Saturday, 17 December 2016

LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH



MAKALAH LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH


I.                   PENDAHULUAN
Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha bank. Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan
Upaya penerapan prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi khususnya dalam kegiatan lembaga keuangan, terus-menerus dilakukan. Lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga pembiayaan saat ini telah menerapkan prinsip syari’ah dalam kegiatan operasionalnya. Hal dimaksud telah didukung oleh regulasi yang cukup memadai sehingga diharapkan dapat memberikan payung hukum bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi keuangan ketika menggunakan lembaga-lembaga tersebut.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud bank syariah?
B.     Bagaimana latar belakang kemunculannya?
C.     Apa perbedaan bank syariah dengan bank konvensional?
D.    Bagaimana prinsip operasionalnya?







III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bank Syariah
Bank syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum Islam). Menurut Undang-Undang perbankan syariah No. 21 Tahun 2008, dinyatakan bahwa:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat (Pasal 1 angka 1)
Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah disebut bank syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah (Pasal 1 angka 7).[1]
Perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, perbankan syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten.
Perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung yang penting adalah berlakunya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut yang paling utama dituangkan dalam Undang-undang Perbankan Syariah dan peraturan-peraturan lainnya yang berada di bawahnya.
Pengoperasiannya mengacu pada ketentuan-ketentuan syariah Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[2]  


B.     Latar Belakang Munculnya Bank Syariah
Pemikiran untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul dalam waktu yang cukup lama. Hal ini ditandai dengan munculnya pemikiran muslim yang menulis tentang perlunya dibangun bank Islam dengan prinsip bagi hasil antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Kemudian pada 1960-an Al-maududi menulis secara terperinci tentang perlunya dibangun bank Islam untuk mengimbangi praktik-praktik bank konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam pemikiran beliau ini ditindak lanjuti oleh Muhammad Hamidullah dengan menulis beberapa buku berturut-turut pada 1944, 1955, 1957 dan 1962 yang kesemuanya itu dapat dikategorikan sebagai penggagas tentang perbankan Islam.
Upaya awal penerapan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu adanya pengelolaan dana dalam haji secara non-konvensional.  Rintisan bank syariah lainya adalah dengan berdirinya mit ghamr local saving bank pada 1963 di Mesir yang dibangun oleh dr. Ahmad El-najr. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam ini sangat popular pada mulanya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada persoalan politik di Mesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir dengan ditandai berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini lebih bersifat social dari pada komersial.
Kesuksesan mit ghamr mengelola bank dengan system bagi hasil, memberi inspirasi bagi umat Islam diseluruh dunia untuk membentuk bank Islam dengan system bagi hasil. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah di tingkat internasional muncul dalam konferensi Negara Islam sedunia di kuala lumpur, Malaysia pada tanggal 21-27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu dibentuk sebuah bank syariah yang bersih dari system riba.  kemudian pada desember 1970 dalam pertemuan menteri luar negeri Negara organisasi konferensi Islam (oki) di Karachi,Pakistan,delegasi mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang berdirinya bank Islam ini dikaji dengan seksama oleh para ahli dari delapan belas Negara Islam yang semuanya menyetujui dibentuk Bank Islam.
Selanjutnya pada sidang menteri luar negeri Negara organisasi konferensi Islam (oki) di Benghazi, Libia pada Maret 1973 usulan perlunya tentang didirikan bank syariah diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang husus yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan. Bulan Juli 1973 komite ahli yang mewakili Negara Islam penghasil minyak bertemu di jedah, arab Saudi untuk membicarakan berdirinya pendirian bank syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Selanjutnya pada 1974 diadakan pertemuan menteri keuangan Negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuaan ini disetujui rancangan pendirian bank pembangunan Islam (Islamic Delevepoment Bank) dengan modal awal dua miliyar dinar.
Sekarang perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke seluruh dunia. Di eropa tercatat the Islamic Bank Internasional of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, bank ini mulai beroperasi 1983 di Denmark.  Sekarang bank-bank besar di Negara-negara eropa seperti Citi Bank,ANZ Bank,Chase Mahatam Bank,dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.[3]
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Bank Indonesia untuk dapat menjalankan tugasnya berdasarkan Prinsip Syariah.[4]
C.     Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal tentunya bank syariah dan bank konvensional memiliki kesamaan dalam hal teknis, namun ada beberapa perbedaan mendasar antara keduanya.
a.        Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrowi, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Sehingga kesepakatan dapat diminimalisir. Selain itu akad dalam perbankan syariah baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1.    Rukun, seperti penjual, pembeli, barang, harga dan ijab qabul.
2.    Syarat, seperti:
a). Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b). Harga barang dan jasa harus jelas.
c). Tempat penyerahan harus jelas.
d). Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
b.       Lembaga Penyelesaian Sengketa
Jika terjadi perselisihan atau sengketa antara perbankan dengan nasabah pada bank konvensional, maka akan diselesaikan di Peradilan Negeri. Namun, dalam perbankan syariah penyelesaian sengketanya yaitu sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan MUI.
c.       Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan diresi, tetapi unsur yang membedakan antara bank syariah dan konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota DPS itu mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah Naional.
a). Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam DPS adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional.
DPS harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Tugas lainnya yaitu meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya.
b). Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah menyebabkan semakin banyaknya pula DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya DPS menimbulkan kewaspadaan yang berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa berbeda dari masing-masing DPS dan akan membingungkan umat serta nasabah. Oleh karena itu, MUI menganggap perlu dibentuknya dewan syariah yang bersifat nasional yang kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Fungsi lainnya yaitu meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh LKS. Selain itu, DSN bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada suatu LKS.


d.      Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalammnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:[5]
1. Usaha yang dibiayai merupakan proyek halal
2. Usaha yang bermanfaat bagi masyarakat
3. Usaha yang menguntungkan bagi bank dan mitra usahanya.
Sebaliknya bank konvensional, tidak mempertimbangkan jenis investasinya, akan tetapi penyaluran dananya dilakukan untuk perusahaan yang menguntungkan, meskipun menurut syariah Islam tergolong produk yang tidak halal.
e.       Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq melandasi setiap karyawan agar tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Disamping itu, karyawan harus skillfull dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan.
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga.
f.       Perbandingan antara Bank Syariah dan Konvensional
Perbandingan antara bank syari’ah dengan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut:


Bank syariah
Bank Konvensional
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa.
3. Provit dan falah oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS
1. Investasi yang halal dan haram.
2. Memakai perangkat bunga.

3. Provit oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-kreditur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis.[6]

D.    Prinsip Operasional Bank Syariah
Prinsip-Prinsip Dasar Perbankan Syariah
a.    Prinsip Titipan atau Simpanan (al-Wadiah)
Al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.  Dengan konsep al-wadiah yad al-amanah (tangan amanah), pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Aplikasi dalam Perbankan
Dalam aktivitas modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
Dengan konsep al-wadiah yad adh-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
b.   Bagi Hasil (provit sharing)
a)       Al-musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Aplikasi dalam Perbankan
1.      Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
2.      Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu, bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
b)       Al-mudharabah
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Pembagian keuntungan sesuai yang ada di kontrak, namun apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian bukan karena kelalaian pengelola.
Aplikasi dalam perbankan
Al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:
1.      Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
2.      Deposito spesial, di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
2. Investasi khusus (mudharabah muqayyadah), di mana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
c)      Al-Muzara’ah
Al-Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
d)     Al-Musaqah
Al-Musaqoh  adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
c.    Jual Beli (Sale and Purchase)
a). Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Aplikasi dalam perbankan
Murabahah kepada pemesan pembelian umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri.
b). Salam
Dalam pengertian sederhana, salam artinya pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
Aplikasi dalam perbankan
Salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang yang tidak untuk dijadikan sebagai simpanan, dilakukanlah akad salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
c). Al-istisna’
Al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
d.   Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
a). Al-Ijarah
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
b). Al-ijarah al-Muntahia bit-Tamlik
Transaksi ini merupakan perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
Aplikasi dalam perbankan
Pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
e.    Jasa (Fee-Based Services)
a). Al-wakalah
Wakalah berarti penyerahan atau pemberian mandat. Pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
b). Al-kafalah
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam arti lain, pengalihan tanggung jawab orang lain kepada penjamin.
c). Al-hawalah
Al-hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa A memberi pinjaman kepada B, sedangkan B masih mempunyai piutang pada C. Begitu B tidak mampu membayar untangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utang tersebut kepada C. Dengan demikian, C harus membayar utang B kepada A. Sedangkan utang C kepada B dianggap selesai.
d). Ar-rahn
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
e). Al-qard
Al-qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.

IV.             KESIMPULAN
Bank konvensional yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Perbankan syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
Secara organisatoris, bank syariah dan bank konvensional itu sama. Perbedaannya cuma satu, bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Perbedaan antara bank konvensional dan bank syari’ah yaitu tidak adanya bunga pada bank syari’ah. Nasabah yang menabung di bank syari’ah tidak akan diberikan keuntungan bunga melainkan keuntungan berupa bagi hasil yang dihitung dari hasil usaha pihak bank dalam mengelola uang nasabah. Bank dan nasabah membuat perjanjian bagi hasil berupa presentase tertentu untuk nasabah dan untuk bank, perbandingan ini disebut nisbah.
Pada perbankan syariah jika terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Peradilan Negeri, tetapi menyelesaikannya di BASYARNAS. Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah, yakni usaha yang di dalammnya tidak terkandung hal-hal yang diharamkan.
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akad dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture.





















DAFTAR PUSTAKA


S, Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Perwaatmadja, Karnaen, Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dhana Bhakti Wakaf, 1992.
Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.





[1] Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, Hlm. 29-30.
[2] Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dhana Bhakti  Wakaf, 1992, hlm.2.
[3] http://riyonsc.blogspot.com/2012/10/pengertian-bank-syariah-dan-sejarah.html
[4] Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 10-13.
[5] Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2011, hlm.34
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 29-34.

0 komentar:

Post a Comment