Saturday, 3 December 2016

KEBIJAKAN DAN AGENDA STRATEGIS PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA


Kebijakan dan Agenda Strategis
Pembangunan Sistem Hukum Nasional di  Indonesia

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Politik Hukum Islam di Indonesia
Dosen pengampu: ImanFadhilah, M.SI




Disusun oleh:

Ahmad Murobi
Fitri Anisa
Himatul Ulya
Laeli Fajriyah



FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.         PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Cukup banyak masalah/tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dalam upaya melakukan pembangunan nasional (BANGNAS). Khususnya dalam masalah pembangunan hukum nasional (BANGKUMNAS), minimal dapat diidentifikasikan tiga masalah besar, yaitu : masalah peningkatan kualitas penegakan hukum; masalah pembangunan/pembaharuan SHN (Sistem Hukum Nasional); dan masalah perkembangan globalisasi yang multi kompleks, masalah internasio-nalisasi hukum, globalisasi/transnasionalisasi kejahatan, dan  masalah hitech/cyber crime yang terus berkembang.
Ketiga masalah  itu dapat dibedakan, tapi sulit dipisahlepaskan karena ada saling keterkaitan erat. Masalah pembangunan Sistem Hukum Nasional (SHN/SISKUMNAS) atau masalah BANGKUMNAS yang menjadi topik dalam makalah ini, bukanlah masalah baru. Namun tidak berarti merupakan “masalah basi”, karena “pembaharuan/pembangunan hukum” pada hakikatnya merupakan “pembaharuan/pembangunan yang berkelan-jutan”. Di dalam pembaharuan/pembangunan hukum selalu terkait dengan “perkembangan/pembangunan masyarakat  yang berkelanjutan” maupun “perkembangam yang berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide dasar/konsePancasilai intelektual”. Jadi “law reform” terkait erat dengan “sustainable society/development”, ”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”, “sustainable intellectual conceptions/basic ideas”. Kajian terhadap masalah ini tentunya merupakan kajian yang “bergenerasi”.
Ini berarti masalah pembaharuan/pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan masalah yang harus terus menerus dikaji. Terlebih kajian ilmiah mengenai pembaharuan/pembangunan hukum nasional, tidak pernah secara nasional dima-sukkan sebagai kurikulum terstruktur/struktural, baik  dalam KURNAS (Kurikulum Nasional) maupun  KURTI (Kurikulum Inti). Kalaupun ada, sifatnya hanya sebagai kurikulum lokal atau hanya untuk bidang ilmu/konsentrasi tertentu.
Bertolak dari uraian di atas, maka diperlukanlah kebijakan dan agenda strategis pembangunan sistem hukum nasional. Hal tersebut akan kami paparkan dalam bab pembahasan pada makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
      1Bagaimana kebijakan dan agenda strategis pembangunan sistem hukum nasional di  Indonesia?

II.      PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan Ruang Lingkup Pembangunan SHN
1.  Pengertian Pengertian ”pembangunan”
Apabila dilihat dari sudut teoritik/konseptual tentang ”sistem hukum”, maka SHN dapat dikatakan sebagai kesatuan dari berbagai sub-sistem nasional, yaitu “substansi hukum nasional”, ”struktur hukum nasional”, dan ”budaya hukum nasional”.
Apabila SHN hanya dilihat sebagai substansi hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa, SHN pada hakikatnya adalah Sistem Hukum Pancasila. Apabila dijabarkan lebih lanjut, SHN-Pancasila adalah SHN yang berlandas-kan/berorientasi pada tiga pilar/nilai keseimbangan PANCASILA, yaitu : berorientasi pada nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius); berorientasi pada nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); dan berorientasi pada nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial).
Dengan demikian, sistem/tatanan hukum di Indonesia yang tidak ber-orientasi pada ke-3 pilar/nilai/pendekatan/jiwa (ruh) demikian, TIDAK DAPAT dikatakan sebagai SHN, walaupun dibuat oleh badan legislatif Indonesia. Sangat tepatlah apabila Seminar Hukum Nasional ke-II/1968 pernah menegaskan, bahwa : “UUD 1945 hanyalah boleh dilaksanakan atas dasar Pancasila. Pelak-sanaan UUD 1945 yang berlawanan dengan semangat dan jiwa Pancasila berarti manipulasi konstitusi dan pengkhianatan terhadap Pancasila”.

2. Ruang Lingkup Pembangunan SHN
Ruang lingkup pembangunan SHN dapat dilihat dari berbagai aspek/sudut. Apabila dilihat dari ruang lingkup SHN sebagaimana dikemukakan di atas, maka pembangunan ruang lingkup SHN dapat mencakup pembangunan ”substansial” (substansi hukum/legal substance), pembangunan ”struktural” (stuktur hukum/legal structure), dan pembangunan ”kultural” (budaya hukum/legal culture).  Kalau dilihat sebagai ”program pembangunan”, maka ruang lingkupnya bisa disebut dengan berbagai program yang terkait dengan bidang hukum.
Dalam Lokakarya Bangkumnas Repelita VI (1994-1999), ketiga bidang/ruang lingkup pembangunan SHN pernah dirinci sebagai berikut :
a.       Pembangunan “perangkat hukum nasional” (maksudnya bidang substansi hukum, pen.) terdiri dari 14 sektor : (1) sektor HTN dan HAN; (2) sektor Hukum Tata Ruang; (3) sektor Hukum Bahari (Laut); (4) sektor Hukum Dirgantara; (5) sektor Hukum Kependudukan; (6) sektor Hukum Lingkungan; (7) sektor Hukum Kesehatan; (8) Hukum Kesejahteraan Sosial; (9) sektor Hukum Teknologi dan Informatika; (10) sektor Hukum Keluarga dan Waris; (11) sektor Hukum Ekonomi; (12) sektor Hukum Pidana; (13) sektor Hukum Militer dan Bela Negara; dan (14) sektor Hukum Transnasional.
b.      Pembangunan “tatanan hukum nasional” (maksudnya bidang struktur hukum, pen.) terdiri dari 5 sektor : (1) Sektor kelembagaan, administrasi dan manajemen lembaga-lembaga hukum; (2) Sektor mekanisme, proses dan prosedur; (3) sektor peningkatan koordinasi dan kerjasama nasional; (4) sektor peningkatan kerjasama regional & internasional; dan (5) sektor pengembangan sarana & prasarana pendukung pembangunan hukum.
c.       Pembangunan ”budaya hukum nasional” terdiri dari 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/pembinaan perpustakaan, penerbitan dan informatika hukum; (4) Pengembangan dan pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan pembinaan pendidikan hukum.

B.       Pendekatan dan Strategi Pembangunan SHN
Kalau bertolak dari ketiga nilai/pilar keseimbangan Pancasila, maka pendekatan yang seyogyanya ditempuh dalam membangun SHN-Pancasila, adalah :
a.         pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius);
b.         pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik);
c.         pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial).
Terdapat sembilan prinsip yang mendasari sistem penyelenggaraan Indonesia dalam rumusan Undang-undang di masa depan. Kesembilan prinsip pokok tersebut dapat ditemukan jikalau melakukan penelaahan secara mendalam terhadap berbagai pergumulan pemikiran yang berkembang di kalangan para ahli, dan di kalangan para perumus dan perancang naskah Undang-Undang Dasar maupun naskah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1945 sampai sekarang. Kesembilan prinsip itu adalah : (i) Ketuhanan Yang Maha Esa, (ii) Cita Negara Hukum atau Nomokrasi, (iii) Paham Kedaulatan Rakyat atau Demokrasi, (iv) Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan, (v) Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip ‘Checks and Balances’, (vi) Sistem Pemerintahan Presidensiil, (vii) Prinsip Persatuan dan Keragaman dalam Negara Kesatuan, (viii) Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Pasar Sosial, dan (ix) Cita Masyarakat Madani.
Undang-undang Dasar merupakan dokumen hukum yang mewujudkan cita-cita bersama setiap rakyat Indonesia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan pengertian sila pertama Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, setiap manusia Indonesia sebagai rakyat dan warga negara Indonesia, diakui sebagai insan beragama berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Paham ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut merupakan pandangan dasar dan bersifat primer yang secara substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa Indonesia. Karena itu, nilai-nilai luhur keberagaman menjadi jiwa yang tertanam jauh dalam kesadaran, kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia sehari-hari. Jiwa keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu juga diwujudkan dalam kerangka kehidupan bernegara yang tersusun dalam Undang-Undang Dasarnya.
Karena Pancasila merupakan nilai-nilai filosofis kultural yang fundamental, maka dapatlah ditegaskan bahwa strategi pembangunan SHN seharusnya berawal/dimulai dari “pembangunan kultural” (budaya hukum nasional), karena nilai-nilai Pancasila inilah yang merupakan ruh/jiwa/nur/nilai-dasar/ide-dasar dari SHN. Pembangunan/pem-baharuan SHN pada hakikatnya berawal dari pembaharuan nilai/ide-dasarnya.
Salah satu bidang pembangunan “budaya hukum nasional” yang diutamakan/didahulukan menurut Renstra di atas, ialah sektor Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional. Strategi demikian sangat tepat, karena berdasarkan bangunan teori hukum menurut Meuwissen: (1) Filsafat Hukum (landasan dari keseluruhan teori hukum – berarti dalam arti luas); (2) Teori hukum (dalam arti sempit); dan (3) Ilmu Hukum. Apabila teori Meuwissen itu diimplementasikan dalam membangun SHN Indonesia, berarti harus dibangun terlebih dahulu (1) Filsafat Hukum Pancasila, kemudian (2) Teori Hukum Pancasila; dan akhirnya terbangun (3) Ilmu Hukum Pancasila (Ilmu Hukum Nasional). Ketiga hal inilah yang seharusnya dibangun/di-kembangkan dalam SISKUMNAS.
Masalah strategis ini belum terwujud secara menyeluruh dalamIlmu Hukum NasionalIndonesia (IHN). Contoh konkret di bidang hukum pidana. Sampai saat ini, ilmu hukum pidana yang diajarkan masih bersumber/bertolak dari Ilmu Hukum Pidana yang berorientasi pada KUHP warisan zaman Belanda, karena RKUHP masih saja belum menjadi hukum pidana positif. Dirasakan janggal, apabila tujuannya membangun atau membina/mengembangkan SHN (termasuk sistem hukum pidana nasional), tetapi yang dipelajari/diajarkan terus menerus adalah ilmu hukum warisan zaman kolonial.

C.      Posisi dan Peran PTH Dalam Membangun/Mengembangkan IHN (Ilmu Hukum Nasional)
Membangun/mengembangkan/memperbaharui ilmu hukum nasional,  terkait erat dengan peran dan tugas PTH (Pendidikan Tinggi Hukum). Tugas PTH tidak hanya menyelenggarakan “pendidikan hukum profesional” (“professional law education”) untuk  menghasilkan sarjana hukum yang memiliki kemampuan akademik dan kemampuan profesional (termasuk kemahiran/ketrampilan hukum) dalam  bidang  hukum positif, tetapi juga  dituntut  untuk mengemban “tugas keilmuan/konsePancasilaional akademik” dan “tugas nasional” dalam  melakukan upaya pengkajian dan pengembangan/pembaharuan ilmu hukum nasional. Kedua tugas PTH itu sesuai dengan penegasan Pasal 2 (1) PP No. 60/1999 : Tujuan pendidikan tinggi adalah:
a.    menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
b.    mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Inilah yang  merupakan tantangan bagi lembaga PTH di Indonesia.  Seberapa  jauh kegiatan FH dan Pascasarjana Hukum beserta seluruh civitas akademikanya, dapat mendukung, mengisi atau memberikan sumbangan  konsep/wawasan baru bagi tersusunnya pembaharuan IHN, termasuk Ilmu Hukum Pidana Indonesia?
Kajian  mengenai pembaharuan hukum dan  politik  hukum (termasuk pula kajian “pembaharuan hukum pidana” dan “kebijakan/politik hukum pidana”) merupakan tugas nasional yang melekat pada setiap pendidikan tinggi hukum sebagai suatu lembaga ilmiah. Oleh karena itu, kajian mengenai hal ini  seyogyanya distrukturkan atau dilembagakan.
Kalau pada hakikatnya, pembaharuan/pembangunan hukum merupakan suatu “kegiatan berlanjut (sustainable activity) atau merupakan “konsep berlanjut (sustainable concept/idea)”, bukankah wajar kalau kajian mengenai pembaharuan/pengembangan IHN (khususnya kajian tentang pembaharuan/politik hukum pidana nasional) seharusnya distrukturkan dalam kurikulum nasional/kurikulum inti (KURNAS/KURTI)?
Dari uraian di atas  dapatlah ditegaskan, bahwa membangun/menata ulang pendidikan hukum nasional dan IHN memang sangat diperlukan karena:merupakan tuntutan/amanat nasional;merupakan bagian dari BANGNAS/BANGKUMNAS;merupakan bagian dari pembangunan SHN (Sistem Hukum Nasional);merupakan respon terhadap perkembangan nasional dan global; dan sesuai dengan hakikat/fungsi ilmu hukum sebagai “ilmu normatif (das Sollen) mengenai masalah faktual (das Sein)”, yang tentunya harus mengalami perubahan apabila kondisi faktual dan ide konsePancasilaional/ide-ide dasarnya berubah (nasional/global);
Untuk mempersiapkan/menyongsong “Generasi Baru Hukum Indonesia” (“Sarjana Hukum Indonesia Era Reformasi dan Era Digital”) atau untuk mempersiapkan “the lawyer of tomorrow” (meminjam istilah Nicholas J Gervassis dari University of Edinburgh sewaktu mengomentari buku Human Rights in the Digital Age, Edited by Mathias Klang and Andrew Murray[1]).
Pengembangan IHN terkait erat dengan pengertian dan hakikat “ilmu hukum” itu sendiri. Ilmu hukum pada hakikatnya    merupakan  “normatieve maatschappij  wetenschap”, yaitu “ilmu  normatif tentang hubungan  kemasyarakatan” atau “ilmu hubungan kemasyarakatan (kenyataan) yang normatif”.  Secara singkat dapat dikatakan, bahwa ilmu hukum merupakan “ilmu normatif (das Sollen) tentang kenyataan (das Sein”), atau “ilmu kenyataan (das Sein) yang normatif”. Dengan demikian, kalau “hukum” dipandang  sebagai salah satu “institusi sosial/kemasyarakatan” (berupa  “norma” maupun “keajegan-keajegan perilaku”) dalam mengatur/mempolakan dan memecahkan  masalah/kenyataan sosial,  maka ilmu hukum pada hakikatnya merupakan  ilmu yang berkaitan dengan konsep/ wawasan  (pandangan/ide-ide dasar) dalam mengatur dan memecahkan masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Bertolak dari pengertian dan hakikat ilmu hukum yang demikian, maka dapatlah ditegaskan, bahwa ilmu hukum  pada dasarnya  adalah ilmu normatif  tentang  “konsep/wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan”. Dengan demikian  wajar-lah apabila kajian ilmu (sistem) hukum di suatu masyarakat mengandung karakteristik yang berbeda/berlainan karena didasarkan pada konsep/ide-dasar/wawasan yang berbeda (dilihat  dari sudut sosio-politik, sosio-filosofik  dan sosio-kulturalnya).
Bertolak dari pengertian dan hakikat yang demikian pula, maka masalah besar dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia  ialah  masalah  perkembangan/perubahan/pergeseran orientasi konsep/wawasan dari ilmu hukum sebelum kemerdekaan (ilmu hukum warisan penjajah) ke ilmu hukum setelah atau  dalam alam kemerdekaan. Dengan kata lain,  masalah besarnya terletak pada bagaimana membangun/mengembangkan “ILMU  HUKUM INDONESIA”. Inilah yang  merupakan  hakikat  dan tantangan kajian ilmu hukum di Indonesia.
Kalau di atas dikemukakan, bahwa ilmu hukum pada hakikatnya merupakan ilmu normatif tentang “konsep/wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan”, maka dalam konteks  Indonesia, “Ilmu Hukum Indonesia/Nasional” (IHI/IHN) tentunya berarti “ilmu normatif tentang konsep kehidupan bermasyarakat di Indonesia”. Bila dikaitkan dengan istilah dalam  Pembukaan UUD 1945, dapatlah dikatakan, bahwa IHN adalah “ilmu normatif  tentang  konsep ‘berkehidupan kebangsaan  yang  bebas’ di Indonesia”. Berkehidupan kebangsaan yang bebas mengandung aspek yang sangat luas, yaitu dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat/ berbangsa/bernegara.
Apabila “tatanan berkehidupan kebangsaan” yang dicita-citakan bangsa Indonesia adalah tatanan berdasarkan Pancasila, maka Ilmu Hukum Indonesia adalah ilmu mengenai tatanan berkehidupan kebangsaan berdasarkan Pancasila. Ini berarti membangun SHN pada hakikatnya membangun konsep-konsep tatanan yang berorientasi pada nilai/paradigma Pancasila, yaitu paradigma Ketuhanan (moral-religius), paradigma kemanusiaan, paradigma kebangsaan (persatuan/ke-pentingan umum), paradigma kerakyatan/demokrasi, dan paradigma keadilan sosial. Dapat pula dikatakan secara singkat, bahwa Ilmu Hukum Nasional (Ilmu Hukum Pancasila) adalah Ilmu Hukum yg berorientasi pada tiga pilar/nilai keseimbangan Pancasila, yaitu:
a.       IH bernilai/berpilar/berorientasi – Ketuhanan (bermoral religius);
b.      IH bernilai/berpilar/berorientasi – Kemanusiaan (humanistik)
c.       IH bernilai/berpilar/berorientasi – Kemasyarakatan (nasionalistik; demo-kratik; berkeadilan sosial).
Ini berarti, Ilmu Hukum yg tidak berorientasi pada ke-3 pilar/nilai/pendekatan/jiwa (ruh) demikian, bukan Ilmu Hkm Nasional.
Mengingat uraian di atas, wajarlah apabila Prof. Moeljatno[2] pernah menyatakan, bahwa “Dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan adanya sila ketuhanannya, maka tiap ilmu pengetahuanyang tidak dibarengi dengan ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap”. Prof. Dr. Notohamidjoj[3] pun sering menegaskan, bahwa  “tanggung jawab jurist ialah merohaniahkan hukum”, dan  “penilaian scientia yuridis harus mendalam dan mendasar pada conscientia” (nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kasih sayang antar sesama dsb). Dengan demikian tidak  ada “sekulerisasi” dalam pendidikan hukum dan ilmu hukum di Indonesia.
Di dalam rambu-rambu sistem hukum nasional jelas dinyatakan, hal-hal berikut. :
a.       Pasal 29 (1) UUD’45 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.      Pancasilal. 3 (2) UU:4/2004 : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
c.       Pasal 4 (1) UU:4/2004 : Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME”.
d.      Pasal 8 (3) UU Kejaksaan No. 16/2004 : “Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”.
Dari berbagai ketentuan di ataspun jelas, pendidikan hukum dan ilmu hukum di Indonesia seharusnya tidak bersifat sekuler. Konsekuensinya, PTH dan IHN harus juga menggali/mengkaji ilmu  hukum ber-Ketuhanan YME. Apabila tidak, bagai-mana mungkin ketentuan yuridis-religius di atas dapat dipahami dan diterapkan dengan baik. Sangatlah ironis, dalam negara yang ber-Ketuhanan YME dan peradilannya dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME”, tetapi mahasiswa hukum dan aparat penegak hukumnya hanya tahu tentang keadilan berdasarkan “tuntunan UU”, tetapi tidak tahu tentang keadilan berdasarkan “tuntunan Tuhan”.
Di samping rambu-rambu nasional di atas, kesimpulan Seminar Hukum Nasional ke VI (1994)[4] pernah menegaskan, bahwa : “Perlu untuk dikembangkan gagasan mengenai kualitas pemberian keadilan (the dispension of justice) yang lebih cocok dengan sistem hukum Pancasila”. Ini berarti PTH dan IHN harus menggali, mengkaji, dan mengajarkan kepada mahasiswa tentang apa itu “Keadilan Pancasila”. Ini berarti Ilmu Hukum Indonesia, adalah “ilmu tentang Keadilan Pancasila”.
Keadilan Pancasila berarti keadilan berke-Tuhanan, keadilan berkemanusiaan (humanistik), keadilan nasionalistik, demokratik, dan berkeadilan sosial. Apa maknanya semua itu? PTH/IHN lah yang seharusnya melakukan kajian. Namun yang jelas, keadilan Pancasila yang demikian itu, jelas bukan sekedar “keadilan formal” tetapi “keadilan substantif/materiel”.
Patut kiranya dikaji keterkaitan antara asas Peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME” dengan asas “independensi peradilan”. Kebebasan/kemerdekaan/independensi peradilan selama ini sering hanya diartikan sebagai kebebasan dari campur tangan/intervensi dari kekuasaan negara lainnya. Kenyataannya, adanya mafia peradilan menunjukkan tidak adanya ke-merdekaan praktek peradilan dari berbagai nafsu tercela/kotor.
Hakikat/nilai substansial dari “kebebasan (independensi) peradilan” justru seharusnya bersumber dari keyakinan akan asas peradilan yang dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kebebasan/kemerdekaan (independensi) substansial hanya ada pada orang yang merasa terikat/bergantung pada kekuasaan/tuntunan Ilahiah (transendental), bukan pada kekuasaan lain. Dengan menghayati/menjiwai hakikat keadilan berdasar tuntunan Tuhan, barulah orang (hakim) akan terbebas dari “nilai/kekuasaan subjektif” berupa hawa nafsu; kebencian golongan; ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme/favoritisme).[5]
Inilah seharusnya yang menjadi karakteristik “independensi” Indonesia. Oleh karena itu, tuntunan/ilmu Ketuhanan itu harus diintegrasikan dalam PTH/IH Indonesia. Kalau tidak, maka wajarlah asas juridis-religius (Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME) hanya menjadi formalitas (sekedar “irah-irah”) putusan. Jadi hanya keadilan formal, bukan keadilan substantif/materiel.
Renungan dan kajian mendalam tentang SHN/IHN Pancasila seyogyanya dikaji dan dikembangkan terus menerus sebagai upaya mencari alternatif/model lain dari sistem/ilmu hukum yang ada saat ini (minimal “model lain/baru” daripada warisan zaman Belanda). Hal ini perlu, karena ilmu dan praktek penegakan hukum saat ini ternyata masih memprihatinkan dan dipandang tidak mampu mengatasi masalah sehingga banyak upaya/pemikiran untuk mencari “model/alternatif lain” (Prof. Satjipto menawarkan model hukum progresif).
Bertolak dari pandangan Prof. Moeljatno seperti dikemukakan di atas (bahwa “ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap”), maka IHN Pancasila yang seyogyanya dibangun adalah IHN ber-Ketuhanan. Artinya, IHN harus juga mengacu/menggali ilmu Ketuhanan, baik yang ada di berbagai ajaran agama maupun dari ayat-ayat/tanda-tanda/contoh ciptaan Tuhan di alam. Semua bahan renungan itu, merupakan bahan kajian/studi bagi PTH.

III.   PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kebijakan dan agenda strategis pembangunan sistem hukum nasional di  Indonesia setidaknya mencakup ruang lingkup pembangunan sistem hukum nasional yang antara lain : Pembangunan “perangkat hukum nasional”; Pembangunan “tatanan hukum nasional”; Pembangunan ”budaya hukum nasional”
Dalam pembangunan sistem hukum nasional seyogyanyamenggunakan pendekatan Pancasila dimana bertolak dari ketiga nilai/pilar keseimbangan Pancasila, yakni :pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Ketuhanan” (bermoral religius);pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemanusiaan” (humanistik); pendekatan yang berwawasan nilai-nilai “Kemasyarakatan” (nasionalistik; demokratik; berkeadilan sosial).
Dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang baik dibutuhkan peran Pendidikan Tinggi Hukum yang tidak hanya bertugas menyelenggarakan “pendidikan hukum profesional” untuk  menghasilkan sarjana hukum yang memiliki kemampuan akademik dan kemampuan profesionaldalam  bidang  hukum positif, tetapi juga  dituntut  untuk mengemban “tugas keilmuan/konsePancasilaional akademik” dan “tugas nasional” dalam  melakukan upaya pengkajian dan pengembangan/pembaharuan ilmu hukum nasional.
Karakteristik independensi Indonesia seharusnya bersumber dari keyakinan akan asas peradilan yang dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kebebasan/kemerdekaan (independensi) substansial hanya ada pada orang yang merasa terikat/bergantung pada kekuasaan/tuntunan Ilahiah (transendental), bukan pada kekuasaan lain. Dengan menghayati/menjiwai hakikat keadilan berdasar tuntunan Tuhan, barulah orang (hakim) akan terbebas dari “nilai/kekuasaan subjektif” berupa hawa nafsu; kebencian golongan; ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme/favoritisme).
Oleh karena itu, tuntunan/ilmu Ketuhanan itu harus diintegrasikan dalam PTH/IH Indonesia. Kalau tidak, maka wajarlah asas juridis-religius (Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan YME) hanya menjadi formalitas putusan. Jadi hanya keadilan formal, bukan keadilan substantif/materiel.


B.       Saran
Kelemahan dalam makalah kelompok kami ini hanya mencantumkan sedikit dari hasil penelusuran teks buku dan artikel mengenai pembangunan Sistem Hukum Nasional. Alangkah lebih baiknya mencantumkan lebih banyak lagi hasil penelusuran yang lebih kompleks agar bisa lebih menggambarkan mengenaikebijakan dan agenda strategis pembangunan sistem hukum nasional di  Indonesia itu sendiri.


Daftar Pusaka

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
Moeljatno, kuliah umum UII Yogyakarta, 12 September 1963.
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1967.



[2] Lihat Moeljatno, kuliah umum UII Yogyakarta, 12 September 1963.
[3]O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1967.
[4] Seminar Hukum Nasional IV : Jakarta, 26 – 30 Feb 1979, Tema “Pembinaan Hukum Nasional dalam Rangka Penegakan Negara Hukum yang didambakan oleh Pancasila dan Undang-Undang.
[5] Karena dalam Al-Qur’an dinyatakan : (An-Nisaa’: 58) : apabila kamu menghukum di antara manusia, maka hukumlah dgn. adil; (An-Nisaa’: 135) : jadilah kamu orang yg benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapakmu dan kaum kerabatmu;  janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari kebenaran/keadilan; (Al-Maidah:8) : janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan, mendorong kamu berlaku tidak adil; (Asy-Syuura:15) : perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yg tidak seagama.

0 komentar:

Post a Comment