbagai macam tanaman ini, terlihat sangat indah saat dilihat oleh
mata. Namun dibalik keindahan itu ada suatu hal yang tidak beres, konflik
sengketa tanah (Agraria) terus menyelimuti daerah pesisir pantai tersebut.
Dalam kasus sengketa tanah ini,
salah satunya adalah melibatkan 3 kecamatan dan 15 desa. Adapun tiga kecamatan
tersebut adalah Kecamatan Mirit, meliputi desa: Wiromartan, Desa Lembu Purwo,
Desa Tlogo Pragata, Desa Tlogo Depok, Desa Mirit, Desa Mirit Petikusan.
Kecamtan Ambal meliputi desa: Desa Ambal, Desa Kaibon, Desa Kaibon Petangkuran,
Desa Ambal Resmi, Desa Kenoyojayan, Desa Entak. Kecamatan Buluspesantren
meliputi: Desa Brecong, Desa Setrojenar, Desa Ayam Putih.
Setro Jenar salah satu desa yang ada
dalam wilayah Kecamatan Bulupesantren, Kabupaten Kebumen perlu pembahasan
khusus, karena desa ini menjadi lokasi dari keberadaan kantor Dinas Penelitian
dan Pengembangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Dislitbang TNI-AD).
Peristiwa 16 April 2011 menjadi bukti kebrutalan aparat militer terhadap
masyarakat kecil Urut Sewu, yang menimbulkan banyak korban meski tidak ada yag
tewas tetapi banyak warga yang terluka karena tembakan dari aparat militer
terseut. Salah satunya adalah KepalaDesa (Kades),Surip Supangat, sendiri mendapat
luka tembak di 3 tempat: 1 peluru di lengan kanan, 2 peluru
bersarang di pantatnya.
Desa Setrojenar termasuk salah satu
dari 38 desa di kawasan Urutsewu yang memiliki pantai samudera Indonesia.
Posisi geografis desa ini terletak pada 7 derajat 47’25” Lintang Utara dan 109
derajat 39’51” Bujur Timur. Desa ini masuk wilayah Kecamatan Buluspesantren,
Kabupaten Kebumen. Berbatasan dengan Desa Ayamputih di sebelah barat, dì
sebelah utara ada Desa Bocor. Sedang di sebelah timur berbatasan dengan Desa
Brecong, dan batas selatan adalah Samudera Indonesia.
Sebelum kemerdekan Republik
Indonesia, pantai selatan memenag dijadikan tempat latihan para militer dan
digunakan sebagai tempat uji coba yang dilakukan oleh Kompeni dan tentara
Jepang. Paska Kemerdekaan, militer masih memanfaatkan sebagai latihan perang.
Awalnya gesekan-gesekan yang muncul tidak pernah dihiraukan para petani
di pesisir pantai selatan khususnya yang berada di 3 kecamatan (Mirit, Ambal,
Buluspesantren) dan 15 desa. Hal ini disebabkan dengan situasi politik jaman
Orde Baru yang tidak memberi kesempatan seseorang melakukan perlawanan terhadap
kebijakan pemerintah. Semua bentuk perlawanan dapat diberangus oleh aparat dan
setiap petani yang melawan akan diberi label komunis. Pada saat itu TNI-AD
dengan senjata yang menyeramkan telah mengakangi kedaulatan petani atas
tanah-tanah di kawasan pesisir selatan.
Seniman sebagai Koordinator Forum
Paguyuban Petani Kebumen Selatan(FPKKS) mnjelaskan, bahwa pemanfaatan tanah
pesisir yang ada dalam buku C saat ini terdata dengan blok persil D.5 adalah
meminjam tanah desa yag akan dijadikan tempat latihan perang dan laagan raksasa
ujicoba senjata berat. Ironisnya, TNI-AD yang meminjam tanah warga ini justru
merasa memiliki tanah tersebut dan melegitimasi bahwa setelah penjajah Belanda
berakhir, tanah yang dahuludipakai Kompeni dianggap sebagai “tanah negara”.
Konflik tanah di Urutsewu berawal
dari TNI-AD yang meng klaim tanah sepanjang 500 meter dari bibir pantai adalah
milik TNI. Pengakuan ini juga diaminidalam rencana tata ruang wilayah Kebumen
yang kini masih di Godog oleh DPRD Kebumen. Namunhingga saat ini,pihak TNI
tidak bisa memberikan bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Disisi lain
masyarakat menolak pengakuan TNI yang mengklaim tanah tersebut. Di UrutSewu hanya
ada tanah negara sepanjang ±200 hingga 250 meter dari bibir pantai. Sedangkan
dari batas utara tanah tersebut merupakan tanah bersertifikat dan dikenakan
pajak,masyarakat juga memiliki saksi sejarah akan kepemilikan tanah tersebut.
Pada tahun 2007, Dislitbang TNI-AD
melakukan klaim atas tanah petani dengan memasang patok di atas tanah petani 1
km dari bibir pantai. Menanggapi hal seperti itu, para petani Setrojenar tidak
merelakan tanahnya dipatok, mereka menjadi marah dan langsung menghancurkan
semua patok-patok tersebut. Kejadian serupa pernah terjadi sebelumnya, ketika
reformasi, Dislitbang TNI-AD juga pernah memasang patok di atas tanah petani
(500m dari laut).
Fakta sejarah sejak jaman penjajahan
sekalipun, batas tanah negara itu sampai sejauh Pal–Budheg. Atau
sebagaimana pernyataaan BPN dalam acara audiensi Petani Urutsewu dengan Bupati
(AsBup I dan AsBup II), di beberapa desa seperti Setrojenar, malah jaraknya
cuma 210 hingga 220 meter dari garis air. Itu Tanah Negara yang di zaman
kolonial dulu disebut Tanah Kompeni. Terakhir, BPN Jawa Tengah turun ke kawasan
Urutsewu dengan Peta Tanah yang sesungguhnya. Batas Tanah Negara dengan Tanah
Rakyat ya cuma rata-rata sejauh 200-an meter dari garis air. Itu bukan
pernyataan individu, tapi mewakili lembaga yang berwenang dalam soal tanah.
Tragedi 16 April 2011 merupakan
peristiwa yang menimbulkan banyak korban, meski tidak ada yang tewas tapi
banyak warga terkena luka tembak. Surip Supangat Kepala Desa (Kades) menjadi
salah satu korban penembakakn dengan luka tembak di dua tempat: peluru
satu bersarang di lengan kanan, dua peluru bersarang di pantatnya. Sejarah lama
yang tidak terlupakan oleh masyarakat urut sewu yaitu pada tahun 1997 yang
merenggut lima anak yang menjadi korban ledakan pada tahun itu. Contoh kasus
lain kekerasan TNI terhadap para petani baru-baru ini, terjadi pada tanggal 22
Agustus 2015. Masyarakat melakuan aksi damai dan meminta kejelasan dari TNI,
tiba-tiba diserang begitu saja oleh mereka (TNI). Kejadian tersebut
mengakibatkan 17 orang luka-luka dan 4 orang luka berat, salah satuya adalah
Widodo Sunu Nugroho kepala desa Petangkuran merupakan salah satu korban luka
berat atas tindakan anarkis dilakukan para TNI-AD.
Konflik Agraria antara TNI-AD dan
petani Urut Sewu menjadi salah satu contoh kejadian yang sangat menghawatirkan
bagi kehidupan bangsa. Banyaknya kekerasan yag melanda mereka harus dihindari
agar tidak berlanjut sehingga menimbulkan efek yang lebih buruk terhadap
kebangsaan ini. Hal tersebut harus di tindak lanjuti oleh pemerintah yang
berwnang, agar semua masalah bisa terselesaikan dengan cara damai. Tidak adanya
konflik di Indonesia ini merupakan hal yang sangat istimewa. Walaupun tidak
semuanya teratasi, hal-hal yang berbau ketidak adilan sedikit demi sedikit
harus di hilangkan. (Tatang)
0 komentar:
Post a Comment