HUKUM ISLAM DALAM SISTEM PEMBANGUNAN
HUKUM DI INDONESIA
Makalah.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum Islam
Di Indonesia
Dosen pengampu : Iman Fadhilah, M.SI.
Oleh :
Cahyono (102211006)
Anisa Rahmatul Ulfah (122211027)
Mulyansah Fatkhi Muna (122211087)
Inna Istiqomah (132211030)
PRODI JINAYAH SIYASAH (JS)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari segi etnik, budaya, dan agama. Sedangkan mayoritasnya adalah beragama islam. Indonesia pernah dijajah oleh Belanda sekitar 350 tahun, masa yang tidak sebentar. Disamping itu, pernah juga dijajah oleh Inggris, dan Jepang. Dari situlah dapat dipahami adanya pluralitas sistem hukum yang berlaku di Indonesia, baik dari segi waktu maupun dari segi jenis[1]. Termasuk di dalamnya juga hukum islam.
Sebagian ilmuwan mengategorikan hukum Islam sebagai divine law karena aturan-aturan yang ada di dalamnya dibuat langsung oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Pengertian seperti itu adalah pengertian yang lazim dipahami selama ini. Bila kita perhatikan pengertian di atas betul-betul menempatkan hukum Islam sebagai entitas yang murni bersifat top down dan melepaskan aspek-aspek historis-sosiologisnya, sebagaimana yang dapat kita pahami pula dari kutipan di bawah ini:
“Konsep hukum menurut ahli fiqih pada dasarnya terletak di atas ide bahwa hukum itu bersifat keagamaan. Sejak periode paling awal sejarah Islam, hukum telah dipandang sebagai keluar dan merupakan bagian dari syari’ah. Adapun syari’ah sebagaimana telah dijelaskan, adalah pola tingkah laku manusia yang diatur oleh Allah SWT. Konsep hukum seperti itu sejalan dengan pandangan bahwa hukum itu harus bersumber langsung atau tidak langsung dari wahyu Tuhan yaitu al-Qur’an dan penjelasannya dari Nabi Saw. Yang disebut Sunnah.” (Soejoeti, 2001:23-24)[2].
Kemudian upaya menampakkan jati diri dalam hal hukum, sebagai Bangsa dan Negara yang berdaulat penuh, yang kemudian disebut Hukum Nasional belum berhasil. Hukum Islam pun diharapkan bisa turut serta dalam sistem pembangunan di Inonesia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat bebeapa hal yang akan diulas, antara lain:
1. Bagaimana sistem hukum di Indonesia?
2. Bagaimana peranan hukum Islam di Indonesia?
3. Apa tujuan dari landasan pembangunan nasional?
4. Apa hubungan hukum Islam dalam pembangunan?
5. Apa arah serta sasaran pembangunan hukum nasional?.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Hukum di Indonesia
Dapat dikatakan bahwa di Indonesia berlaku tiga sistem hukum yang merupakan konsekuensi untuk dianut oleh penduduk Indonesia, antara lain:
a. Dilihat dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari kebiasaan atau adat istiadat sampai dengan ketentuan yang diyakini bersama untuk dipatuhi. Dalam perkembangannya kemudian, ketika Indonesia masih dijajah oleh kolonial Belanda, kebiasaan atau adat istiadat ini disebut juga dengan “hukum adat”.
Namun, dalam pengertian yang dinamis, hokum ini disebut hukum kebiasaan (Customery Law), atau hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law).
b. Sebagai Negara yang pernah dijajah selama 350 tahun, jelaslah Negara penjajah tidak mungkin untuk tidak membawa sistem hukum ke Indonesia. Inilah yang kemudian kita sebut dengan sistem hukum Belanda atau sistem hukum barat, ada yang bilang ini hukum sipil (Civil Law). Mengidentikkan hukum barat dengan hukum pemerintah Belanda adalah dalam pengertiannya yang statis dan berorientasi ke belakang, karena Indonesia dijajah.
Namun, dalam pengertiannya yang dinamis hukum Barat ini harus dipahami sebagai hukum dari luar, terutama sekali pengaruh dari Negara-negara maju sebagai konsekuensi hubungan internasional dan dalam perwujudan era globalisasi[3].
c. Dilihat dari segi agama, sudah pasti ada nilai-nilai agama yang telah diyakini bersama, dijadikan sistem kehidupan mereka dan mengatur kehidupan antar sesama mereka, yang kemudian dianggap sebagai hukum. Hukum agama ini didatangkan di Indonesia bersama dengan hadirnya agama.
Oleh karena itu, karena mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Namun, harus dicatat bahwa hukum Islam ini memiliki arti yang dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap perubahan social. Sehingga tidak selalu mengacu pada kitab-kitab fiqh klasik.
Keberadaan Peradilan Agama sebagai simbol politik (pelembagaan) hukum Islam di Indonesia. Akan tetapi, selama ini belum menarik studi yang sistematis oleh para ahli keislaman, apalagi ahli hukum sekular pada umumnya[4].
2. Apa peranan hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum yang juga berlaku di Indonesia mempunyai kedudukan dan arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pembangunan manusia seutuhnya yakni baik pembangunan dunia maupun pembangunan akhirat, dan baik dibidang materil, maupun dibidang mental-spiritual. Di dalam Al-Quran dan hadits, ada beberapa ayat yang memberikan isyarat untuk melaksanakan pembangunan itu, antara lain[5] :
a. Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 148 yang artinya :”Hendaklah kamu berlomba-lomba dalam kebaikan”
b. Al-Quran, Surat Ar-Ra’du ayat 11 yang artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu umat kecuali dirinya sendirilah yang merubahnya”.
c. Al-Quran, Surat Al-Mujadah ayat 11 yang artinya : “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dari kamu sekalian dan begitu juga orang-orang yang berilmu pengetahuan.”
d. Hadis, riwayat Abu Na’im yang artinya : “Kekafiran dapat membawa seseorang kepada kekufuran”
e. Hadis, riwayat Imam Buchary yang artinya : “Seseungguhnya dirimu mempunyai hak atasmu, dan badanmu hak atasmu”.
f. Hadis, riwayat Abu zakir yang artinya : “Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati pada hari esok”.
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadis tersebut di tas, dapat diketahui bahwa agama Islam menghendaki agar pembangunan itu dilaksanakan. Baik pembangunan manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Baik dalam bidang materil maupun dalam bidang mental spiritual.
Dalam pembangunan dibidang mental spiritual, hukum Islam berusaha menjadikan Individu sebagai insan kamil (manusia paripurna) yakni manusia yang beraqidah yang benar, luhur dan beramal saleh. dalam bidang materil, hukum Islam meletakkan prinsip-prinsip/dasar-dasar umum yang dengan itu pengelolaan dan pemanfaatan materi jaminan untuk manusia berdasarkan ridah Allah SWT[6].
Selanjutnya dalam pembangunan bidang sosial, hukum Islam meletakkan prinsip-prinsip/dasar-dasar sosial seperti prinsip persamaan, persatuan, persaudaraan, keadilan, permusyawaratan, keseimbangan dan lain-lainnya yang dengan prinsip-prinsip tersebut terjamin kemajuan dan perkembangan sosial secara bertahap dan mantap (Hamid, 978 : 35-37).
Dengan adanya prinsip-prinsip hukum Islam dalam pembangunan sebagaimana disebutkan diatas, maka penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam harus merasa mempunyai kewajiban untuk lebih banyak berpartiipasi, berinteraksi dan berasimilasi terhadap pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia dalam segala bidang.
Selain itu, yang tidak kurang juga pentingnya adalah sejauh mana hukum Islam dapat menyumbangkan dan menunjang secara efektif terhadap usaha-usaha pembangunan nasional yang sedang digalakkan.
3. Tujuan dari Landasan Pembangunan Nasional
Mengenai keterkaitan antara hukum Islam dengan pembangunan Nasional, maka terlebih dahulu diketahui apa tujuan dan landasan pembangunan nasional di Indonesia. Dalam ketetapan yang dihasilkan oleh MPR tentang GBHN, antara lain TAP MPR No.II/MPR/1988, pada bab II secara jelas dinyatakan bahwa :
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila dan wadah NKRI yang merdeka, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan oergaulan duni yang merdeka, berdulat, tertib dan damai.
Selanjutnya apa yang menjadi landasan pembangunan nasional, lebih jauh dalam GBHN dikatkan bahwa landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan UUD 1945.
Dengan kalimat tesebut, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya baik dasar maupun landasan pembangunan nasional adalah pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Mahaesa seperti tercantum dalam pembukaan UUD 945 yang mana sila pertma itu menjiwai sila-sila yang lain.
Jika dilihat dari segi pandangan hukum di dalam NKRI yang sedang membangun ini, sebagian besar penduduknya beragama islam, maka adalah menjadi kewajiban bagi negara RI untuk memperhatikan kaidah-kaidah hukum Islam yang mencerminkan tata nilai dan yang menggerakkan hati dan perbuatan umat Islam dalam melaksanakan pembangunan. Hal ini sangat penting dalam usaha bersama mewujudkan kebahagiaan lahir batin, materil dan spiritual bagi seluruh bangsa Indonesia.
4. Hubungan hukum Islam dalam pembangunan
Perlu diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan hukum Islam karena tanpa memahami apa arti hukum Islam/syariat dengan tepat, maka sulit untuk menentukan bagimana peranannya dalam masyarakat.
Istilah hukum Islam oleh penulis-penulis kepustakaan hukum Islam sering dicampurbaurkan dengan istilah fiqih, malah istilah yang terakhir inilah yang paling sering digunakan. Hal tersebut menurut Fyzee disebabkan ukuran bagi semua tingkah laku manusia baik dalam syariat maupun dalam fiqih adalah sama, yakni mencari keridahan Allah SWT dengan jalan mentaati suatu sistem yang maha sempurna.
Mengenai pengertian hukum Islam oleh Yamani diartikan dalam dua arti yaitu arti karena luas dan arti sempit.
Dalam arti luas, Syariat Islam meliputi semua hukum yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat fiqihnya mengenai persoalan dimasa mereka atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian dengan mengambil dalil-dalilnya langsung dari Al-Quran dan hadis atau sumber pengambilan hukum yang lain seperti qiyas, istihsan, istihsab dll.
Pengertian yang luas ini tidak mesti diikuti dari awal sampai akhir. Karena di dalamnya ada beberapa bagian yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman/tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan masa kini. Akan tetapi masih bisa dipakai sebagai pustaka perbendaharaan Ilmiah.
Meskipun demikian, kata beliau selanjutnya dalam pustaka perbendaharaan ilmiah mengandung prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan dizaman modern ini yang timbul karena perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Apabila pengertian tersebut dijadikan titik pangkal untuk memahami makna yang terdapat dalam hukum Islam, maka menjadi kewajiban kita untuk terlebih dahulu menentukan bagian-bagian mana yang tidak sesuai dengan tuntunan zaman dan berusaha menemukan prinsip-prinsip yang terdapat didalamnya untuk digunakan sebagai dasar dalam menyelesaikan masalah baru masa kini.
Syariat Islam dalam arti sempit, hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas yang tertera dalam Al-Quran dan hadis yang sahih ataupun yang ditetapkan dalam Ijma’.
Hukum Islam dalam artian sempit itu wajib diikuti oleh umat Islam. Demikian pula halnya dengan hukum-hukum yang terdapat dalam hadis yang kebenarannya tidak lagi diragukan. Kemudian dikatakan dalam syariat Islam terdapat bagian-bagian atau bidang-bidang yang mengenai ibadat dan muammalat. Kedua bagian ini mempunyai kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lain.
Ditinjau dari segi turunya ayat-ayat suci Al-Quran, maka wahyu yang berkenaan dengan pengaturan kehidupan manusia di dalam masyarakat, pada umumnya diturunkan di Madinah, sedangkan ayat-ayat yang mengandung hukum baik yang berkenaan dengan ibadah maupun muamalat biasanya disebut ayatul ahkam.
Di dalam Al-Quran ini, ayat-ayat ahkam jumlahnya sangat terbatas. Ayat-ayat tersebut banyak yang bersifat prinsip yang rincian dan pelaksanaannya dicontohkan oleh Nabi Muhammad baik dengan prilaku, ucapan maupun dengan sikap dalam menghadapi sesuatu.
Kemudian persoalan bagaimana peranan hukum Islam dalam pembangunan nasional yang sekarang ini sedang digalakkan. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, sedangkan menurut Hutagalung, hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan sosial dan sering disebut hukum sebagai alat untuk mengadakan social enggeneering[7].
Dari situlah, hubungkan dengan cita-cita untuk mewujudkan “Baldatum Tayibatun Warabbun Ghafuur (masyarakat sejahtera yang diridahi oleh Allah SWT)”. Maka hukum Islam itu tidak hanya berperan sebagai sarana social control, tetapi juga berperan sebagai sarana social engeneering, bahkan dapat pula berperan sebagai sarana untuk memperlancar interaksi sosial dalam rangka menuju negara sejahtera yang dicita-citakan. Dengan kata lain, ia harus memegang peranan dalam pembangunan yang bertujuan dan landasannya seperti yang dirumuskan dalam GBHN.
5. Arah dan Sasaran Pembangunan Hukum Nasional
Sekilas beberapa usaha pembangunan hukum Nasional, yaitu pertama, berupa tulisan lepas perorangan dalam seminar, pidato, kuliah umum, sampai dengan berupa buku[8]. Kedua, pada tahun 1956 Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk membentuk suatu panitia Negara pembinaan hukum nasional.
Kemudian dikabulkan oleh pemerintah yang kemudian dibentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dengan keputusan presiden No. 107 tahun 1958. Yang bertujuan mencapai tata hukum nasional[9]. Ketiga, kebijakan dan politik pembinaan hokum nasional didalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yang diuraikan dalam TAP MPR No. IV/MPR /1973 dan TAP MPR No. II/MPR/ 1993 tentang GBHN.
Sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh , dilakukan dengan:
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi, serta unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
b. Menertibkan fungsi Lembaga-Lembaga Hukum menurut proporsinya masing-masing
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum
d. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa serta para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan, serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945[10].
Dari segi politik hukum nasional, GBHN 1993 merupakan kelanjutan GBHN-GBHN sebelumnya sejak pemerintahan Orde Baru, dan isinya ada kesinambungan program. GBHN 1993 yang merupakan TAP MPR No. II/MPR/ 1993 juga mencakup garis-garis besar pembangunan jangka panjang kedua (PJP II). Arah dan kebijakan dibidang hukum dalam GBHN 1993 menekankan pada semakin terwujudnya sistem nasional yang bersumber pada pancasila dan UUD 1945, yang penjabarannya meliputi tiga sektor yaitu materi hukum, aparatur hukum, serta sarana dan prasarana hukum[11].
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Peranan hukum Islam dalam pembangunan nasional yang sekarang ini sedang digalakkan, hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, sedangkan menurut Hutagalung, hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan sosial dan sering disebut hukum sebagai alat untuk mengadakan social enggeneering[12].
Dari situlah, dapat dihubungkan dengan cita-cita untuk mewujudkan “Baldatum Tayibatun Warabbun Ghafuur (masyarakat sejahtera yang diridahi oleh Allah SWT)”. Maka hukum Islam itu tidak hanya berperan sebagai sarana social control, tetapi juga berperan sebagai sarana social engeneering, bahkan dapat pula berperan sebagai sarana untuk memperlancar interaksi sosial dalam rangka menuju negara sejahtera yang dicita-citakan. Dengan kata lain, ia harus memegang peranan dalam pembangunan yang bertujuan dan landasannya seperti yang dirumuskan dalam GBHN.
2. Saran
Makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempuraan, karena kesempurnana itu hanya milik Allah. Oleh karena itu, kami pemakalah mohon kritik serta saran yang membangun dari berbagai pihak atau pembaca, demi perbaikan makalah-makalah selanjutnya dan peningkatan pengetahuan kami.
Wallohu a’lam bish-showab. . .
[1] Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta : Gama Media, 2004), hal. 109
[2] http://lorowbooks.com/hukum-nasional-eklektisisme-hukum-islam-hukum-umum/ Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law.
[3] Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta : Gama Media, 2004), hal. 110-111
[5] Ahmad Amrullah dkk, Hukum islam dalam system hukum nasional (mengenang 65 tahunprof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH.), Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
[6] Ibid.
[7] Soerjono Soekanto dan Roscoe Pound.
[8] Mereka itu antara lain adalah Prof. Dr. Soepomo yang menyampaikan pidato dalam Dies Natalis UGM Yogyakarta pada 17 Maret 1947; Suwandi, S.H menyampaikan kertas kerja dengan judul “sekilas kodifikasi hukum nasional di Indonesia”, pada tahun 1954 di Jakarta; Sultan Kali Malikul Adil, Thung Chiang Piet, S.H; dan kodofikasi bersifat revolusioner bagi Indonesia oleh Prof. Soetan Moh. Sjah, S.H. pada tahun 1960.
[9] Diantaranya rancangan-rancangan peraturan perundangan dan menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan perundangan. Bahwa pembinaan hukum Nasional hendaknya melalui : perundang-undangan, yurisprudensi, penetapan-penetapan lembaga eksekutif dan pendidikan hokum.
[11] Ibid, hal. 123-124
[12] Soerjono Soekanto dan Roscoe Pound.
DAFTAR PUSTAKA.
Azizy Qodri, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta : Gama Media, 2004
Gunaryo Achmad, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2006
Amrullah Ahmad dkk, Hukum islam dalam system hukum nasional (mengenang 65 tahunprof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH.), Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
http://lorowbooks.com/hukum-nasional-eklektisisme-hukum-islam-hukum-umum/, diakses pada tanggal 5 April 2014.
http://www.perpustakaan-stpn.ac.id/buku/?id=6130, diakses pada tanggal 5 April 2014
http://afikrizain.blogspot.com/2012/02/prof-qodri-azizy-dalam-kenangan.html, diakses pada tanggal 5 April 2014.
0 komentar:
Post a Comment