MAKALAH LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH
I.
PENDAHULUAN
Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usaha bank. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan
demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan
Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta
bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan
memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem
pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan,
sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan
Upaya penerapan prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi khususnya
dalam kegiatan lembaga keuangan, terus-menerus dilakukan. Lembaga keuangan
bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga pembiayaan saat ini telah
menerapkan prinsip syari’ah dalam kegiatan operasionalnya. Hal dimaksud telah
didukung oleh regulasi yang cukup memadai sehingga diharapkan dapat memberikan
payung hukum bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi keuangan ketika
menggunakan lembaga-lembaga tersebut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
yang dimaksud bank syariah?
B.
Bagaimana
latar belakang kemunculannya?
C.
Apa
perbedaan bank syariah dengan bank konvensional?
D.
Bagaimana
prinsip operasionalnya?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bank Syariah
Bank syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum Islam). Menurut Undang-Undang perbankan syariah No.
21 Tahun 2008, dinyatakan bahwa:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat (Pasal 1
angka 1)
Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah disebut bank syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah (Pasal 1 angka 7).[1]
Perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional, perbankan syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara
menyeluruh (kaffah) dan konsisten.
Perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional
memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang
maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung yang
penting adalah berlakunya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan
karakteristiknya. Pengaturan tersebut yang paling utama dituangkan dalam
Undang-undang Perbankan Syariah dan peraturan-peraturan lainnya yang berada di
bawahnya.
Pengoperasiannya mengacu pada ketentuan-ketentuan syariah Islam
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Dalam tata cara
bermuamalat itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung
unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil
dan pembiayaan perdagangan.[2]
B.
Latar
Belakang Munculnya Bank Syariah
Pemikiran untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip bagi hasil
sudah muncul dalam waktu yang cukup lama. Hal ini ditandai dengan munculnya
pemikiran muslim yang menulis tentang perlunya dibangun bank Islam dengan prinsip
bagi hasil antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad
(1952). Kemudian pada 1960-an Al-maududi menulis secara terperinci tentang
perlunya dibangun bank Islam untuk mengimbangi praktik-praktik bank
konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam pemikiran beliau
ini ditindak lanjuti oleh Muhammad Hamidullah dengan menulis beberapa buku
berturut-turut pada 1944, 1955, 1957 dan 1962 yang kesemuanya itu dapat
dikategorikan sebagai penggagas tentang perbankan Islam.
Upaya awal penerapan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan
Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu adanya pengelolaan dana dalam haji secara
non-konvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah dengan berdirinya
mit ghamr local saving bank pada 1963 di Mesir yang dibangun oleh dr. Ahmad
El-najr. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini
beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam ini
sangat popular pada mulanya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada persoalan
politik di Mesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank of Egypt
dan Central Bank of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip ribawi. Pada
1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir dengan ditandai
berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini lebih bersifat social dari
pada komersial.
Kesuksesan mit ghamr mengelola bank dengan system bagi hasil,
memberi inspirasi bagi umat Islam diseluruh dunia untuk membentuk bank Islam
dengan system bagi hasil. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di
tingkat internasional muncul dalam konferensi Negara Islam sedunia di kuala
lumpur, Malaysia pada tanggal 21-27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara
peserta. Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu dibentuk sebuah
bank syariah yang bersih dari system riba. kemudian pada desember 1970
dalam pertemuan menteri luar negeri Negara organisasi konferensi Islam (oki) di
Karachi,Pakistan,delegasi mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank
syariah. Proposal tentang berdirinya bank Islam ini dikaji dengan seksama oleh
para ahli dari delapan belas Negara Islam yang semuanya menyetujui dibentuk
Bank Islam.
Selanjutnya pada sidang menteri luar negeri Negara organisasi
konferensi Islam (oki) di Benghazi, Libia pada Maret 1973 usulan perlunya
tentang didirikan bank syariah diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan
agar OKI mempunyai bidang husus yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan
dengan ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973 komite ahli yang mewakili Negara
Islam penghasil minyak bertemu di jedah, arab Saudi untuk membicarakan
berdirinya pendirian bank syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga. Selanjutnya pada 1974 diadakan pertemuan menteri
keuangan Negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuaan ini disetujui rancangan
pendirian bank pembangunan Islam (Islamic Delevepoment Bank) dengan modal awal
dua miliyar dinar.
Sekarang perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang cukup
pesat dan menyebar ke seluruh dunia. Di eropa tercatat the Islamic Bank
Internasional of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi
berdasarkan prinsip syariah, bank ini mulai beroperasi 1983 di Denmark.
Sekarang bank-bank besar di Negara-negara eropa seperti Citi Bank,ANZ Bank,Chase
Mahatam Bank,dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat
memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
Islam.[3]
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank
Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh
krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa
sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank
ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan
bank syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10
tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Bank Indonesia untuk
dapat menjalankan tugasnya berdasarkan Prinsip Syariah.[4]
C.
Perbedaan
Bank Syariah dan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal tentunya bank syariah dan
bank konvensional memiliki kesamaan dalam hal teknis, namun ada beberapa
perbedaan mendasar antara keduanya.
a. Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi
dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Sehingga
kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syariah baik
dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi
ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1. Rukun,
seperti penjual, pembeli, barang, harga dan ijab qabul.
2. Syarat, seperti:
a). Barang dan jasa harus halal sehingga
transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b). Harga barang dan jasa harus jelas.
c). Tempat penyerahan harus jelas.
d). Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
b. Lembaga Penyelesaian Sengketa
Jika terjadi perselisihan atau sengketa antara
perbankan dengan nasabah pada bank konvensional, maka akan diselesaikan di
Peradilan Negeri. Namun, dalam perbankan syariah penyelesaian sengketanya yaitu
sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau
berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase
Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia dengan MUI.
c. Struktur
Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama
dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan diresi, tetapi unsur
yang membedakan antara bank syariah dan konvensional adalah keharusan adanya
Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada
posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin
efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh
Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota DPS itu mendapatkan rekomendasi
dari Dewan Syariah Naional.
a). Dewan
Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi
jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku
dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena itu,
diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan
ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional.
DPS harus membuat pernyataan secara berkala
(biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan
ketentuan syariah. Tugas lainnya yaitu meneliti dan membuat rekomendasi produk
baru dari bank yang diawasinya.
b). Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan
syariah menyebabkan semakin banyaknya pula DPS yang berada dan mengawasi
masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya DPS menimbulkan kewaspadaan yang
berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa berbeda dari masing-masing
DPS dan akan membingungkan umat serta nasabah. Oleh karena itu, MUI menganggap
perlu dibentuknya dewan syariah yang bersifat nasional yang kemudian dikenal
dengan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk
lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Fungsi lainnya yaitu
meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh LKS.
Selain itu, DSN bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan
sebagai DSN pada suatu LKS.
d.
Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari
saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha
yang terkandung di dalammnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah
suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok,
diantaranya sebagai berikut:[5]
1. Usaha yang dibiayai merupakan proyek halal
2. Usaha yang bermanfaat bagi masyarakat
3. Usaha yang menguntungkan bagi bank dan mitra usahanya.
Sebaliknya bank konvensional, tidak mempertimbangkan jenis investasinya,
akan tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk perusahaan yang menguntungkan,
meskipun menurut syariah Islam tergolong produk yang tidak halal.
e. Lingkungan
Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan
kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah
dan shiddiq melandasi setiap karyawan agar tercermin integritas eksekutif
muslim yang baik. Disamping itu, karyawan harus skillfull dan profesional (fathanah),
dan mampu melakukan tugas secara team-work di mana informasi merata
di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward
dan punishment, diperlukan prinsip keadilan.
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku
dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga
keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka
dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak
harus senantiasa terjaga.
f. Perbandingan
antara Bank Syariah dan Konvensional
Perbandingan
antara bank syari’ah dengan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut:
Bank
syariah
|
Bank
Konvensional
|
1. Melakukan investasi-investasi yang halal
saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli,
atau sewa.
3. Provit dan falah oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus
sesuai dengan fatwa DPS
|
1. Investasi yang halal dan haram.
2. Memakai perangkat bunga.
3. Provit oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
hubungan debitor-kreditur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis.[6]
|
D.
Prinsip
Operasional Bank Syariah
Prinsip-Prinsip
Dasar Perbankan Syariah
a.
Prinsip Titipan atau Simpanan (al-Wadiah)
Al-wadiah
dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak
ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dengan konsep al-wadiah yad al-amanah (tangan
amanah), pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau
barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.
Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya
penitipan.
Aplikasi dalam Perbankan
Dalam aktivitas modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan
meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya
dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si
pemberi titipan untuk mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia
menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia
bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan
penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan yang
terjadi pada barang tersebut.
Dengan konsep al-wadiah yad adh-dhamanah, pihak yang
menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang
dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari
pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk
bonus.
b.
Bagi
Hasil (provit sharing)
a)
Al-musyarakah
Al-musyarakah adalah
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.
Aplikasi dalam Perbankan
1.
Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan
untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana
untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
2.
Modal
Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi
dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam modal
ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu,
bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat
maupun bertahap.
b)
Al-mudharabah
Mudharabah adalah akad
kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Pembagian
keuntungan sesuai yang ada di kontrak, namun apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian bukan karena kelalaian pengelola.
Aplikasi dalam perbankan
Al-mudharabah biasanya
diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan
dana, al-mudharabah diterapkan pada:
1.
Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang
dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan
sebagainya.
2.
Deposito spesial, di mana dana yang dititipkan
nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah
saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan
untuk:
1. Pembiayaan
modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
2. Investasi
khusus (mudharabah muqayyadah), di mana sumber dana khusus dengan
penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul
maal.
c)
Al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah adalah kerja
sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik
lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
d)
Al-Musaqah
Al-Musaqoh adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah
di mana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
c.
Jual
Beli (Sale and Purchase)
a). Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberitahu harga produk
yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Aplikasi dalam perbankan
Murabahah kepada pemesan pembelian umumnya dapat
diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik
domestik maupun luar negeri.
b). Salam
Dalam pengertian sederhana, salam artinya
pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka.
Aplikasi dalam perbankan
Salam biasanya
dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif
pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang yang tidak
untuk dijadikan sebagai simpanan, dilakukanlah akad salam kepada pembeli
kedua, misalnya kepada Bulog. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai
salam paralel.
c). Al-istisna’
Al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran:
apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai
suatu waktu pada masa yang akan datang.
d.
Sewa
(Operational Lease and Financial Lease)
a). Al-Ijarah
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.
b). Al-ijarah al-Muntahia bit-Tamlik
Transaksi ini merupakan perpaduan antara
kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan ini pula yang
membedakan dengan ijarah biasa.
Aplikasi dalam perbankan
Pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak
menggunakan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik karena lebih sederhana dari
sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus
pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
e.
Jasa
(Fee-Based Services)
a). Al-wakalah
Wakalah berarti penyerahan atau pemberian mandat.
Pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang
diwakilkan.
b). Al-kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dalam arti lain, pengalihan tanggung jawab orang lain kepada
penjamin.
c). Al-hawalah
Al-hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa A memberi pinjaman kepada B, sedangkan B masih mempunyai
piutang pada C. Begitu B tidak mampu membayar untangnya pada A, ia lalu
mengalihkan beban utang tersebut kepada C. Dengan demikian, C harus membayar
utang B kepada A. Sedangkan utang C kepada B dianggap selesai.
d). Ar-rahn
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan
tersebut memiliki nilai ekonomis.
e). Al-qard
Al-qard adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
IV.
KESIMPULAN
Bank konvensional yaitu bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
Perbankan syariah
adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya
mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata
cara bermuamalah secara Islam.
Secara organisatoris,
bank syariah dan bank konvensional itu sama. Perbedaannya cuma satu, bank
syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Perbedaan antara bank konvensional dan bank syari’ah yaitu tidak adanya
bunga pada bank syari’ah. Nasabah yang menabung di bank syari’ah tidak akan
diberikan keuntungan bunga melainkan keuntungan berupa bagi hasil yang dihitung
dari hasil usaha pihak bank dalam mengelola uang nasabah. Bank dan nasabah
membuat perjanjian bagi hasil berupa presentase tertentu untuk nasabah dan
untuk bank, perbandingan ini disebut nisbah.
Pada perbankan syariah jika terdapat perbedaan atau perselisihan antara
bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Peradilan Negeri,
tetapi menyelesaikannya di BASYARNAS. Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang
dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah, yakni usaha yang di dalammnya
tidak terkandung hal-hal yang diharamkan.
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan
dengan syariah. Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akad
dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha
yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture.
DAFTAR
PUSTAKA
S, Burhanuddin, Aspek Hukum
Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Perwaatmadja, Karnaen, Muhammad
Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dhana Bhakti
Wakaf, 1992.
Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan
Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Antonio, Muhammad
Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011.
[1] Burhanuddin S, Aspek
Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, Hlm. 29-30.
[2] Karnaen Perwaatmadja dan
Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
Dhana Bhakti Wakaf, 1992, hlm.2.
[3] http://riyonsc.blogspot.com/2012/10/pengertian-bank-syariah-dan-sejarah.html
[4] Zainuddin Ali, Hukum
Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 10-13.
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 29-34.
0 komentar:
Post a Comment