Saturday, 10 December 2016

PEMIKIRAN EKONOMI PADA MASA IMAM AL GHAZALI, IBN TAIMIYYAH, IBN KHALDUN, DAN AS SYATIBI



PEMIKIRAN EKONOMI PADA MASA IMAM AL GHAZALI, IBN TAIMIYYAH, IBN KHALDUN, DAN AS SYATIBI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu : Iman Fadhilah

                                                                Disusun Oleh :
1.      Abdullah Rafi            ( 1405015027 )
2.      Dyzal Alwan Tsaqif   (1405015131 ) 
 3.      Raudotun Nafidah       ( 1405015143 )
4.      Nurul Khamidah         ( 1405015159 )
5.      Goyatul Istiana           ( 1405015203 )


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah yang di kontruksi oleh Barat sulit untuk jujur menyatakan bahwa peradaban Islam memberikan kontribusi nyata dan sangat besar bagi tumbuh kembangnya peradaban Barat pasca jaman kegelapan. Padahal jika saja saat itu tidak ada komunikasi budaya, proses penerjemahan, proses belajar bangsa Eropa kepada intelektual muslim di Cordova (Spanyol) seperti Ibnu Rusyd (Avveroes), keterbukaan ilmu pengetahuan para pemikiran Islam, peradaban Barat Modern yang awal mulanya dibangun oleh Bapak filosof modern Rene Descartes (1596-1650) tidak akan pernah ada. Barat akan selamanya berada di zaman kegelapan. Fakta ini pun sangat jelas terlihat ketika kita membaca teori ekonomi yang telah disusun oleh ekonom muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan yang lainnya. Ada benang merah pemikiran dan pengaruh pemikiran filsafat, termasuk ekonomi bagi para pemikir Barat modern. Karena itu, naif jika ada intelektual Barat dan Muslim yang menilai bahwa ekonomi Islam tidak memiliki akar geneologis dan historis yang kuat. Karena ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya yang tercipta. Jika ada yang menilai tidak ada sistem dan pemikiran ekonomi di jaman Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin, dan era kedinastian Islam, sama dengan tidak mengakui adanya peradaban Islam. Peradaban suatu bangsa pasti didalamnya ada kehidupan ekonomi, pemikiran dan kebijakan ekonomi yang berkembang. Dengan demikian, ekonomi Islam bukan sekedar copy paste (baca: menempelkan) nilai-nilai Islam ke dalam ekonomi konvensional. Sejarah yang dihilangkan dengan sengaja oleh paraintelektual Barat dan intelektual Muslim yang dungu itu harus diungkapkan dengan jelas supaya kebenaran terungkap. Semangat itu lah yang melatarbelakangi penulisan makalah iniyang memotret sejarah dan pemikiran ekonomi para ahli fiqih(fuqoha) dan filosof zaman Daulah Abbasiyah II yang di dalamnya lahir para pemikir ekonomi Islam seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan As Syatibi.

Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran ekonomi pada masa Imam Al Ghazali?
2.      Bagaimana pemikiran ekonomi pada masa Ibn Taimiyyah?
3.      Bagaimana pemikiran ekonomi pada masa Ibn Khaldun?
4.      Bagaimana pemikiran ekonomi pada masa As Syatbi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemikiran Ekonomi pada Masa Al Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M )
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din. Bahasan ekonomi Al-Ghazali dapat dikelompokkan menjadi: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, produksi, barter dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik.
1.    Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar-dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Semangat Kapitalisme”. Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi.
Menurut Ghazali setiap perdagangan harus menggunakan cara yang terhormat. Sesungguhnya para pedagang pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan seperti para pelaku dosa besar, kecuali yang bertaqwa pada Allah,berbuat kebajikan dan jujur. Penimbunan barang merupakan tindakan kriminal terhadap moral dan sosial. Hal tersebut merupakan jalan pintas untuk memakan harta orang lain,dengan cara bathil. Kejahatan paling membahayakan yang dilakukan para pelaku bisnis pada zaman modern ini adalah membakar sebagian hasil pertanian sehingga harganya di pasar tidak menurun, justru akan melonjak tinggi.[1]
a.      Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba
Sepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai “harga yang berlaku seperti yang ditentukan oleh praktek-praktek pasar”, sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil (harga yang adil) dikalangan ilmuan Muslin atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan ilmuan  Eropa kontemporer.[2]
Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Ia menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-Ghazali juga secara eksplisit menjelaskan mengenai perdagangan regional. Waleupun Al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa tulisannya jelas menjelaskan bentuk kurva permintaan dan penawaran.
Untuk kurva penawaran yang “naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai “jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sementara itu untuk kurva permintaan yang “turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan oleh beliau sebagai “harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.[3]
Al-Ghazali juga telah memehami konsep elastisitas permintaan, yang dinyatakan dengan “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan”.  Al-Ghazali juga menyadari permintaan “harga inelastis”.
Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan. Ia menyatakan bahwa laba normal berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh laba yang akan diperoleh dari pasar yang hakiki yakni akhirat.
b.   Etika Perilaku Pasar
Dalam pandangan Al- Ghazali, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus, ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya, memberikan informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan harga barangnya, melakukan praktik-praktik pemalsuan, penipuan dalam mutu barang dan pemasaran, serta melarang pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi harga.
Pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan, serta para perilaku pasar harus mencerminkan kebajikan seperti bersikap lunak ketika berhubungan dengan orang miskin dan fleksibel dalam transaksi utang, bahkan membebaskan utang orang0orang miskin tertentu.
2.    Aktivitas Produksi
Al Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan berbagai macam aktifitas produksi dalam sebuah masyarakat, termasuk hirarki dan karakteristiknya. Fokus utamanya adalah tentang jenis aktifitas yang sesuai dengan dasas-dasar ekonomi islam.
  a.    Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial
Seperti yang telah dikemukakan, Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat.[4] Dalam hal ini, pada prinsipnya negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-barang pokok.
    b.   Hierarki Produksi
Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:[5]
1)  Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia
2)   Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.
3)   Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar  
Kelompok pertama adalah kelompok yang paling penting dan peranan pemerintah sebagai kekuatan mediasi dalam kelompok ini cukup krusial. Ketiga kelompok ini harus ditingkatkan secara aktif untuk menjamin keserasian lingkungan sosioekonomi.
        c.    Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Adnya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.
Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu persaingan yang berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan dengan barang-barang mewah.
3.  Barter dan Evolusi Uang
Salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran barter, akibat negatif dari pemalsuan dan penurunan nilai mata uang, serta observasi yang mendahului observasi serupa beberapa abad kemudian yang dilakukan oleh Nicholas Oresme, Thomas Gresham, dan Richard Cantilon.
 a.    Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali mempunyai wawasan terhadap mengenai berbagai problema barter yang dalam istilah modern disebut sebagai:
     1)   Kurang memiliki angka penyebut yang sama (Lack of common denominator)
2)   Barang tidak dapat dibagi-bagi (Indivisibility of goods)
     3)    Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Pertukaran barter menjadi tidak efisien karena adanya perbedaan karakteristik barang-barang. Al-Ghazali menegaskan bahwa evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi) yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila ada ukuran yang sama.
b.   Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan dengan Hukum Ilahi
Uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam pertukaran. Ghazali menyatakan bahwa salah satu tujuan emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang. Beliau juga mengutuk mereka yang menimbun keping-kepingan uang.
c.    Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
    Uang dapat diproduksi secara pribadi hanya dengan membawa emas dan perak yang sudah ditambang ke percetakan. Standar uang komoditas, dulunya muatan logam suatu koin sama nilainya dengan nilai koin tersebut sebagai uang. Jika ditemukan emas dan perak lebih banyak, persediaan uang akan naik. Harga juga akan naik, dan nilai uang akan turun.
     Perhatiannya ditujukan pada problem yang muncul akibat pemalsuan dan penurunan nilai, karena mencampur logam kelas rendah dengan koin emas atau perak, atau mengikis muatan logamnya. Pemalsuan uang bukan hanya dosa perorangan tetapi berpotensi merugikan masyarakat secara umum. Penurunan nilai uang karena kecurangan pelakunya harus dihukum.
      Namun, bila pencampuran logam dalam koin merupakn tindakan resmi negara dan diketahui oleh semua penggunanya, hal ini dapat diterima. Beliau membolehkan kemungkinan uang representatif (token money) yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa foedal.





d.   Larangan Riba
       Riba merupakan praktik penyalahgunaan fungsi uang yang berbahaya, sebagaimana penimbunan barang untuk kepentingan individual. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
       Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makanan (gandum atau gerst), hanya riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila pertukarannya antara komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan) keduanya diperbolehkan.[6]
4.    Peran Negara dan Keuangan Publik
Negara dan agama merupakan tiang yang tidak dapat dipisahkan. Negara sebagai lembaga yang penting bagi berjalannya aktivitas ekonomi. Sedangkan agama adalah fondasinya dan penguasa yang mewakili negara adalah pelindungnya. Apabila salah satu dari tiang tersebut lemah, masyarakat akan runtuh.
     a.    Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas
   Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
    Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya.
             Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-praktik yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu, transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain.
    b.   Keuangan Publik
 Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.
1)    Sumber Pendapatan Negara
Hampir seluruh pendapatan yang ditarik oleh para penguasa dizaman Ghazali melanggar hukum. Sumber-sumber yang sah seperti zakat, sedekah, fa’i, dan ghanimah tidak ada. Hanya diberlakukan jizyah tetapi dikumpulkan dengan cara yang tidak legal. Dalam memanfaatkan pendapatan negara, negara seharusnya bersifat fleksibel serta berlandaskan kesejahteraan.
  Al-Ghazali menjelaskan: “kerugian yang diderita orang karena membayar pajak lebih kecil bila dibandingkan dengan kerugian yang muncul akibat resiko yang mungkin timbul terhadap jiwa dan harta mereka jika negara tidak dapat menjamin kelayakan penyelenggaranya.”
  Yang dikemukakan Ghazali merupakan cikal bakal dari apa yang sekarang disebut sebagai analisis biaya-manfaat, yakni pajak dapat dipungut untuk menghindari kerugian yang lebih besar di masa yang akan datang.
2)   Utang Publik
            Utang publik diizinkan jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. Contoh utang seperti ini adalah Revenue Bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
        3)  Pengeluaran Publik
             Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al-Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan sosioekonomi, keamanan dan stabilitas negara, sera pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Walaupun memilih pembagian sukarela sebagai suatu cara untuk meningkatkan keadilan sosioekonomi, Al-Ghazali membolehkan intervensi negara sebagai pilihan bila perlu, untuk mengeliminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas. Mengenai perkembangan masyarakat secara umum, Al-Ghazali menunjukan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Ia berkata bahwa sumber daya publik “seharusnya dibelanjakan untuk pembuatan jembatan-jembatan, bangunan keagamaan (masjid), pondok, jalan, dan aktivitas lainnya yang senada yang manfaatnya dapat dirasakan oleh rakyat secara umum.”
Al-Ghazali menekankan kejujuran dan efisiensi dalam urusan di sektor publik. Ia memandang perbendaharaan publik sebagai amanat yang dipegang oleh penguasa, yang tidak boleh bersikap boros.

B.     Pemikiran Ekonomi pada Masa Ibn Taimiyyah[7]
            Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
a. Harga yang Adil
        Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan hara yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqoha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang kompensas yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut:
(a)  Ketika seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak harta dan keuntungan.
(b)  Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah barag atau keuntunganyang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka sebagian orang lain.
(c)   Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak (al-‘ukud al-fasidah) dan akad yang shahih (al-uqud al-shahihah) dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.
    Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran iuran kompensasi lainnya. Misalnya :
(a)  Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada orang-orang Muslim, anak-anak yatim dan wakaf.
(b)  Kompensasi oleh sgen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran kompensasi.
       (c)  Pemberian upah oleh atau kepada rekan bisnis (al-musyarik wa al-mudharib).
b. Konsep Upah yang Adil
     Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).
     Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduannya tidak pasti dan tidak ditntukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
c. Konsep Laba yang Adil
     Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh al ma’ruf) tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
      Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatka ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).
dRelevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil Bagi Masyarakat
      Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai hubungan lainya di antara anggota masyarakat.kedua konsep ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai tindakan eksploitatif.dengan kata lain,pada hakikatnya konsep ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban finansial.
       Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,adil bagi para pedagang berarti barang~barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilang keuntungan normal mereka.

C.    Pemikiran Ekonomi pada Masa Ibn Khaldun (732 – 808 H/1332 – 1406 M)[8]
1.      Teori Produksi
Bagi Ibn Khaldun, produksi adalah aktifitas manusi yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.
a.      Tabiat Manusiawi dari Produksi
Pada satu sisi, manusia adalah binatang ekonoi. Tjuannya adalah produksi. Manusia dapat didefinisikan dari segi produksi:
“manusia dibedakan dari makhluk hidup lainnya dari segi upaaya[nya] mencari penghidupan dan perhatiannya pada berbagai jalan untuk  mencapai dan memperoleh sarana-sarana [kehidupan].” (1:67)
Pada sisi lainnya factor produksi yang utama adalah tenaga kerja manusia:
”laba [produksi] adalah nilai utama yang dicapai dari tenaga manusia.” (2:272)
“[manusia] mencapai [produksi] dengan tanpa upayanya sendiri, contohnya lewat prantara hujan yang menyuburkan lading, dan hal-hal lainnya. Namun demikian, hal-hal ini hanyalah pendukung saja. Upaya manusia sendiri harus dikombinaskan dengan hal-hal tersebut.” (2:273)
“tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi tenaga dan modal. Jika [sumber produksi] adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya pekerjaan] kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpa [tenaga manusia], tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak aka nada [hasil] yang berguna.” (2:274)
Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia.
b.      Organisasi Sosial dan Produksi
Melakukan produksi juga penting bagi manusia. Jika manusia ingin hidup dan mencari nafkah, manusia hars makan. Dan ia harus memproduksi makanannya. Hanya tenaganya yang mengizinkannya untuk tetap dapat makan:

“semua berasal dari Allah. Namun tenaga manusia penting untuk … [penghidupan manusia].” (2:274)
Namun demikian, manusia tida dapat sendirian memproduksi cukup makanan untuk hidupnya. Jika ia ingin bertahan, ia harus mengorganisasikan tenaganya. Melalui modal atau melalui keterampilan, operasi produksi yang paling sederhana mensyaratkan kerja sama dari banyak rang dan latar belakang teknis dari keseluruhan peradaban:
“tenaga manusi secara individu tidak cukup baginya untuk mendapatkan [makanan] yang ia perlukan, dan tidak memberikan makanan sebanyak yang ia perlukan untuk hidup.” (1:69)
c.       Organisasi Internasional dan Produksi
Sebagaimana terdapat pembagian kerja di dalam negeri, terdapat pula pembagian kerja secara internasial. Pembagian kerja internasional ini tidak didasarkan pada sumber daya alam dari negeri-negeri tersebut, tetapi didasarkan kepada keterampilan penduduknya, karena bagi Ibn Khaldun, tenaga kerja adalah factor produksi yang paling penting:
“kota-kota tertentu memiliki keahlian yang tidak dimiliki oleh kota-kota lainnya.” (2:265)
Karena itu, semakin banyak produksi yang aktif, semakin banyak produksinya:
“dalam hal jumlah kemakmuran dan aktivitas bisnisnya, kota-kota besar maupun kecil berbeda-beda sesuai dengan perbedaan ukuran peradabannya [populasina].” (2:265)
Sejumlah surplus barang dihasilkan dan dapat diekspor, dengan demikian meningkatkan kemakmuran kota tersebut.
=“surplus produk dalam jumlah besar masih tersisa setelah kebutuhan pokok penduduk terpenuhi. [surplus ini] mencukupi kebutuhan suatu popluasi jauh di atas jumlah dan cakupan [sebenarnya], dan kembali lagi kepada penduduknya dalam bentuk laba yang dapat mereka akumulasikan… kemakmuran, dengan demikian, meningkat.” (2:244)
2.      Teori Nilai, Uang, dan Harga
a.      Teori Nilai
Bagi Ibn Khaldun nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya:
“laba yang dihasilkan manusia adalah nilai yang terealisasi dari tenaga kerjanya.” (2:289)
Demikian pula kekayaan bangsa-bngsa tidak ditentukan  oleh jumlah uang yang dimiliki oleh bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasanya dan oleh neraca pembayaran yang sehat. Dan kita lihat bahwa kedua hal ini terkait satu sama lain. Neraca pembayaran yang sehat adalah konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi.
“timbl pertanyaan: dimanakah kekayaan suatu bangsa? [jawabannya], harus diketahui bahwa harta kekayaan seperti emas, perak, batu berhrga dan peralatan tidaklah berbeda dari logam-logam [lainnya] dan [modal] yang dihasilkan… peradabanlah yang memunculkannya dengan bantuan tenaga manusia, dan itulah yang membuatnya bertambah dan berkurang.” (2:285)
b.      Teori Uang
Namun demikian, ukuran ekonomis terhadap barang dan jasa perlu bagi manusia bila ia ingin memperdagangkannya. Pengukuran nilai ini harus memiliki sejumlah kualitas tertentu. Ukuran ini hars diterima oleh semua sebagai tender legal, dan penerbitannya harus bebas dari semua pengaruh sibjektif.
Bagi Ibn Khaldun, dua logam yaitu emas dan perak, adalah ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif.
“Allah menciptakan dua “batuan” logam tersebut, emas dan perak, sebagai [ukuran] nilai semua akumulasi modal. [emas dan peraklah] yang dipilih untuk dianggap sebagai harta dan kekayaan olehpenduduk dunia.” (2:274)
Karena itu, Ibn Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebgai standar moneter. Baginya, pembuatan uang logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah kandugan emas dan perak tertentu. Percetakannya adalah sebuah kantor religius, dan karenanya tidak tunduk kepada aturan-aturan temporal. Jumlah emas dan perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat diubah begitu koin tersebut sudah dimulai (diterbitkan):
“kantor percetakan mengurusi dan memerhatikan koin-koin yang digunakan oleh umat Muslim dalam transaksi  (komersil), dan menjaga agar tidak terjadi kemungkinan pemalsuan atau kualitas yang rendah (pemotongan) jika jumlah kepingannya [dan bukan berat logamnya] yang digunakan dalam transaksi.” (1:407)
“[kantornya] adalah kantor religius dan berada di bawah kekhalifahan.” (1:407)
c.       Teori Harga
Bagi Ibn Khaldun, harga adalah hasil dari hokum permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hokum ini adalah harga emas dan perak, yang merupakan standar moneter. Semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi harga yang tergantung pasar. Bila suatu barang langka dan banyak diminta, maka harganya tinggi. Jika suatu barang berlimpah, harganya rendah:
“penduduk suatu kota memiliki makanan lebih banyak daripada yang mereka perlukan, karenanya, harga makanan rendah, kecuali nasib buruk menimpa dikarenakan kondisi cuaca yang dapat memengaruhi [persediaan] makanan.” (2:240)
Karena itu, Ibn Khaldun menguraikan suatu teori nilai yang berdasarkan tenaga kerja, sebuah teori tentang uang yang kuantitatif, dan sebuah teori tentang harga yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Teori tentang harga ini mengntarkannya untuk menganalisis fenomena distribusi.
3.      Teori Distribusi
Harga suatu produk terdiri dari tiga unsur. Gaji, laba, dan pajak. Setiap unsur ini merupakan imbal jasa bagi setiap kelompok dalam masyarakat: gaji adalah imbal jasa bagi produser, laba adalah imbal jasa bagi pedagang, dan pajak adalah imbal jasa bagi pegawai negeri atau dan penguasa. Karenanya, Ibn Khaldun membagi perekonomian ke dalam tiga sector: produksi, pertukaran, dan layanan masyarakat.
a.       Pendapat tentang pengajian elemen-elemen tersebut
Harga imbal jasa dari setiap unsur ini dengan sendirinya ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran.
1)      Gaji
Karena nilai suatu produk adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang dikandungnya, gaji merupakan unsur utama dari harga barang-barang. Harga tenaga kerja adalah basis harga suatu barang.
2)      Laba
Laba adalah selisih antara harga jual dengan harga beli yang diperoleh oleh pedagang. Namun, selisih ini tergantung pada hokum permintaan dan penawaran, yang menentukan harga beli melalui gaji dan menentukan harga jual melalui pasar.
3)      Pajak
Pajak bervariasi menurut kekayaan penguasa dan penduduknya. Karenanya, jumlah pajak ditentukan oleh permintaan dan penawaran terhadap produk, yang pada gilirannya menentukan pendapatan penduduk dan kesiapannya untuk membayar.
b.      Eksistensi Distribusi optimum
Dengan demikian, besarnya ketiga pendapatan ini ditentukan oleh hokum permintaan dan penawaran. Menurut Ibn Khaldun, pendapatan ini memiliki nilai optimum.
1)      Gaji
Bila gaji terlalu rendah, pasar akan lesu dan produksi tidak mengalami peningkatan. Jika gaji terlalu tinggi, akan terjadi tekanan inflasi dan produsen kehilangan minat untuk bekerja.
2)      Laba
Jika laba sangat rendah, pedagang terpaksa melikuidasi saham-sahamnya dan tidak memperbaruinya karena tidak ada modal. Jika laba terlalu tinggi, para pedagang akan melikuidasi saham-sahamnya pula dan tidak dapat memperbaruinya lagi karena tekanan inflasi.


3)      Pajak
Jika pajak terlalu redah, pemerintah tidak dapat menjalasni fungsinya. Jika pajak terlalu tinggi, tekanan fiskan menjadi terlalu kuat, sehingga para pedagang dan produsen menurun dan hilanglah insentif mereka untk bekerja.
4.      Teori Siklus
Variabel penentu bagi produksi adalah populasi serta pendapatan dan belanja negara, keuangan public. Namun menurut Ibn Khaldun populasi dan keuangan public harus menaati hukum yang tidak dapat ditawar-tawar dan selalu berfluktuasi.
a.      Siklus populasi
Produksi ditentukan oleh populasi. Semakin banyak populasi, semakin banyak produksnya. Demikian pula, semakin besar populasi semakin besar permintaannya terhadap pasar dan semakin besar produksinya.
b.      Siklus keuangan publik
Negara juga merupakan factor produksi yang penting. Dengan pengeluarannya, negara meningkatkan produksi, dan dengan pajaknya, negara membuat produksi menjadi lesu.

D.    Pemikiran Ekonomi pada Masa As Syatibi
1.      Objek Kepemilikan
     Pada dasarnya, AS Syatibi mengakui halk milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bias dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam seperti air sungai dan oase; dan air yang dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, oa mendyatakan bahwa ktidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terdhadap sungai di karenakan adanya pembangunan dam.

2. Pajak
     Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak dharus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Fara’ ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab kmasyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bias mengalihkannya kepada Baitul Mal serdta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka s endiri untuk tujduan ktersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[9]




                                                                                                                                      










BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Mayoritas pembahasan Al-Ghazali mengenai berbagai pembahasan ekonomi terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din. Bahasan ekonomi Al-Ghazali dapat dikelompokkan menjadi: pertukaran sukarela dan evolusi pasar, produksi, barter dan evolusi uang, serta peranan negara dan keuangan publik. Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam yang di dalamnya terdapat bahasan ekonomi seperti harga yang adil, konsep upah yang adil, konsep laba yang adil, dan relevansi konsep harga adil dan laba yang adil bagi masyarakat.
Pembahasan Ibn Khaldun mengenai berbagai pembahasan ekonomi diantaranya adalah teori produksi; teori nilai, uang dan harga; teori distribusi; dan teori siklus.  Sedangkan pembahasan As Syabiti mengenai berbagai pembahasan ekonomi diantaranya adalah objek kepemilikan dan pajak.


B.       Kritik dan Saran
               Demikianlah makalah yang kami buat, kami sadar bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para semua pembacanya.
                                    









                                     DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Syaikh M.  Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman. Jakarta: Lentera Hati. 2011.
http://blog.umy.ac.id/opissen/2012/12/23/aktifitas-produksi/, diakses pada tanggal 20 September 2016, pukul 11.30 WIB.
Karim, Adiwarman A.  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006.









[1] Syaikh, M. Al-Ghazali,  Al-Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, Jakarta: Lentera Hati, 2011, Hlm. 498 dan 501.

[2] Adiwarman A, Karim,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm, 325.
[3] Adiwarman A, Karim,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ...,hlm, 21-22.
[4] http://blog.umy.ac.id/opissen/2012/12/23/aktifitas-produksi/, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 15:37 WIB.
[5] Adiwarman A, Karim,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm, 326.

[6] Adiwarman A, Karim,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm, 339.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Gafindo Persada, 2012, 353.
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, Ed. 3, hlm.  394.
[9] Muhammad Khalid Mas’ud,  Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran Al-Syathibi,  Bandung: Pustaka, 1996.

0 komentar:

Post a Comment