Thursday, 8 December 2016

POSITIVISME DAN IDEALISME HUKUM DALAM FILSAFAT HUKUM ISLAM


POSITIVISME DAN IDEALISME HUKUM DALAM FILSAFAT HUKUM ISLAM

Mochamad Soef, SH., S.HI

PENDAHULUAN
Perdebatan tak kunjung habis teori-teori sosial tentang peran hukum dalam perubahan masyarakat tidak seharusnya menghasilkan keraguan tentang keharusan melakukan perubahan mendasar atas sistem hukum dan pranata hukum untuk mengatur dan menunjang kehidupan masyarakat modern yang harus demokratis, transparan dan berkeadilan. Oleh karenanya tidak menjadi penting benar apakah hukum yang mengatur perubahan masyarakat sebagaimana diteorikan Roscoe Pond atau hukum mengikuti dengan rajin dari belakang perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.. Pada akhirnya jika sistem hukum dan pranata keadilan dibutuhkannya untuk menyelesaikan perbedaan nilai atau konflik kepentingan yang sudah ada disana, maka harus siap untuk digunakan oleh pencari keadilan dengan nilai-nilai kekiniannya yang diterima mayoritas anggota masyarakat melalui sistem perwakilan dan debat publik yang luas. Yang menjadi sorot utama pada negara Indonesia selama ini sekaligus juga menjadi kelemahan. Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru prioritas utama lebih ditujukan pada penyesuaian hukum Belanda dan hukum adat dengan nilai-nilai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Di sela-sela usaha tersebut banyak lahir kebijakan publik yang menekankan perlindungan kelanggengan penguasa (kekuasaan) dan sekelompok tertentu yang berada dalam sistem perlindungan penguasa.
Kondisi Indonesia saat ini mengalami masa transisi setelah munculnya reformasi Mei 1998. Kondisi ini juga diperparah dengan terjadinya keterpurukan hukum di Indonesia. Kendala utama untuk membebaskan dari kondisi ini terletak pada legal thought yang masih teramat legalistik-positivistik yang dianut oleh sebagian besar kalangan hukum Indonesia. Akibatnya teori hukum yang dipelajari dan yang kemudian ingin dijadikan andalan untuk menemukan solusi terhadap keterpurukan tersebut hanyalah sekedar ilmu hukum positif yang sangat sempit sehingga mustahil melahirkan solusi terhadap situasi yang serius ini. Pembahasan ini mencoba ingin meletakkan teori hukum pada posisi yang sebenarnya sehingga mampu menjadi alat yang efektif untuk membebaskan Indonesia dari keterpurukannya di bidang hokum khususnya.
PEMBAHASAN
A. Filosofi Positivisme Hukum dalam Filsafat Hukum Islam
Seiring dengan itu dapat dipahami bahwa orang-orang sudah beranggapan bahwa dunia hukum Indonesia dan dunia peradilan Indonesia sangat bobrok. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya hanya diserahkan kepada pengadilan yang unfair jelaslah hukum di suatu negara tidak akan pernah bersentuh dengan keadilan yang sesungguhnya. Juga jelaslah bahwa ide kepastian hukum yang sering digaungkan oleh kaum positivisme tidak selalu benar-benar kepastian hukum, sebab kemungkinan ia hanyalah kepastian undang-undang. Oleh sebab itu perlu kiranya menghapus pemikiran yang selalu mengindentikkan hukum sebagai undang-undang saja. Secara ilmiah dapat dikatakan tidak benar bahwa kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat. Pemikiran positivism hukum lahir bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad ke 18. Sebelumnya masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law. Sebaliknya, positivisme kental dengan ide pendokumenan dan pemformalan hukum dalam wujudnya sebagai the statutoriness of law yang menurut Roberto M. Unger disebut bureaucratic law.
Dalam teori hukum legalistik-positivistik hukum berfungsi sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain positivisme telah melakukan penyederhanaan-penyederhanaan yang agak berlebihan. Dalam pandangan positivis hukum adalah suatu keteraturan. John Austin (1932) seorang eksponen utama positivism memandang bahwa menurut kaum positivisme, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat di dalam masyarakat. Suatu perintah yang merupakan ungkapan dari keinginan yang diarahkan oleh otoritas yang berdaulat, yang mengharuskan orang atau orang-orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal. Perintah itu bersandar karena adanya ancaman keburukan yang akan dipaksakan berlakunya jika perintah itu tidak ditaati. Keburukan yang mengancam bagi mereka yang tidak taat adalah berwujud sanksi yang berada di belakang setiap perintah itu. Suatu perintah, suatu kewajiban untuk menaati dan suatu sanksi merupakan tiga unsur esensial hukum dalam pandagan positivism, tidak ada hukum selain hukum positif, yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Sistem hukum dalam paradigma positivis, tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu itu senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivisme berpandangan demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Demikianlah dalam kenyataannya, sistem hukum yang lebih menonjolkan kemerdekaan individu daripada pencarian kebenaran dan keadilan telah banyak memakan korban baik di negara Barat maupun di negara-negara yang menganut positivisme. Sebagai contoh di Amerika Serikat puluhan putusan pengadilan kemudian terbukti sebagai putusan sesat baik putusan-putusan pengadilan yang telah menghukum orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah maupun putusan-putusan pengadilan yang telah membebaskan orang-orang yang sebenarnya harus dipidana.
B. Filosofi Idealisme Hukum dalam Filsafat Hukum Islam
Pasangan pilihan ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan fiqh adalah pilihan antara idealisme dan realisme, antara cita-cita dan kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa kitab-kitab fiqh itu pada umumnya ditulis para fuqaha, jurist, atau para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan agama. Bahkan kita mengetahui banyak fuqaha menolak jabatan qadi atau hakim, meskipun untuk itu mereka harus masuk penjara. Ini berarti sejarah telah membuktikannya fiqh pada umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada praktisi di lapangan. Sebagai akibatnya, fiqh yang dihasilkannya lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal daripada minimal. Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu, ialah: fiqh semakin hari semakin jauh dari kenyataan masyarakat. Ini telah terjadi pada saat kitab fiqh itu dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote dari masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun tempat. Sepertihalnya, Kita mengetahui terdapat berbagai madzhab dalam fiqh.
Sekarang kita melihat madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam, tapi dulunya lebih merupakan ekspresi lokal. Demikianlah perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara pandangan yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan pandangan yang mengatakan hukum Islam itu partikular . Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa pandangan pertama telah mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan. Bagi kita kaum Muslim Indonesia, lebih ironis lagi. Hukum Islam yang dianggap universal itu sebenarnya adalah produk fuqaha dari suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu masa tertentu di masa silam. Kitab-kitab fiqh yang kita pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab fiqh yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, dan merupakan ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Jadi, selain sudah tua, kitab-kitab fiqh yang kita pelajari itu mengandung ekspresi lokal di Timur Tengah sana. Artinya kitab-kitab fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia dipandang universal tadi. Begitulah, mengidentikkan fiqh dengan hukum Islam yang universal, telah mengakibatkan mandeknya perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini. Langkah-langkah Reaktualisasi Uraian di atas dapat disimpulkan: Kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini adalah karena kekeliruan menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas, atau sekurang-kurangnya kekeliruan dalam menentukan bobot masing-masing pilihan itu. Fiqh telah dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita daripada sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara realis. Fiqh juga telah memilih stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini. Jika kita hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam bidang hukum, dan lebih khusus lagi dalam bidang fiqh, maka kita harus membalik pilihan-pilihan tersebut di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal ketimbang wahyu dan Fiqh harus dipandang sebagai varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek kata, fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya karena toh pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang dari agama. Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang tepat diperlukan beberapa syarat, sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua, adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas. Dan ketiga, memahami faktor-faktor sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.
Maka kita dapat menarik sebuah benang merah dari penjabaran diatas yang berkenaan dengan kritik positivisme juga datang dari berbagai kalangan, ada yang bersifat teoritis, ada juga yang praktis. Kritikan yang bersifat teoritis antara lain:
Pertama,. Tidak semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat. Kebiasankebiasaan yang diperkenalkan oleh pengadilan, sama sekali tidak merupakan ungkapan keinginan pihak yang berdaulat.
Kedua. Bahwasannya hukum lebih mendekati hukum pidana yang membebankan kewajiban-kewajiban. Banyak hukum yang tidak membebankan kewajiban dan juga tidak membutuhkan penghukuman. Ada pendelegasian kekuasaan atau memungkinkan undang-undang memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk menyelesaikan persengketaan atau kekuasaan bagi para legislator dalam membuat undang-undang ataupun membolehkan persorangan menuangkan keinginan atau mengambil bagian dalam pembuatan kontrak. Hukum perkawinan tidak memerintahkan seseorang untuk kawin. Ia hanya mengemukakan kondisi-kondisi dimana orang-orang boleh kawin dan prosedur yang harus mereka ikuti agar perkawinan mereka menjadi sah.
Ketiga. Rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati hukum. Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti respek terhadap hukum simpati terhadap pemeliharaan tertib hukum, atau alasan yang sifatnya manusiawi. Rasa takut hanya motif tambahan. Hukum juga di August 16, 2006 akut untuk ditangkap atau dihukum.


Keempat. Definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan terhadap Hukum Tata Negara, karena Hukum Tata Negara tidak dapat digolongkan dalam perintah yang berdaulat.

0 komentar:

Post a Comment