Saturday, 26 November 2016

TAFSIR AHKAM INVESTASI (MENABUNG)


INVESTASI (MENABUNG)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ahkam Ekonomi

Dosen Pengampu: Dede Rodin, M. Ag


DisusunOleh :

Tatang Turhamun                                (1405015198)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015/ 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Investasi (menabung) merupakan bagian penting dalam suatu perekonomian. Investasi yang berarti menunda pemanfaatan harta yang kita miliki pada saat ini, atau berarti menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Secara harfiah mengelola harta itu bisa dilakukan dalam beberapa bentuk, seperti menyimpan di rumah, menabung atau mendepositokan di bank, mengembangkannya melalui bisnis, membelikan property ataupun cara-cara lain yang halal dan berpotensi besar dapat menghasilkan keuntungan.
Menabung merupakan bagian dari mempersiapkan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Secara teknis, cara menabung yaitu menyisihkan harta yang dimiliki saat ini untuk memenuhi kebutuhan masa depan. Para pakar keuangan sering kali mengatakan bahwa cara terbijak untuk menabung yaitu mengambil di muka sebesar 10%-20% dari pendapatan.[1] Dalam hal ini dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa uang yang ditabung bukanlah sisa dari konsumsi melainkan penyisihan pendapatan secara khusus guna memenuhi kebutuhan dimasa akan datang serta dalam kondisi keperluan mendesak atau dalam taksasi dana masuk dalam kebutuhan yang disebut biaya tak terduga.
Sebagi muslim yang baik, melaksanakan dan menindak lanjuti perintah Allah swt sebaiknya tidak sekedar dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, tetapi benar-benar kita lakukan dengan sebaik mungkin, termasuk dalam mengelola kekayaan yang telah diamanahkan oleh Allah swt kepada kita semua.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Investasi (Menabung)
Investasi yang berarti menunda manfaat harta yang kita miliki pada saat ini, atau berarti menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal yang dianjurkan dalam Al-Qur’an, salah stunya ialah dengan menabung. Islam sangat menganjurkan seseorang untuk menabung, karena dengan menabung berarti seseorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.




“Dan hendaklah takut kepada Allah mereka yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.: (QS. Al-Nisa [4]: 9)

Ayat di atas memerintahkan kita agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah, baik secara moril maupun materil, termasuk dalam bidang ekonomi. Maka salah satu cara mempersiapkan kesejahteraan ekonomi mereka ialah engan cara berinvestasi. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Hasyr ayat 18.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah  diperbuatnya untuk hari esok; dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)[2]
Kata hari esok bukan saja terkait kehidupan akhirat, tetapi juga kehidupan dunia atau di masa yang akan datang. Investasi akhirat dan dunia nampaknya menjadi suatu hal yang wajib bagi orang yang beriman kepada Allah dengan selalu taqwa kepada-Nya. Takwa dalam konteks ini dapat diartikan melindungi diri dari hal-hal yang menggangu atau merusak kehidupan di masa mendatang. Karena itu, untuk mengatasinya seseorang harus mempersiapkan diri sebaik mungkin melalui berinvestasi.[3]
Dalam bahasan tabungan pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa tabungan merupakan selisih dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa dijelaskan secara detil apa yang menjadi motifasi dari tabungan tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat bahwa tabungan merupakan sebuah konsekuensi dari pendapatan yang tidak digunakan. Sehingga fungsi tambahan menabung merupakan kecenderungan mengkonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume) dari seorang individu.
Penjelasan kecenderungan tabungan ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang (Money Demand). Kita ketahui bahwa dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki tiga motif utama, yaitu motif transaksi (transaction), motif berjaga-jaga (precautionary) dan motif spekulasi (speculation). Dalam Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas ekonomi berupa spekulasi (maysir) dilarang secara syariah. Sehingga motif yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan berjaga-jaga atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan) dan menabung.
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih, akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki wewenang dalam “memaksa” individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib pada masyarakat golongan kaya. Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi ekonomi.[4]
Tuntunan Al-Qur’an tentang nvestasi (menabung) antara lain dapa diambil dari kisah nabi Yusuf as yang kisahnya digambarkan Al-Qur’an  sebagai berikut:
Ketika Yusuf dalam penjara, penguasa Mesir ketika itu bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh  tujuh ekor sapi betina kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau, dan disusul kemudian oleh tujuh bulir gandum yang kering. Lalu dia minta kepada para ahli untuk menerangkan makna mimpi itu sebagaimana dijelaskan  ayat berikut:



“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya), ‘Sesungghnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kalian dapat mena’birkan mimpi * Mereka menjawab: (Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu mena’birkan mimpi itu (QS. Yusuf [12]: 43-44)

Ketika semua orang tidak sanggup menjelaskan mimpi itu,seorang pelayanan istana yang selamat dari hukuman mati yang sebelumnya pernah dipenjara dan berkenalan dengan Yusuf meminta sang raja agar dia di beri kesempatan menemui Yusuf di penjara,kareana dia menganggap Yusuf termasuk orang yang pandai menta’bir mimpi.





“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya ,Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena’bir mimpi itu ,maka utuslah aku (kepadanya)’.” (QS.Yusuf [12] :45).[5]
Setelah ia diizinkan dan bertemu dengan Yusuf, dia meminta Yusuf untuk menjelaskan makna mimpi tersebut dan berkata :







“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu,agar mereka mengetahuinya.” (QS.Yusuf [12]:46)
Setelah mendengar isi mimpi tersebut,kemudian Yusuf menjelaskan makna (ta’bir) mimpi itu sebagai berikut :











“Yusuf berkata: supaya kalian bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa ; maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit yang menghabiskan apa yang kalian simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kalian simpan kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya  manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur (QS.Yusuf [12]:47-49)
Tujuh ekor sapi dimaknai sebagai tujuh tahun masa untuk membajak. Kegemukan sapi kurus adalah simbol kekeringan. Lalu Yusuf meminta masyarakat Mesir untuk bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa dan kemudian tidak mengonsumsi semua hasilnya. Ia meminta gandum diawetkan dengan cara meninggalkan bulirnya tetap di tangkai. Raja Mesir pun akhirnya menerima takwil mimpi Yusuf tersebut. Mengapa raja memercayai takwil mimpi yang dikemukakan oleh Yusuf ? Tampaknya karena Yusuf membuktikan diri memiliki rekam jejak (track record) yang baik (QS.Yusuf [12]:50-52). Hal itu dibuktikan dengan kemampuanya atas petunjuk Allah menakwilkan mimpi secara akurat dua rekanya semasa di penjara (QS.Yusuf [12] :36-37).Di samping itu, ia bukan saja mampu menakwilkan mimpi, tapi juga memberikan solusi dan jalan keluar dari krisis yang akan dialami Mesir ketika itu.
Raja Mesir pun akhirny menerima takwil mimpi Yusuf tersebut. Dia memercayai takwil mimpi yang dikemukakan oleh Yusuf,boleh jadi karena Yusuf membuktikan diri memiliki rekam jejak (track record ) yang baik (QS.Yusuf [12:50-52).Hal itu dibuktikan dengan kemampuanya atas petunjuk Allah menakwilkan mimpi secara akurat dua rekany semasa di penjara (QS.Yusuf [12] : 36 -37 ).Di samping itu,ia bukan saja mampu menakwilkan mimpi,tapi juga memberikan solusi dan jalan keluar dari kriis yang akan dialami Mesir ketika itu.
Dari kisah Nabi Yusuf as di atas, nampak jelas bahwa menyimpan bulir dan sebagai persiapan adalah merupakan salah satu motif ekonomi (khususnya motig penggunaan uang yaitu berjaga-jaga). Mempersiapakan untuk hari esok agar tidak kekurangan pada masa paceklik juga merupakan suatu prinsip dalam investasi yaitu agar harta itu tidak habis dimakan pada saat itu juga (habis terpakai). Kisah Yusuf ini menggambarkan sebuah iklim investasi yang dilakukan oleh sebuah negara yang selalu memperhatikan kesejahteraan pada hari yang akan datang. Persiapan menuju hari esok yang tidak jelas akan terjadinya dan tidak diketahui secara pasti mengisyaratkan kepada semua negara atau perorangan untuk siap menghadapi sesuatu yang sulit,dalam hal investasi menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam konteks sekarang, investasi bisa dilakukan dengan beragam cara,seperti  menabung/mendepositokan di bank ,mengembangkanya melalui bisnis, membelikan properti ataupun cara-cara lain yang halal dan berpotensi besar dapat menghasilkan keuntungan.[6]





BAB III
KESIMPULAN
Tingkat tabungan dari seorang individu dalam teori Islam tidak terlepas dari pertimbangan kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih akan mengurangi tingkat tabungannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan.
Dari kisah Nabi Yusuf as dijelaskan bahwa menyimpan bulir dan sebagai persiapan adalah merupakan salah satu motif ekonomi (khususnya motif penggunaan uang yaitu berjaga-jaga). Mempersiapakan untuk hari esok agar tidak kekurangan pada masa paceklik juga merupakan suatu prinsip dalam investasi yaitu agar harta itu tidak habis dimakan pada saat itu juga (habis terpakai). Kisah Yusuf menggambarkan sebuah iklim investasi yang dilakukan oleh sebuah negara yang selalu memperhatikan kesejahteraan pada hari yang akan datang. Persiapan menuju hari esok yang tidak jelas akan terjadinya dan tidak diketahui secara pasti mengisyaratkan kepada semua negara atau perorangan untuk siap menghadapi sesuatu yang sulit.
Islam sangat menganjurkan seseorang untuk investasi (menabung), karena dengan menabung berarti seseorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Investasi yang berarti menunda manfaat harta yang kita miliki pada saat ini, atau berarti menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal yang dianjurkan dalam Al-Qur’an, salah stunya ialah dengan menabung.






DAFTAR PUSTAKA
Rodin Dede, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015.
Suwiknyo, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2010.





[1] Suwiknyo, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2010, hlm.176
[2] Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 175-176.
[3] Ibid., hlm. 176.
[4] https://www.scribd.com/doc/139664920/Tafsir-Ayat-Ekonomi. Di akses pada tanggal 21 November 2016.
[5] Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, hlm. 176-177.
[6] Ibid., hlm. 178-181.

1 comment: