Sumber Gambar: aihrohmawati.wordpress.com
Penyesalan
Oleh Waktu
Oleh:
Maya Sofia
Sang mentari kini kembali bersinar, setelah beberapa
hari ditutupi oleh awan hitam. Ya..kini saatnya
memulai kembali perjalanan, yang tertunda dalam beberapa hari. Seorang
pemuda bertubuh kurus, dan berkulit kuning langsat, beranjak keluar dari rumah,
dengan mengenakan sepatu, jaket hijau dan sebuh topi berwarna merah. Dia pun
bergegas menghampiri motornya yang sudah dihiasi oleh sekeranjang buah mangga.
Tiba-tiba terdengar suara seperti orang yang sedang
memanggil, Alhpin........, dengan sigap pemuda itu menoleh ke belakang, ya...ibu
tirinya yang memanggil. Alphin pun menghampirinya..dan berkata “ ada apa buk?”
Sahutnya. Apakah obatmu sudah diminum, ibu meletakkannya dekat jendela tadi. “Ya,
sudah buk.. “ jawabnya.
“Alphin berangkat dulu ya buk...”
“ya.. hati-hati!”
Pemuda itu pun mengendarai motornya, mengelilingi
kampung dan mulai menjajakan buah mangga yang ada di keranjang.
Matahari yang terik menemani perjalanannya.
Sebenarnya aku tidak dizinkan oleh ayah untuk berjualan. Tetapi keadaan yang
memaksaku. Kalau aku terus dirumah...ibu tiriku selalu bertengakar dengan ayah
karena aku hanya berpangku tangan. Padahal semasa kecil aku tak pernah dirawat
oleh ayah dan ibuku. Mungkin karena aku sedang sakit makanya aku diperintah
ayah untuk tinggal dengan mereka...”pikir Alphin dibenaknya sembari mengendarai
motor.”
Karena hari ini sangat panas, Alphin pun istirahat
sejenak. Ia sandarkan motornya di bawah pohon kelapa dan mengambil botol air
mineral untuk mehilangkan rasa haus ditenggorokan.
Ditemani hembusan angin sepoi-sepoi, Alphin duduk bersantai dipos ronda, ia pun
mulai menghayal dan berbisik dalam hati.
Andai saja aku dapat tinggal bersama ibu dan ayah kandungku. Itu mungkin akan jadi
peristiwa yang terindah dalam hidupku..”gumamnya.
Tak jarang pemuda itu termenung, membayangkan ibu kandungnya
datang dan memeluknya dengan erat dan penuh kasih sayang, tapi itu hal yang
tidak mungkin terjadi. Ayah dan ibunya berpisah sejak Alphin kecil, dan semasa
kecil pemuda itu tinggal dan dirawat oleh nenek seorang. Diwaktu kecil Alphin
tumbuh jadi anak yang nakal, semua orang yang mengenalnya, membencinya. Hal itu
memang sengaja ia lakukan. Agar mereka mau memperhatikannya dan mempertemukan
dia dengan ibunya. Dan setelah dewasa Alphin
pun hidup berpindah-pindah. Terombang-ambing, bagaikan anak terlantar yang
tidak memiliki rumah.
Hingga pada
suatu hari Alphin jatuh sakit, tubuhnya yang dulu sehat dan berisi sekarang kurus dan tak berdaya. Alphin
divonis dokter mengidap penyakit TBC. Bukannya merasa sedih. Ia malah terlihat
gembira... dalam benaknya ia berkata “karena dengan hal itu aku bisa
mendapatkan kasih sayang dari ayahku yang sejak dulu sangat ku rindukan
walaupun harus tinggal bersama ibu dan adik tiriku”
Tanpa terasa hari mulai sore, tak satu pun pembeli
menghampiri pemuda malang itu. Alphin pun merasa jenuh dan bangun dari tempat
duduknya, beranjak pergi meninggalkan pos ronda untuk kembali ke rumah.
Setibanya di rumah, Alphin dipanggil oleh ayahnya, yang sejak tadi menunggu
Alphin, dengan wajah merah karena
menahan marah.
“Dari mana saja kamu?” tanya ayah Alphin yang
berkumis tebal seperti pak Raden. “Ehm..mm..Al, Alphin tadi menjajakan buah yah ”
jawabnya dengan wajah penuh ketakutan. “Ayahkan sudah bilang, kamu tidak
usah jualan lagi. Kalau kamu butuh uang bilang pada ayah”, balas ayahnya. “Ia
yah... maafkan Alphin. Alphin hanya bosan di rumah yah”, sahut Alphin”. “Sekang masuk, kamu makan dan istirahat!” perintah ayahnya.
Alphin, masuk kerumah melepaskan jaket dan topi yang
ia kenakan. Ia pun mandi, setelah itu, Alphin bergegas menuju meja makan.
Suasana yang hangat di meja makan tiba-tiba berubah menjadi suasana, yang penuh
amarah. Ya.. tentu saja, ibu tiri Alphin memulai pertengkaran dengan ayahnya.
Apalagi kalau bukan karena Alphin yang menjadi bahan permasalahan ibu tirinya. Alphin
muak dengan semua itu, ia pun meninggalkan meja makan dan pergi ke kamarnya.
Alphin bertengger di jendela kamar.
Air mata menetes dipipinya. Dalam hatinya berteriak, “ Tuhan..mengapa aku
terlahir kedunia ini, jika aku hanya di lahirkan untuk menyusahkan orang yang
ku sayangi. Bahkan tak seorang pun mengangap aku ada dan menyayangiku”. Ucapnya
dalam hati, dengan air mata yang mengalir deras.
“Alphin...?”, panggail ayahnya dari luar kamar
sembari mengetuk pintu kamar Alphin yang dikunci. Alphin tidak
membuka pintu kamarnya.
Merasa tidak dihiraukan ayahnya meninggalakan kamar
dan hanya berpesan” Alphin jangan lupa minum obatmu, ayah pergi dulu”, Kata anyahnya.
Di dalam kamar Alphin hanya menangis pilu dan berbaring di tempat tidur.
Keesokan harinya, Alphin merasa tubuhnya semakin
lemah. Sepanjang pagi ia hanya batuk-batuk tanpa henti. Ayahnya mendengar akan
hal itu, dan meminta Alphin untuk keluar dari kamar. Alphin pun keluar dari
kamarnya.
“Kamu kenapa? Dari tadi ayah dengar batuk-batuk
terus, tanya ayahnya.
“Alphin gak papa yah, cuma batuk biasa aja”,
balasnya.
“Kamu siap-siap, ayah bawa kamu ke dokter”.
“Gak usah yah, Alphin cuma batuk biasa”.
“ Sudah..tidak usah ngeyel kalau dibilangin”.
Alphin dan ayahnya pun berangkat,
menuju rumah sakit. Setibanya di sana dokter yang biasa menagani Alphin tidak
ada. Alphin dan ayahnya pun memutuskan pulang dan kembali esok hari.
Diperjalanan pulang, Alphin mendekap tubuh ayahnya dengan sangat erat, dan tidak mau melepaskannya. Seolah-olah ia
tidak mau kehilangan peristiwa ini.
Ayahnya pun merasa heran, dan bertanya kepada Alphin.
“Phin, kamu kenapa? Kok peluk ayah
sampai begitu eratnya”.
“ Alphin cuma
senang ayah, keiginan Alpin untuk jalan-jalan dan memeluk ayah sudah
tercapai”, dengan senyum yang sumringah Alphin menjawab.
“Ah.. kamu ini ada-ada aja phin, tutur ayahnya
dengan sedikit merasa bersalah karena tidak pernah merawat Alphin.
“ Ayah sayangkan sama Alphin? Ayah banggakan punya
anak seperti Alphin”.
“ Kamu ini, Ya ayah sayang dan bangga punya anak
seperti kamu”.
Keduanya pun berbincang-bincang
disepanjang perjalanan menuju rumah, dengan Alphin yang tetap memeluk erat
ayahnya. Setibanya di rumah Alphin pun masuk ke kamar dan istirahat. Dan itengah malam, Alphin merasa sangat
kesakitan dan merasa sesak didadanya, ia
mengetuk kamar ayahnya dengan suara lirih.
“Ayah..ayah.. tolong keluar sebentar ayah?”. Ayahnya pun keluar dari kamar bersama ibu
tirinya.
“Ia phin, ada apa?”.
“Ayah temenin Alphin tidur ya, satu malam ini aja ya
yah???”, pintanya dengan penuh harap.
“ Ya sudah kamu kembali ke kamar nanti ayah datang”.
Ketika ayah hendak pergi ke kamar Alphin, ibu tirinya
berkata.
“ Sudah biarkan dia istirahat, dia cuma manja saja dengan penyakitnya, nanti aku
berikan obat. Ayah istirahat saja, besokkan ayah kerjanya lembur, bujuk ibu
tirinya”.
“Tapikan buk, gak papa hanya kali ini saja buk”
“Tidak usah pak nanti Alphin tambah manja, bapak
istirahat saja ya”.
“ Ya sudah, nanti tolong ibuk rawat
dia.”
Ibunya pun masuk ke kamar Alphin.”Alphin
ini obatnya di minum, ayahmu besok lembur, jadi ibu minta kamu biarkan ayahmu
istirahat, gak usah manja. Tidurlah..besok pagi ibu akan temani kamu bertemu
dokter. Ibunya keluar dari kamar.
Alphin pun merasa sangat terluka,
permintaan kecil yang dia ajukan kepada ayahnya tidak dipedulikan. Di temani
hujan yang deras, Alphin pun duduk di dekat jendela. Ia tak tidur semalaman..
Alphin hanya menangis dan di dalam hatinya ia berkata” Ya tuhan jika di dunia
ini aku tidak dapat bertemu dengan ibuku dan merasakan kasih sayang dari
ayahku, tolong wujudkan impiananku bersama mereka di duniamu yang lain. Aku mohon
Tuhan” pinta Alphin dengan menangis sekuat-kuatnya.
Keesokan harinya, ayahnya pun datang
kekamar Alphin. Disana terlihat Alphin yang sedang duduk dekat jendela. Ayah
pun memanggil Alphin dan meminta Alphin bersiap-siap untuk pergi ke dokter.
Tetapi ayahnya merasa heran karena Alphin tidak merespon apa yang disampaikan
ayahnya.
Ayahnya pun mendekati Alphin, ia
lihat Alphin sedang tertidur didekat jendela. Dalam hati ayah menggumam, “
astaga... anak ini ada-ada saja, tidur kok dekat jendela”. Dan ketika ayahnya
hendak membalikkan badan Alphin, tiba-tiba... Buarrr.... cairan darah keluar
dari mulut Alphin. Dengan kuat ayahnya
berteriak“ Allahu Akbar.. Allahu Akbar...Alphin...”kenapa kamu nak..... Ia
menggendong anaknya yang terbujur layu dan bersimbah darah di mulut. Ya kini
Alphin sudah pergi untuk selamanya. Ia meninggalkan kepedihan dan kesakitan
yang dia alami selama hidupnya. Sekarang lelaki paruh baya itu hanya bisa
menangis sejadi-jadinya dan memeluk erat anaknya yang sudah tidak bernyawa.
Hanya ada kesedihan dan rasa penyesalan yang menyiksa seumur hidupnya karena
sudah menyianyiakan anak yang selalu menghormatinya.
Kini Alphin beristirahat dengan
tenang. Diwajahnya yang polos menggambarkan kebahagiaan. Seolah-olah
penderitaan yang di alaminya sepanjang hidup sudah hilang. Yang tersisa
kenangan terakhir saat Alphin memeluk ayahnya dengan sangat erat. Hanya
penyesalan yang tersisa, karena lelaki paruh baya itu telah menyianyiakan waktu
untuk mengungkapkan kasih sayang kepada anaknya Alphin.
0 komentar:
Post a Comment