Monday, 19 December 2016

ADVOKAT SYARIAH

ADVOKAT SYARI’AH PELUANG DAN TANTANGAN
Oleh Muhammad Julijanto(*
Abtsarak
Kebutuhan akan jasa advokat semakin meningkat. Kasus-kasus hukum yang dahulunya tidak pernah ada penindakan kini terungkap satu-persatu secara transparan di hadapan publik. Indonesia sebagai Negara hukum, menempatkan hukum sebagai garda terdepan dalam menciptakan keadilan dalam masyarakat, tanpa kesadaran dan good will pemangku kepentingan (stakeholders), cita-cita Negara hukum tidak akan tercapai, tentunya untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai keadilan dalam masyarakat dibutuhkan lembaga-lembaga yang bertugas melaksanakan dan menjaga terlaksananya tertib sosial, dan di antaranya adalah empat komponen penjaga dan penegak hukum di Republik Indonesia, antara lain adalah; hakim, polisi, jaksa dan advokat. Seiring dengan diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 semakin membuka peluang sarjana syari’ah untuk berkiprah dalam dunia advokasi baik non litigasi maupun litigasi. Maka dibutuhkan desain pendidikan di Fakultas Syariah di lingkungan PTAI yang menyelenggarakan pendidikan kesyariahan atau hukum secara umum, ditantang agar memperkuat basik kurikulum dalam rangka merespon dinamika sistem hukum dan sistem ketatanegaraan yang berkembang secara secepat. Sehingga pendidikan hukum yang diselengarakan oleh PTAI mampu menjawab kebutuhan penyediaan SDM bidang hukum yang berkualitas.
Kata kunci: Advokat syari’ah, negara hukum, UU 18 Tahun 2003, peluang dan tantangan
Pendahuluan
Sejak reformasi bergulir, kebutuhan akan jasa pengacara atau advokat semakin meningkat. Kasus-kasus hukum yang dahulunya tidak pernah ada penindakan kini satu-persatu terungkap secara transparan di hadapan publik. Bahkan menyita perhatian publik yang luar biasa. Masyarakat rindu akan penegakkan hukum yang adil dan memenuhi rasa keadilan yang tidak hanya dari sisi legalitas hukum formal tetapi juga pada subtansi persoalan rasa keadilan hukumnya.
Kasus pelanggaran hak asasi manusia, kasus korupsi, kasus kejahatan dan kriminal, bahkan kejahatan terorisme menghiasi pemberintaan di media massa. Hal tersebut membutuhkan jasa konsultan hukum, pengacara dan advokat yang bisa membela dan melindungi hak-hak kemanusian seseorang yang tersangkut masalah hukum semakin signifikan.
Kasus korupsi Mantan Presiden Soeharto telah mengangkat kedudukan dan peranan jasa advokat atau kuasa hukum yang mewakili klien dalam menyelesaikan kasus hukumnya. Sejak saat itulah peranan advokat menjadi sangat signifikan dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Indonesia merupakan Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), hal ini dinyatakan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan Negara yang berdasarkan atas kekuasaan. Sehingga segala kegiatan kenegaraan maupun kemasyarakatan hukum sebagai pengayom kepentingan masyarakat.
Sebagai Negara hukum, hukum sebagai garda terdepan dalam menciptakan keadilan dalam masyarakat, tanpa kesadaran dan good will pemangku kepentingan (stakeholders), cita-cita Negara hukum tidak akan tercapai, tentunya untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai keadilan dalam masyarakat dibutuhkan lembaga-lembaga yang bertugas melaksanakan dan menjaga terlaksananya tertib sosial, dan di antaranya adalah empat komponen penjaga dan penegak hukum di Republik Indonesia, antara lain adalah; hakim, polisi, jaksa dan advokat .
Sehubungan dengan latar belakang di atas, artikel ini akan mengulas sejauhmana peluang profesi advokat bagi alumni syari’ah? Apa saja persyaratan menjadi advokat?
Berbagai istilah advokat
Kata advokat bersal dari bahasa Latin advocare yang berarti: to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris advocate, berarti:to speak in fovour of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly. Sedangkan orang yang berpofesi membela dikenal sebagai sebagai advocate, yang berarti: “One who assist, defends or pleads for another. One who renders legal advice and aid and pleads the cause of anather before a court or a tribunal, a counselor. A person learned in the law and duly admitted to practice, who assists his with advice and pleads for him in open court. An assistant, adviser, a pleader of causes” .
Embrio keadvokatan di Indonesia sudah tumbuh sejak penjajahan Belanda. Wujud keindonesiaannya baru lahir setelah Belanda meninggalkan Indonesia atau sesudah Indonesia merdeka di tahun 1945.
Sejak berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta – yang semula terdiri dari berbagai sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum – adalah advokat.
Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003, istilah untuk pembela keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan hukum, advokat dan lainnya. Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam di pengadilan. Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja .
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber”acara” di Pengadilan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk “beracara” di seluruh wilayah Republik Indonesia sedangkan Pengacara Praktek adalah seseorang yang memegang izin praktek / beracara berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat dimana wilayah beracaranya adalah “hanya” diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktek tersebut. Setelah UU No. 18 Tahun 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.
Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU Nomor 18 Tahun 2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi advokat.
Dalam konteks Indonesia disinyalir bahwa masih adanya kekurangan profesi advokat atau pengacara, jika dibandingkan dengan Negara lain, dimana jumlah advokat/pengacara di Indonesia menurut catatan Ahmad-Taylor jumlah advokat yang tedaftar di pemerintah Indonesia hanya 1.200 orang (bandingkan dengan 193 juta penduduk Indonesia) . Walaupun ada perkiraan lain yang menyatakan bahwa jumlah keseluruhan yang berpraktek sekitar 5.000 orang, angka ini masih jauh dari nilai ideal yang memadai ditetapkan oleh konvensi tahunan American Bar Association . Di Kamboja berpenduduk 10 juta jiwa ada 50 advokat. Di Amerika berpenduduk 225 juta jiwa mempunyai 750.000 advokat .
Sedangkan pada tahun 1996 menurut catatan Harian Umum Bernas, jumlah advokat di Indonesia masih sedikit sekitar 10.000 orang. Antara jumlah advokat/pengacara yang ada dengan jumlah penduduk Indonesia perbandingannya 1: 200.000. Pada hal di Singapura perbandingannya satu advokat melayani 2.000 penduduk . Bandingkan di Amerika Serikat terdapat 750.000 lawyers yang tergabung dalam ABA (Amerika Bar Association) dari jumlah penduduk 225.000.000 jiwa .
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mengadakan Ujian Profesi Advokat (UPA) yang diselenggarakan 4 Februari 2006 jumlah peserta 6.457 lulus 1.944, UPA pada tanggal 9 September 2006 dengan jumlah peserta 3.404 lulus 593 dan UPA 8 Desember 2007 jumlah peserta 5.473 lulus 1.659 advokat baru .
Tahun 2007 advokat Peradi yang dilantik 1.400 dan tahun 2008 sebanyak 1.300. sedangkan tahun 2009 ada 2.666 advokat baru belum dilantik disebabkan adanya konflik antara dua organisasi advokat Peradi dan Konggres Advokat Indonesia (KAI) .
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2007 yang mengintruksikan pada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk mengambil sumpah advokat baru hasil didikan dan ujian Peradi. Berdasarkan Pasal 4 (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat mengharuskan advokat baru dilantik dan disumpah pada sidang terbuka yang dipimpin ketua Pengadilan Tinggi tempatnya berdomisili.
Praktis dengan demikian dinamika perkembangan hukum dan tegaknya nilai-nilai kebenaran serta keadilan juga ditentukan oleh peranan, kualitas dan kuantitas advokat sebagai profesi hukum, salah satu pilar penegak hukum.
Masuknya Sarjana Syari’ah Menjadi Advokat Adalah Perjuangan Politik.
Dunia hukum Indonesia dihebohkan dengan masuknya sarjana syari’ah menjadi salah satu syarat jadi advokat, dimana dipersepsikan sarjana syari’ah bukan sarjana hukum, yang kemampuan dan kompetensi masih diragukan sebagai ahli hukum. Namun seiring dengan dinamika demokratisasi yang ada di Indonesia peluang tersebut sekaligus sebagai tantangan bagi sarjana syari’ah untuk membuktikan kompetensinya dalam bidang hukum nasional maupun hukum Islam yang menjadi kompetensi atau core bisnisnya.
Dimana dalam sejarah profesi hukum sarjana syari’ah hanya mempunyai kapling sebagai hakim di pengadilan agama. Sementara seiring dengan peminat dan alumni sarjana syari’ah yang semakin banyak, maka perjuangan politik melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung, Lembaga Bantuan Hukum, dan Fakultas Syari’ah serta Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) memasukkan salah satu syarat sebagai advokat adalah sarjana hukum dan sarjana syari’ah. Dengan demikian akomodasi Undang-Undang Advokat memasukkan sarjana syari’ah sebagai advokat membawa perubahan besar dalam dunia hukum Indonesia.
Peran sarjana syariah semakin mendapatkan tempat dalam mengisi kekosongan advokat syariah yang fokus pada keahlian dalam hukum-hukum syari’ah. Apalagi dengan system ekonomi syari’ah yang semakin popular di mata public Indonesia membawa perluasan kompetensi Peradilan Agama menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
Pada awalnya para wakil rakyat di Senayan merevisi UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lalu lahirlah UU No. 3 Tahun 2006. Dengan UU Peradilan Agama yang baru ini, ada banyak hal yang berubah. Namun perubahan yang paling mencolok terjadi pada Pasal 49. Dengan pasal itu, sejak Maret 2006 lalu, Peradilan Agama punya garapan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syariah .
Sengketa di bidang ekonomi syariah diprediksi bakal ramai di kemudian hari. Ekonomi syariah selalu dipandang berbeda dengan ekonomi konvensional, namun keduanya toh selalu berkaitan dengan kontrak (perjanjian). Para pihak yang terlibat berkemungkinan mencederai apa yang sudah mereka sepakati. Karena itu, selain diperlukan SDM yang mumpuni, diperlukan juga hukum materiil yang bisa dipakai untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di meja hijau.
Dalam tradisi umat Islam profesi advokat kurang atau tidak dikenal. Hal ini mengingat sulitnya mencari literatur atau kitab kuning yang memberi gambaran peran dan fungsi advokat. Dalam bahasa Arab advokat mempunyai beberapa istilah al muhaami atau al wakili? .
Advokat sebagai unsur penegak hukum dan keadilan sangat diperlukan. Ajaran Islam mewajibkan semua individu untuk berlaku adil dan turut ambil bagian dalam upaya penegakkan hukum dan keadilan. Dalam konteks ini, maka menjadi advokat hukumnya menjadi wajib, atau setidaknya wajib kifayah.
Perjuangan Politik UU Advokat
Masuknya klausul sarjana syari’ah sebagai advokat merupakan perjuangan politik yang melelahkan. Karena harus meyakinkan berbagai pihak terutama para ahli hukum yang berlum familier dengan sebutan sarjana hukum Islam atau sarjana syari’ah, karena dianggap sarjana syari’ah bukanlah ahli hukum, hanya sebatas mempunyai pengetahuan hukum Islam an sich. Pandangan inilah yang menyebabkan dikotomi dalam system pendidikan kita dimana yang berada di bawah naungan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara hak-hak yang diberikan tidak sama. Untuk merubah pemahaman dan pengertian tentang keberadaan sarjana syari’ah yang sejajar dan mempunyai kompetensi yang sama dengan sarjana hukum umum mempunyai konsekwensi yang tersendiri bagi sarjana syari’ah untuk berbenah diri. Terutama dari lembaga pendidikan tinggi syari’ah agar mengacu pada kurikulum yang memadai sebagai pembekalan sarjananya, sehingga kompetensinya tidak diragukan oleh siapa saja.
Usaha yang dilakukan oleh Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) meyakinkan pengusul draf UU Advokat membuahkan hasil.
Profesi advokat berlaku umum, universal, standarnya harus tamatan fakultas hukum yang mempelajari ilmu hukum secara umum, prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum, the general principles of law, ada filsafatnya, ada metodenya, yang tidak bisa disamakan dengan satu ilmu hukum yang khusus dari satu komunitas. Ilmu hukum Islam hanya berlaku dalam komunitas Islam. Bagaimana mau diberlakukan buat advokat? Orang yang tamat dari sana hanya bisa bersidang di pengadilan agama (PA), menjadi penasehat hukum di sana, karena di situ memang berlaku hukum Islam. Tidak mungkin dia menjalankan profesi di pengadilan umum yang dia tidak pernah mempelajari ilmunya. Bagaimana dia mau membela perkara pidana, perdata, bisnis, perbankan, asuransi, bursa efek, hukum internasional, hukum kepailitan, kalau tidak mengerti? Akibatnya bisa menurunkan mutu profesi yang bertolak belakang dengan maksud dibuatnya UU Advokat yang justru mau mengangkat dan melindungi profesi advokat. Ini keberatan saya .
RUU advokat akhirnya disahkan menjadi UU Advokat 6 Maret 2003 setelah melalui serangkai loby yang sangat ketat karena masuknya beberapa pasal yang berhubungan dengan keberadan sarjana syari’ah. UU Advokat menjadi tonggak penting dalam perjuangan untuk memperkokoh peran dan fungsi advokat dalam system peradilan di Indonesia, dan salah satu pilar penyangga dari tegaknya system peradilan yang fair (fair trial) dari unsur Negara hukum yang demokratis . Peradilan yang bebas dan tidak memihak hanya dapat diwujudkan jika proses peradilan atau jalannya pemeriksaan berjalan dengan wajar (the due process of law), berimbang, jujur, obyektif dan adil. Semua nilai-nilai itu hanya bisa ditegakkan jika ketiga pilar peradilan, officers of the court (pejabat peradilan) yaitu hakim, jaksa dan advokat masing-masing semuanya berfungsi dengan baik sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing tanpa intervensi atau campur tangan dari pihak manapun, khususnya penguasa.
Peluang dan Penguatan Kurikulum Fakultas Syari’ah
Syarat untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah sarjana hukum dan sarjana syari’ah yang telah lulus ujian advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat. Sekal lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003 telah mengangkat derajat dan martbat advokat sebagai penegak hukum dalam profesi terhormat (officium nabile), setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa dan polisi), bebas madnri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundag-undangan.
Oleh karena status yang mulia tersebut, maka syarat untuk menjadi advokat harus memenuhi ketenuan dan syarat-syarat sebagai berikut: berlatar belakang pendidikan hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat, warga negara Indonesia (WNI) dan bertempat tinggal di Indonesia, tidak pegawai negeri sipil atau pejabat negara, berusia sekurang-kurangnya 25 tahun, magang sekurang-kurangnya 2 tahun, tidak pernah dipidana, berkelakuan baik, jujur, bertangung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi, dan lulus ujian. Sebelum menjalankan profesinya advokat wajib di sumpah.
Awal tahun 2000 dikatakan sebagai Tahun kebangkitan Advokat Indonesia. Adalah dengan dibentuknya Komite Kerja Advokat Indonesia yang disingkat KKAI oleh tujuh organisasi advokat antara lain Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). KKAI ini dentuk dalam rangka menyelenggarakan ujian advokat dan mengawal pembahasan RUU Advokat .
Dimana organisasi advokat mempunyai tugas dan kewenangan sebagai berikut: melakukan rekrutmen dan pendidikan (pasal 2 ayat 1); penyelenggara magang (pasal 3 huruf g); melaksanakan ujian (pasal 3 huruf f); mengangkat advokat (pasal 2 ayat 2); melakukan pengawasan (pasal 12); mengadili, memberi sanksi sampai memberhentikan seorang advokat (pasal 9); merekomendasi advokat asing (pasal 23); menyusun kode etik profesi (pasal 26, 29); membentuk komisi pengawas (pasal 13); membentuk dewan kehormatan (pasal 27); membuat buku daftar anggota (pasal 29 ayat 2); menetapkan kantor advokat yang berhak (pasal 29 ayat 5, 6 UU No. 18 Tahun 2003).
Pada tanggal 21 Desember 2004 delapan organisasi advokat yang bergabung dalam KKAI termasuk Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI), telah mendeklarasikan berdirinya perhimpunan advokat Indonesia (PERADI) sebagai satu-satunya organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Sedangkan Akta Pernyataan Pendirian Peradi baru dilakukan pada tanggal 8 September 2005 di hadapan Notaris Buntario Tigris, SH, SE, MH di Jakarta, dimana 8 organisasi dinyatakan sebagai organisasi pendiri Peradi. Peradi bercorak semi federasi, tidak menghapus keberadaan organisasi advokat yang sudah ada.
Sejak berdirinya Peradi, maka semua wewenang untuk melaksanakan undang-undang advokat, mulai dari Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), ujian, magang, pengangkatan, pembinaan, dan pengawasan advokat berada di tangan peradi.
Peradi sebagai organisasi profesional yang Independen.
Seiring dinamika organisasi Peradi yang dibentuk 8 organisasi advokat seharusnya dibentuk oleh para advokat Indonesia dalam suatu forum yang demokratis dan representatif (munas atau Kongres Nasional). Banyak yang tidak puas dengan kinerja pengurus Peradi yang lambat dan tidak transparan. Dalam catatan Nur Khoirin YD Sekjen DPP ASPI “Sebenarnya waktu itu 8 organisasi advokat hanya memberi mandate kepada pengurus Peradi semntara selama 2 tahun untuk menyelenggarakan kongres advokat. Tetapi oleh beberapa pengurus ternyata menjadikannya permanent, dan baru akan kongres tahun 2010.
Beberapa pengurus Peradi dan pimpinan organisasi advokat pendiri Peradi merasa dibohongi tanggal 20 Juli 2007 di Hotel Manhattan Jakarta, Forum Advokat Indonesia yang terdiri dari 4 organisasi pendiri Peradi (IKADIN, IPHI, APSI dan HAPI) membuat kesepakatan penting, antara lain: sepakat menyelenggarakan Kongres Advokat Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya; sepakat menarik dukungan/menarik diri dari keanggotaan Peradi; sepakat membentuk Panitia Ad Hoc Kongres Advokat Indonesia dalam waktu paling lama 30 hari sejak deklarasi ini dibuat.
Kongres Advokat Indonesia (KAI) I dilaksanakan pada Tanggal 30-31 Mei 2008 di Gedung Balai Sudirman Jl. Saharjo Tebet Jakarta Selatan. Dihadiri 5000 lebih advokat dari seluruh wilayah Indonesia. Hasilnya semua peserta secara aklamasi sepakat membentuk wadah tunggal advokat Indonesia yang diberi nama Kongres Advokat Indonesia (KAI). Sedangkan APSI secara kelembagaan memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk bergabung ke organisasi advokat yang mereka pilih. Kartu advokat KAI diakui di semua lingkungan peradilan di samping kartu Peradi.
Hingga kini konflik organisasi advokat antara Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) belum ada kata sepakat. Masing-masing menyenggarakan ujian advokat dan menyelenggarakan magang bagi calon advokat baru sebelum dilantik oleh Mahkamah Agung Repebulik Indonesia.
Beberapa factor yang seyogyanya dimiliki oleh advokat: pertama, mempunyai wawasan yang luas. Dengan wawasan yang luas advokat akan bisa melihat fungsi hukum, antara lain, bahwa hukum harus bisa meng-engineer masyarakat atau membentuk masyarakat ideal. Kedua, memiliki kemampuan teknis yang teruji. “janganlah seorang advokat mempelajari peraturan dan tata cara penyelesaian suatu kasus setelah kasusnya ada di hadapannya, nah, ini namanya advokat yang belum jadi”, kata Luhut M.P Pangaribuan. Ketiga, advokat haruslah memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai dan moral yang terdapat pada masyarakat dan juga terhadap dinamika masyarakat. Keempat, seorang advokat haruslah memiliki keberanian.
Perlu adanya penguatan kurikulum pada fakultas hukum maupun fakultas syari’ah dalam bidang keadvokatan yang dapat dikemas dengan muatan yang berisi kode etik profesi hukum, seperti kode etik hakim, kode etik advokat , kode etik jaksa dan kode etik polisi.
Kesimpulan
Pertama peran advokat sangat signifikan dalam penegakkan hukum. Sebab dengan adanya advokat dalam membela klien sidang di peradilan akan lebih adil dan dapat sebagai kontrol terhadap pemberlakuan hukum acara.
Kedua, peluang sarjana syari’ah dalam dunia advokasi semakin terbuka dengan diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003.
Ketiga, almuni syari’ah perlu mendapat bekal keilmuan yang lebih mendalam, jika orientasi ling and Macht menuju pada profesi advokat. Sakalipun ilmu profesi hukum relatif sama, tetapi dalam kasus tertentu perlu adanya penguatan kurikulum, sehingga alumni syariah bisa mengisi kekosongan peluang profesi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti Pahit Getir Merintis Demokrasi, Jakarta: Aksara Karunia, 2004
Aris Bintania, Dilema Kuasa Hukum dalam Upaya Mendamaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Analisis Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Al-Ahkam Vol. 4. No. 1 (Maret 2006), hlm 49-62.
Buletin PERADI edisi kedua Th I Agustus 2008, hlm. 16.
Frans Hendra Winata, advokat Indonesia Citra, Idealisme dan Keprihatinan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Harian Umum Bernas, 21 Oktober 1996.
Kompas, 25 Juli 2009, hlm. 4.
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988), Jakarta: INIS, 1990
Muhammad Julijanto, Peran Kuasa Hukum Atau Pengacara Dalam Memberlakukan Hukum Acara Di Peradilan Agama Sebelum dan Setelah Berlakuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Sekripsi Program Studi Peradilan Agama Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta, 1997.
New York Times, 21 Oktober 1994
Nur Kkoirin YD, Fungsi dan Peran Organisasi Advokat di Indonesia, Poin-Poin disampaikan dalam Worshop Advokat bagi Mahasiswa Syari’ah diselenggarakan oleh Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta, tanggal 24 s/d 25 Maret 2009, di Surakarta
Ropaun Rambe, Tehnik Praktek Advokat, Jakarta: Grasindo, 2003
Sitong Silaban, Advokat Muda Indonesia Dialog tentang Hukum, Politik, Keadilan, Hak Asasi Manusia, Profesionalisme Advokat dan Liku-Liku Keadvokatan, oleh Sitong Silaban, Aldentua Siringoringo, Susy Mahyuniarni Devianty Cet.i.– Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992.
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2003 Edisi Revisi


0 komentar:

Post a Comment