INVESTASI (MENABUNG)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Tafsir Ahkam Ekonomi
Dosen Pengampu: Dede Rodin, M. Ag
DisusunOleh
:
Tatang Turhamun (1405015198)
FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015/ 2016
BAB I
PENDAHULUAN
Investasi
(menabung) merupakan bagian penting dalam suatu perekonomian. Investasi
yang berarti menunda pemanfaatan harta yang kita miliki pada saat ini, atau
berarti menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal yang dianjurkan
dalam Al-Qur’an. Secara
harfiah mengelola harta itu bisa dilakukan dalam beberapa bentuk, seperti
menyimpan di rumah, menabung atau mendepositokan di bank,
mengembangkannya melalui bisnis, membelikan property ataupun cara-cara lain
yang halal dan berpotensi besar dapat menghasilkan keuntungan.
Menabung merupakan bagian dari
mempersiapkan perencanaan masa yang akan datang sekaligus untuk menghadapi
hal-hal yang tidak diinginkan. Secara teknis, cara menabung yaitu menyisihkan
harta yang dimiliki saat ini untuk memenuhi kebutuhan masa depan. Para pakar
keuangan sering kali mengatakan bahwa cara terbijak untuk menabung yaitu
mengambil di muka sebesar 10%-20% dari pendapatan.[1]
Dalam hal ini dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa uang yang ditabung
bukanlah sisa dari konsumsi melainkan penyisihan pendapatan secara khusus guna
memenuhi kebutuhan dimasa akan datang serta dalam kondisi keperluan mendesak
atau dalam taksasi dana masuk dalam kebutuhan yang disebut biaya tak terduga.
Sebagi
muslim yang baik, melaksanakan dan menindak lanjuti perintah Allah swt
sebaiknya tidak sekedar dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, tetapi
benar-benar kita lakukan dengan sebaik mungkin, termasuk dalam mengelola
kekayaan yang telah diamanahkan oleh Allah swt kepada kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Investasi (Menabung)
Investasi yang
berarti menunda manfaat harta yang kita miliki pada saat ini, atau berarti
menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal yang dianjurkan dalam
Al-Qur’an, salah stunya ialah dengan menabung. Islam sangat menganjurkan
seseorang untuk menabung, karena dengan menabung berarti seseorang muslim
mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa yang akan datang
sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Dan hendaklah takut kepada Allah mereka yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.: (QS. Al-Nisa [4]: 9)
Ayat di atas
memerintahkan kita agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah, baik secara
moril maupun materil, termasuk dalam bidang ekonomi. Maka salah satu cara mempersiapkan
kesejahteraan ekonomi mereka ialah engan cara berinvestasi. Seperti yang
dijelaskan dalam surat al-Hasyr ayat 18.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 18)[2]
Kata hari esok
bukan saja terkait kehidupan akhirat, tetapi juga kehidupan dunia atau di masa
yang akan datang. Investasi akhirat dan dunia nampaknya menjadi suatu hal yang
wajib bagi orang yang beriman kepada Allah dengan selalu taqwa kepada-Nya.
Takwa dalam konteks ini dapat diartikan melindungi diri dari hal-hal yang
menggangu atau merusak kehidupan di masa mendatang. Karena itu, untuk
mengatasinya seseorang harus mempersiapkan diri sebaik mungkin melalui
berinvestasi.[3]
Dalam bahasan tabungan
pada ilmu ekonomi konvensional, dijelaskan bahwa tabungan merupakan selisih
dari pendapatan dan konsumsi. Tanpa dijelaskan secara detil apa yang menjadi
motifasi dari tabungan tersebut. Dalam teori konvensional ini, relatif terlihat
bahwa tabungan merupakan sebuah konsekuensi dari pendapatan yang tidak
digunakan. Sehingga fungsi tambahan menabung merupakan kecenderungan
mengkonsumsi marjinal (Marginal
Propensity to Consume) dari seorang individu.
Penjelasan
kecenderungan tabungan ini juga disinggung dalam bahasan teori permintaan uang
(Money Demand). Kita ketahui bahwa
dalam wacana konvensional permintaan uang memiliki tiga motif utama, yaitu
motif transaksi (transaction), motif
berjaga-jaga (precautionary) dan
motif spekulasi (speculation). Dalam
Islam motif spekulasi tidak diakui, karena aktivitas ekonomi berupa spekulasi (maysir) dilarang secara syariah.
Sehingga motif yang ada untuk memegang uang hanyalah motif untuk transaksi dan
berjaga-jaga atau dengan kata lain motif untuk konsumsi (memenuhi kebutuhan)
dan menabung.
Tingkat tabungan dari
seorang individu dalam teori Islam juga tidak terlepas dari pertimbangan
kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat
begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih,
akan mengurangi tingkat tabungannya atau lebih tepatnya mengurangi tingkat
kekayaannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan. Mekanisme ini dapat
berupa mekanisme sukarela atau mekanisme yang mengikat, artinya negara memiliki
wewenang dalam “memaksa” individu yang berkecukupan untuk membantu masyarakat
yang membutuhkan, dengan mengenakan pajak khusus atau dikenal dengan nawaib pada masyarakat golongan kaya.
Dengan demikian tingkat tabungan dalam Islam memiliki korelasi yang kuat dengan
kondisi ekonomi.[4]
Tuntunan
Al-Qur’an tentang nvestasi (menabung) antara lain dapa diambil dari kisah nabi
Yusuf as yang kisahnya digambarkan Al-Qur’an
sebagai berikut:
Ketika Yusuf
dalam penjara, penguasa Mesir ketika itu bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina
kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau, dan disusul kemudian oleh tujuh
bulir gandum yang kering. Lalu dia minta kepada para ahli untuk menerangkan
makna mimpi itu sebagaimana dijelaskan
ayat berikut:
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari
kaumnya), ‘Sesungghnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh
bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang
yang terkemuka terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kalian
dapat mena’birkan mimpi * Mereka menjawab: (Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong
dan kami sekali-kali tidak tahu mena’birkan mimpi itu (QS. Yusuf [12]: 43-44)
Ketika semua
orang tidak sanggup menjelaskan mimpi itu,seorang pelayanan istana yang selamat
dari hukuman mati yang sebelumnya pernah dipenjara dan berkenalan dengan Yusuf
meminta sang raja agar dia di beri kesempatan menemui Yusuf di penjara,kareana
dia menganggap Yusuf termasuk orang yang pandai menta’bir mimpi.
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka
berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya ,Aku akan
memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena’bir mimpi itu ,maka
utuslah aku (kepadanya)’.” (QS.Yusuf [12] :45).[5]
Setelah ia diizinkan
dan bertemu dengan Yusuf, dia meminta Yusuf untuk menjelaskan makna mimpi
tersebut dan berkata :
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah
kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh
tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu,agar mereka
mengetahuinya.” (QS.Yusuf [12]:46)
Setelah
mendengar isi mimpi tersebut,kemudian Yusuf menjelaskan makna (ta’bir) mimpi
itu sebagai berikut :
“Yusuf berkata: supaya kalian bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasa ; maka apa yang kalian tuai hendaklah kalian
biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kalian makan kemudian sesudah itu
akan datang tujuh tahun yang amat sulit yang menghabiskan apa yang kalian
simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum)
yang kalian simpan kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di
masa itu mereka memeras anggur (QS.Yusuf [12]:47-49)
Tujuh ekor sapi
dimaknai sebagai tujuh tahun masa untuk membajak. Kegemukan sapi kurus adalah
simbol kekeringan. Lalu Yusuf meminta masyarakat Mesir untuk bertanam tujuh
tahun (lamanya) sebagaimana biasa dan kemudian tidak mengonsumsi semua
hasilnya. Ia meminta gandum diawetkan dengan cara meninggalkan bulirnya tetap
di tangkai. Raja Mesir pun akhirnya menerima takwil mimpi Yusuf tersebut. Mengapa
raja memercayai takwil mimpi yang dikemukakan oleh Yusuf ? Tampaknya karena
Yusuf membuktikan diri memiliki rekam jejak (track record) yang baik (QS.Yusuf
[12]:50-52). Hal itu dibuktikan dengan kemampuanya atas petunjuk Allah menakwilkan
mimpi secara akurat dua rekanya semasa di penjara (QS.Yusuf [12] :36-37).Di
samping itu, ia bukan saja mampu menakwilkan mimpi, tapi juga memberikan solusi
dan jalan keluar dari krisis yang akan dialami Mesir ketika itu.
Raja Mesir pun
akhirny menerima takwil mimpi Yusuf tersebut. Dia memercayai takwil mimpi yang
dikemukakan oleh Yusuf,boleh jadi karena Yusuf membuktikan diri memiliki rekam
jejak (track record ) yang baik (QS.Yusuf [12:50-52).Hal itu dibuktikan dengan
kemampuanya atas petunjuk Allah menakwilkan mimpi secara akurat dua rekany
semasa di penjara (QS.Yusuf [12] : 36 -37 ).Di samping itu,ia bukan saja mampu
menakwilkan mimpi,tapi juga memberikan solusi dan jalan keluar dari kriis yang
akan dialami Mesir ketika itu.
Dari kisah Nabi
Yusuf as di atas, nampak jelas bahwa menyimpan bulir dan sebagai persiapan
adalah merupakan salah satu motif ekonomi (khususnya motig penggunaan uang
yaitu berjaga-jaga). Mempersiapakan untuk hari esok agar tidak kekurangan pada
masa paceklik juga merupakan suatu prinsip dalam investasi yaitu agar harta itu
tidak habis dimakan pada saat itu juga (habis terpakai). Kisah Yusuf ini
menggambarkan sebuah iklim investasi yang dilakukan oleh sebuah negara yang
selalu memperhatikan kesejahteraan pada hari yang akan datang. Persiapan menuju
hari esok yang tidak jelas akan terjadinya dan tidak diketahui secara pasti
mengisyaratkan kepada semua negara atau perorangan untuk siap menghadapi
sesuatu yang sulit,dalam hal investasi menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam konteks
sekarang, investasi bisa dilakukan dengan beragam cara,seperti menabung/mendepositokan di bank
,mengembangkanya melalui bisnis, membelikan properti ataupun cara-cara lain
yang halal dan berpotensi besar dapat menghasilkan keuntungan.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Tingkat tabungan
dari seorang individu dalam teori Islam tidak terlepas dari pertimbangan
kemashlahatan ummat secara keseluruhan. Pada kondisi tertentu dimana masyarakat
begitu membutuhkan harta atau dana, maka individu yang memiliki dana lebih akan
mengurangi tingkat tabungannya untuk membantu masyarakat yang kekurangan.
Dari kisah Nabi
Yusuf as dijelaskan bahwa menyimpan bulir dan sebagai persiapan adalah
merupakan salah satu motif ekonomi (khususnya motif penggunaan uang yaitu
berjaga-jaga). Mempersiapakan untuk hari esok agar tidak kekurangan pada masa
paceklik juga merupakan suatu prinsip dalam investasi yaitu agar harta itu
tidak habis dimakan pada saat itu juga (habis terpakai). Kisah Yusuf
menggambarkan sebuah iklim investasi yang dilakukan oleh sebuah negara yang
selalu memperhatikan kesejahteraan pada hari yang akan datang. Persiapan menuju
hari esok yang tidak jelas akan terjadinya dan tidak diketahui secara pasti
mengisyaratkan kepada semua negara atau perorangan untuk siap menghadapi sesuatu
yang sulit.
Islam sangat
menganjurkan seseorang untuk investasi (menabung), karena dengan menabung
berarti seseorang muslim mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perencanaan masa
yang akan datang sekaligus untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Investasi
yang berarti menunda manfaat harta yang kita miliki pada saat ini, atau berarti
menyimpan, mengelola dan mengembangkannya merupakan hal yang dianjurkan dalam
Al-Qur’an, salah stunya ialah dengan menabung.
DAFTAR PUSTAKA
Rodin
Dede, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang:
Karya Abadi Jaya, 2015.
Suwiknyo,
Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
[1] Suwiknyo, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm.176
[2] Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, hlm.
175-176.
[3] Ibid., hlm. 176.
[4] https://www.scribd.com/doc/139664920/Tafsir-Ayat-Ekonomi. Di akses pada tanggal 21
November 2016.
[5]
Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, hlm.
176-177.
[6]
Ibid., hlm. 178-181.
Deposito Syariah buat yang butuh tabungan
ReplyDelete