I.
PENDAHULUAN
Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah
dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam
al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh seorang ahli ushul
fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790
H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul
al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid.
Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi maqashid
al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan
(jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat
(motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.1
Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi
membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid
hâjiyat, dan Maqashid tahsînât.
Secara substansial maqasid
al-syari’ah mengandung kemashlahatan, baik ditinjau dari maqasid
al-syari’ (tujuan Tuhan) maupun maqasid al-mukallaf (tujuan
Mukallaf).3 Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid al- Syariah mengandung
empat aspek, keempat aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini,[1]
1. Tujuan hukum syara’.
2. Dharury, haajiy, tahsiiniy.
3.
Tertib hukum Syara’ menurut tujuannya.
4.
Tingkatan
maslahat.
5.
Menghilangkan
kesempitan dan menolak bahaya.
Berikut penjelasan dari
pokok-pokok di atas secara rinci.
II.
PEMBAHASAN
Tujuan Hukum Syara’
Tujuan hukum
harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam
islam. Dengan demikian “ pengetahuan tentang maqashid syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid
dalam ijtihadnya” tentu yang dimaksud hukum disini adalah hukum yang menyangkut
bidang muamalah.
Tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia
maupun di akhirat.[2]
Kaidah pertama ini menjelaskan tujuan umum syari’ dalam pembentukan
hukum-hukum syara’; baik berupa hukum taklifi maupun hukum wadh’i dan
menjelaskan tingkatan hukum berdasarkan tujuannya. Mengetahui tujuan umum
syari’ dalam pembentukan hukumnya adalah diantara hal penting untuk membantu
memahami nash-nashnya dengan pemahaman
yang benar dan menerapkannya terhadap kejadian, serta mengeluarkan hukum atas
peristiwa yang tidak ada nashnya.[3]
Tujuan umum pembentukan hukum adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan
menjamin kebutuhan dhaururiyyah (primer), haajiyah (sekunder), tahsiiniyyah
(pelengkap).[4] Ada
lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Abu Zahrah menjelaskan
sebagai berikut:
a. Memelihara agama (al- muhafazhah ‘ala al-diin)
Agama adalah merupakan persatuan aqidah,
ibadah, hukum dan undang-undang yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. Untuk
mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan antara sesama manusia.
Islam lantaran mewujudkan dan mendirikan agama telah mensyari’atkan kewajiban
dan lima hukum fundamental yang merupkan sendi islam. Juga aqidah - aqidah lain
dan pokok-pokok ibadah yang disyari’atkan oleh syari’ dengan tujuan menegakkan
agama dan meneguhkannya dalam hati dan mengikuti hukum, yang manusia tidak bisa
baik kecuali lantaran hukum-hukum itu.[5]
b. Memelihara jiwa (al- muhafazhah ‘ala al-Nafs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar
terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota
badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga
diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf, mencaci maki serta
perbuatan- perbuatan serupa.
c. Memelihara akal (al-muhafazhah ‘ala al’aql)
Terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang
bersangkutan tidak berguna dimasyarakat, menjadi sumber kejahatan, bahkan
menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang
dilakukan syari’at islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkat kemampuan akal
pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakan.
d. Memelihara keturunan (al- muhafazhah ‘ala al-Nasl)
Jaminan kelestarian populasi umat
manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta
agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga
dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki
kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasaan yang memadai
e. Memelihara harta
Mencegah perbuatan yang menodai harta,
misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem mu’amalah atas dasar keadilan dan
kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan
secara proposional melalui cara-cara yang halal.
Dharury, Haajiy
Oleh: Muhammad Rizal Syauqi (122111096)
Apa yang disyari’atkan islam terhadap dharuriyah manusia?
Hal-hal yang bersifat dharuriy
manusia, seperti yang telah diuraikan, bertitik tolak pada lima hal, yaitu :
agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Apa yang disyari’atkan islam terhadap haajiyah
manusia ?
Hal-hal yang bersifat sekunder,
bertitik tolak pada suatu yang dapat menhilangkan kesempitan, meringankan beban
yang menyulitkan, dan memudahkan jalan-jalan mu’amalah serta mudharabah bagi
mereka.
Islam mensyari’atkan dalam ibadah
berupa hukum rukhsoh (keringanan atau kelapangan), untuk meringankan beban
mukallaf apabila ada kesulitan dalam melaksanakan hukum ‘azimah. Islam
memperbolehkan berbuka puasa pada siang hari bagi yang sakit atau musafir,
qoshor shalat empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musyafir, dan shalat dengan
duduk bagi yang tidak mampu berdiri, dan hukum-hukum rukhshoh lain yang
disyari’atkan untuk menghilangkan kesempitan manusia dalam melaksanakan ibadah.
Dalam mu’amalah Islam mensyari’akan
banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan
manusia seperti jual beli, sewa menyewa, mudhorobah, dan beberapa hukum rukhsoh
dalam akad yang tidak tertutup dikembangkan melalui qiyas.
Dalam lapangan uqubah (pidana),
Islam menyari’atkan tututan diyat (dengan tebusan) kepada aqilah (keluarga
pembunuh dari jurusan ayah) untuk meringankan pembunuhan secara tidak sengaja.
Islam juga menolak pelaksanaan hukum had karena belum jelas dan memberikan
kepada wali terbunuh hak mengampuni pelaksanaan hukum qishosh terhadap pembunuh.
Sebagai tujuan, hukum-hukum yang
berupa meringankan dan menghilangkan kesempitan, ialah suatu yang berbarengan
dengan hukum-hukum itu, bila berupa ‘illat maupun hikmah pembentukan hukum.
Tahsiniiy
Oleh: Nurul Aini
Malihatin
Apa
yang disyari’atkan Islam terhadap Tahsiniyah manusia ?
Hal-hal yang bersifat kebutuhan manusia, seperti
telah diuraikan didepan, bertitik tolak pada suatu yang membuat indah kondisi
manusia, juga membuat hal itu sesuai dengan tunutan norma dan akhlak mulia.
Dalam berbagai masalah ibadah, mu’amalah dan uqubah, islam mensyari’atkan
beberapa hukum yang beorientasi kepada sesuatu yang membantu yang membuat elok
dan indah. Hukum-hukum ini dapat membalas manusia kepada jalan yang paling baik
dan paling benar.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyari’atkan bersuci
badan, pakaian, tempat, penutup aurat, menjaga dari semua najais dan
membersihkan diri dari air kencing, Islam menganjurkan berhias ketiak hendak ke
masjid, juga menganjurkan menambah
ibadah sunat dengan shodaqoh, shalat, dan puasa. Semua itu dilakukan bersama
rukun dan syarat-syaratnya sebagai tata krama untuk mengerjakan semua itu. Hal
ini bertujuan untuk membiasakan manusia pada kebiasaan-kebiasaan yang paling
baik.
Dalam lapangan mu’amalah, Islam mengharamkan tipu
daya, pemalsuan, penipuan, melampaui batas, dan kikir terhadap diri sendiri,
melarang penggunaan setiap suatu yang dinggap najis dan bahaya.
Dalam lapangan uqubah
(pidana). Islam melarang membunh para perdata, anak-anak dan kaum wanita. Pada
waktu terjadi peperangan “Islam melarang penyiksaan dan hiyanat” melarang
membunuh yang tidak senganja, dan membakar hidup-hidup atau sudah mati. Dalam
lapangan akhlaq dan sandi-sandi keutamaan, Islam telah menetapkan/mengajarkan
hal-hal yang dapat mendidik individu dan masyarakat, agar dapat berjalan
bersama pada jalan yang paling lurus.
Allah Swt, sendiri telah menunjukan maksudnya
terhadap tahsin dan tajmil ini dengan berbagai illat dan
hikmah yang diparelkan bersama dengan berbagai hukum-Nya sperti firman-Nya :
$tB... ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR ...
“
Tetapi Dia (Allah) hendak mmebersihkan kamu dari menyempurnakan nai’mat-Nya
bagimu”. (Q.S. Al-Maidah : 6)
Dan sabda Rasulullah :
اِنَّمَا
بُعِثْتُ لِاُتَمِمَّ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“Saya
hanya diutus untuk menyempurnakan khalak mulia”.
Juga sabda beliau :
اِنَّ
اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ اِلَّا طَيِّبًا
“
Sesungguhnya Allah Swt. Itu suci. Dia tidak menerima kecuali sesuatu yang baik
atau suci”.
Melihat hukum-hukum syara’ bersama ‘illat dan hikmah
pembentukan hukum-hukumnya dalam berbagai bab dan peristiwa, dapat
menghasikan kesimpulan bahwa syari’at Islam itu dalam pembentukan hukumnya
tidak lain bertujuan untuk memelihara kepentingan manusia, kepentingan sekunder
dan kepentinagan pelengkapnya.
Hikmah syari’at Islam dalam hal ini diinginkannya
berupa memelihara tiga kepentingan manusia, yang menghendaki jalan yang paling
sempurna. Jika syari’ dengan hukumnya dapat memelihara setiap tiga macam kepentingan
itu, maka Islam mensyari’atkan hukum-hukum yang dianggap menyempurnakan tiga kepentingan
tersebut dalam merealisir tujuan-tujuannya.
Dalam berabagai kepentingan pokok, ketika Islam
mensyari’atkan shalat untuk memelihara agama, disyari’atkan pula melaksanakanya
secara berjama’ah dan memberitahukan datangnya waktu shalat itu dengan adzan,
supaya dalam mendirikan agama dan
memeliharanya lebih sempurna lantaran dibarengi dengan menampakan syari’ah
agama yaitu berkumpulnya umat Islam untuk mengerjakan shalat.
Islam mewajibkan hukum qishosh untuk memelihara
jiwa, karena itu disyaria’akan pula pelaksanaannya yang seimbang dan sesuai
supaya dapat sampai tujuan qishosh tanpa menimbukan permusuhan dan kemarahan.
Karena membunuh si pembunuh secara lahir dalam bentuk yang keji dari yang telah
dilakukan oleh pembunuh, dapat mendatangkan pertumpahan darah dan merusak tujuan
qishoh.
Islam menharamkan zina untuk memelihara
kehormatan, karena itu diharamkan pula berduaan bersama wanita bukan muhrim
ditempat sunyi, sebagai langkah prefensi Khomr (minuman keras) diharamkan untuk
memelihara akal karena itu diharamkan pula khomar yang sedikit, sekalipun tidak
memabukkan. Dijadikan sesuatu, yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan
itu maka sesuatu itu itu sebagai wajib hukumnya. Dan segala sesuatu yang bisa
mendatangkan kepada yang haram, sebagai haram. Islam mengigatkan beberapa hal
yang mubah. Membatasi beberapa hal yang mutlak. Mentakhsis beberapa yang umum. Semua itu
adalah untuk menutup kemungkinan yang bisa terjadi. Islam mensyari’atkan pernikahan
untuk memperoleh anak dan keturunan, maka disyari’atkan pula kafa’ah (kesamaan
martabat) antara mempelai berdua agar menyempurnakan keserasian dan hubungan
keluarga yang harmonis. Maka ajaran-ajaran
yang oleh Islam disyari’atkan untuk memelihara kepentingan pokok manusia,
ajaran-ajaran itu disempurnakan dengan mensyari’atkan hukum-hukum yang dapat
merealisir tujuan ini pada jalannya yang paling sempurna.
Perihal kepentingan-kepentingan yang bersifat
sekunder, Islam mensyari’atkan macam-macam
mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa, perseroan, mudharabat, maka semua
itu disempurnakannya dengan melarang menipu, tidak mengetahui atau menjual yang
tiada nampak juga dengan menjelaskan syarat-syarat yang menyertai akad yang sah
dan tidak sah. Dan hal-hal lain yang dengan itu dimaksudkan dengn mu’amalah itu
dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa menimbulkan pemusuhan rasa dengki atau
kesal.
Mengenai kepentingan-kepentingan yang bersifat
pelengkap, ketika Islam mensyari’atkan bersuci, disana dianjurkan beberapa hal
yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam mengajukan perbuatan sunat, maka
Islam menjadikan ketentuan yang didalamnya terdapat ssuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakan sebelum sempurna.
Barang siapa dapat melakukan renungan terhadap hukum syari’at Islam, maka jelas
bagi dia bahwa tujuan seiap hukum yang disyari’atkan adalah memelihara
kepentingan pokok manusia atau kepentingan sekunder atau kepentingan
pelengkapnya, dan atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu
diantara kepentingan tersebut.[6]
Tertib Hukum
Syara’ Menurut Tujuannya
Oleh: Nur Laily
Khoiriyah (122111107)
Setelah dijelakan
pengertian dharury, hajiy, dan tahsiniy, maka tampak jelaslah bahwa kepentingan
pokok (dharury) itu adalah termasuk di antara tujuan terpenting. Karena tanpa
dharury akan berakibat terganggunya keharmonisan dalam prikehidupan,
menjalarnya bencana di antara manusia, dan tersia-sianya kemaslahatan mereka.
Setelah dharury ialah hajiy, karena hajiy akan berakibat manusia jatuh dalam
kesempitan dan kesulitan, serta menanggung kesulitan yang membebani mereka.
Berikut setelah hajiy ialah tahsiniy. Karena tanpa tahsiniy, tidak akan
berakibat terganggunya keharmonisan hidup dan tidak berakibat jatuhnya manusia
dalam kesempitan. Tetapi berakibat manusia berada di luar lingkungan
kesempurnaan tatanan hidup dan apa yang dianggap baik oleh akal sehat.
Dengan demikian,
hukum-hukum syara’ yang disyari’atkan untuk memelihara kepentingan pokok,
merupakan hukum yang terpenting dan paling berhak untuk dipelihara. Setelah itu
hukum-hukum yang disyari’atkan untuk menyempurnakan kepentingan sekunder.
Kemudian hukum-hukum yang disyari’atkan untuk kepentingan memperbaiki dan
memperindah. Hukum-hukum yang disyari’atkan untuk kepentingan sekunder dianggap
sebagai hal yang menyempurnakan hukum yang disyari’atkan untuk memelihara
kepentingan pokok.
Jika di dalam
memelihara hukum tahsiniy itu justru merusak hukum dharury atau hajiy, maka
hukum tahsiniy tidak perlu dipertahankan. Karena itu diperbolehkan membuka
‘aurat, apabila diperlukan untuk pengobatan atau tindakan yang bersangkut paut
dengan luka-luka. Karena menutup ‘aurat adalah tahsiniy, sedangkan pengobatan
adalah dharury. Diperbolehkan memakan barang najis, apabila itu merupakan obat
atau keadaan terpaksa. Karena menghindari najis adalah tahsiniy, sedangkan pengobatan
dan menolak bahaya adalah dharury.
Hukum hajiy juga bisa
ditinggalkan jika di dalam memeliharanya merusak hukum dharury. Untuk itu
beberapa kefardhuan dan kewajiban, wajib dilaksanakan oleh seorang mukallaf
yang tidak dalam rukhshoh, sekalipun dalam melaksanakannya dirasakan sulit dan
berat bagi mereka. Karena setiap pembebanan pasti mengandung beban dan
kepayahan. Seandainya selalu dipelihara agar kesulitan apa saja tidak menimpa
seorang mukallaf, niscaya beberapa hukum dharury yang berupa ibadah, uqubah,
dan lain-lainnya menjadi sia-sia. Karena seetiap perintah atau larangan terhadap mukallaf adalah dalam rangka
memelihara dharury, tidak terlepas dari keberadaan dalam melaksanakannya.
Tetapi beban keberatan ini pada dasarnya untuk memelihara hukum-hukum dharury
bagi orang mukallaf.
Hukum-hukum dharury wajib dipelihara.
Tidak boleh merusak salah satu hukum dari padanya, kecuali bila dalam
memelihara hukum dharury itu mendatangkan kerusakan bagi hukum dharury yang
lebih penting lagi. Karena itu wajib berjihad untuk memelihara agama sekalipun
di sana terjadi pengorbanan jiwa. Karena memelihara agama itu lebih penting
dari memelihara jiwa. Hukum ini menyia-nyiakan hukum dharury karena memelihara
hukum dharury yang lebih penting
Menurut dalil teah
jelas bahwa tujuan-tujuan syari’ mensyari’atkan hukum, adalah tidak melampaui
dari memelihara salah satu di antara tiga kepentingan tersebut, atau
menyempurnakannya. Tujuan-tujuan ini dipelihara secara tertib menurut
kepentigannya yang lebih penting. Dan atas penertiban itu ditertibkanlah
hukum-hukum yang disyari’atkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu.
Berdasarkan
kaidah-kaidah pokok pembentukan hukum
yang pertama ini, dibuatlah prinsip-prinsip hukum syara’ secara khusus untuk
menghilangkan kesempitan. Dari setiap kesempitan. Dari setiap prinsip itu
keluarlah beberapa cabang yang menghasilkan beberapa hukum.[7]
TINGKATAN MASLAHAT
Oleh: Muhammad Zuhudi
Ditinjau dari segi kaedah
umum, jelas sekali bahwa maslahat bertingkat-tingkat. Maslahat yang bersifat dharury
mesti lebih dahulu diperhitungkan daripada maslahat hajiy. Sebaliknya,
maslahat tahsiny diakhirkan dari maslahat dharury dan hajiy.
Imam Izzuddin Abdus Salam membagi
maslahat kepada tiga macam:
Pertama,
maslahat yang diwajibkan oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Maslahat wajib
bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling
utama), dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama
adalah maslahat yang padaa dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan
mafsadah paling buruk, daan dapat mendatangkan kemaslahatan paling besar.
Kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.
Sementara
itu, kewajiban bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar maslahat yang terkandung
di dalamnya. Jika tingkat kemaslahatannya lebih besar, maka kewajibannya untuk
dikerjakan lebih kuat dan harus didahulukan.
Kedua,
maslahat yang disunnahkan oleh syari’ kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya.
Tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib
paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada
tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah.
Ketiga,
maslahat mubah. Baahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan
nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzuddin berkata:
“Maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung. Sebagian diantaranya lebih
bermanfaat dan lebih besar kemaslahatannya. “ Cuma maslahat mubah tidak
berpahala. Perkara mubah mengandung maslahat, tetapi berlaku terbatas dan
bersifat perorangan. Sedangkan maslahat di dalam perkara wajib dan sunnah tidak
bersifat perorangan. Kemaslahatannya tidak saja kembali kepada pelakunya,
tetapi juga kepada masyarakat luas.[8]
MENGHILANGKAN KESEMPITAN DAN MENOLAK BAHAYA
Oleh: Muhammad Muhlisin (122111094)
Jika
maslahat menjadi tujuan hukum taklifi dan hukum wadh’i di antara
keduanya terdapat keterkaitan erat maka dengan demikian hukum syar’i semuanya
amat memperhatikan kemaslahatan pribadi seseorang. Kemaslahatan pribadi ini
tidak bisa ditinggalkan kecuali apabila berhadapan dengan kemaslahatan yang
lebih besar, atau apabila kemaslahatan pribadi merugikan orang lain.[9] Misalnya, seseorang memakan harta orang lain
demi menutupi kebutuhan pribadinya.
Karena itulah, Islam
menetapkan bahwa apabila kepribadian seseorang terancam dalam keadaan darurat
yang tidak bisa dihindari kecuali dengan meraih barang terlarang yang bukan hak
orang lain, maka ia boleh mengambil barang terlarang itu, bahkan wajib. Para ulama
fiqh telah membuat kaedah: “adh-dharurah tubihu al-mahzhurat” (keadaan darurat
bisa menyebabkan diperbolehkannya meraih barang terlarang). Bahkan pada
kondisi tertentu, meraih barang yang semula dilarang menjadi wajib. Syaratnya
apabila tidak mengambil hak orang lain atau tidak termasuk perbuatan yang oleh
Islam dijanjikan akan mendapat pahala jika dihadapi dengan penuh kesabaran.
Karena itu, Allah SWT berfirman:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah:
173)
Dengan demikian bangkai, daging babi dan darah
diharamkan karena mengandung bahaya kematian lebih berat di banding bahaya
memakan. Karena itu, memakan makanan tersebut menjadi wajib hukumnya.
Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan manusia. Islam tidak menetapkan taklif atas manusia kecuali
taklif yang mampu mereka di kerjakan dan bisa di jalani secara kontinyu.
Dengan demikian, taklifi syar’i secara umum merupakan taklif yang
tingkat kesulitannya dapat di atasi dengan cara menjalaninya secara kontinyu. Sebab
kemaslahatan yang bisa terealisir melalui taklif tidak akan terwujud
kecuali ditempuh dengan mengerjakannya secara kontinyu. Jika di situ terdapat taklif
di atas kesulitan yang wajar seperti perintah berpegang dijalan Allah, maka
taklif itu tidak berlaku untuk semua orang dan tidak termasuk yang dituntut
dikerjakan secara kontinyu.[10]
Kegunaan lain, taklif tersebut dapat
dikerjakan secara terus-menerus. Karena itu, Allah SWT menghilangkan kesempitan
dengan rukhshah (kemurahan) agar dapat dikerjakan terus. Firman Allah:
3... ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# ...
Artinya: “Allah
menghendaki kelanggaran bagimu, dan tidak menghendaki kesempitan bagimu.”
(Al-Baqarah: 185)
Begitulah para ulama telah mengambil
dari ayat-ayat Al-Qur’an kaidah yang bertujuan mengambil maslahat dan menolak
bahaya. Hal itu bukanlah berarti suatu upaya meniadakan nash, karena ia tidak
mampu mewujudkan kemaslahatan. Bagaimanapun kemaslahatan harus sesuai dengan
nash, karena kemaslahatan yang bertentangan adalah rekayasa nafsu dan fikiran
manusia, yang berarti menetapkan keinginan nafsu terhadap ketetapan nash.
III.
KESIMPULAN
Tujuan umum pembentukan hukum adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan
menjamin kebutuhan dhaururiyyah (primer), haajiyah (sekunder), tahsiiniyyah
(pelengkap).
Hal-hal yang
bersifat dharuriy manusia, seperti yang telah diuraikan, bertitik tolak pada
lima hal, yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Hal-hal yang bersifat sekunder,
bertitik tolak pada suatu yang dapat menhilangkan kesempitan, meringankan beban
yang menyulitkan, dan memudahkan jalan-jalan mu’amalah serta mudharabah bagi
mereka.
Hal-hal yang bersifat kebutuhan manusia, seperti
telah diuraikan didepan, bertitik tolak pada suatu yang membuat indah kondisi
manusia, juga membuat hal itu sesuai dengan tunutan norma dan akhlak mulia.
Dalam berbagai masalah ibadah, mu’amalah dan uqubah, islam mensyari’atkan
beberapa hukum yang beorientasi kepada sesuatu yang membantu yang membuat elok
dan indah. Hukum-hukum ini dapat membalas manusia kepada jalan yang paling baik
dan paling benar.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abd Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Khalaf, Abdul Wahhab, alih bahasa: Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqih, Bandung: Gema Rima
press,
1996.
http://hukum.kompasiana.com, diakses pada: 2 Desember 2014, jam: 21.40 WIB.
http:/stitattaqwa.blogspot.com
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
[6] Abdul Wahab
Khalaf, alih bahasa:
Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqih, Bandung: Gema Rima
press, 1996, hlm. 358-367.
0 komentar:
Post a Comment