Sunday, 4 December 2016

REALISME SEBAGAI PEDOMAN MENGAMBIL KEBIJAKAN


REALISME SEBAGAI PEDOMAN

MENGAMBIL KEBIJAKAN

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Politik Global
Dosen Pengampu : Drs. Rokhmadi, M.Ag





Disusun oleh :

Wahid Budiman
(102211036)

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014




I. PENDAHULUAN
Ilmu politik adalah ilmu mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.[1] Dalam penerapannya, ilmu politik tidak pernah terpisah dari ilmu hukum karena antara ilmu politik dan ilmu hukum memiliki suatu ikatan yang cukup erat.
Hal ini disebabkan karena ilmu politik erat hubungannya dengan sebuah negara dan untuk menjaga kestabilan sebuah negara diperlukan sebuah hukum yang jelas. Hukum harus menjadi panduan penyelenggaraan kekuasaan politik.[2] Namun, norma-norma hukum itu sendiri adalah produk politik, yang berarti pula produk kekuasaan yang cenderung mengamankan diri sendiri.
            Dalam kaitannya dengan sarjana syariah, maka meskipun agama bukan merupakan salah satu produk politik namun dalam perjalanannya agama islam memiliki beberapa tahapan politik yang patut dikaji. Salah satunya tentang konstitusi yang tercantum dalam piagam madinah.
II. RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana keterkaitan Politik, Hukum dan Agama?
2.      Bagaimana hubungan antara Konstitusionalisme dan piagam Madinah?




III. PEMBAHASAN
1.      Keterkaitan Antara Politik, Hukum  dan Agama
Dalam kehidupan bermasyarakat, terjalin sebuah hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Ini berarti bahwa saat hidup bermasyarakat akan terjalin hubungan antara satu individu dengan individu yang lain. Dengan banyak dan aneka ragamnya hubungan itu, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.[3]
Hubungan antara konstitusionalisme dan hukum bisa dibilang cukup jelas. Ide pokok dari konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited state), agar penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang.[4] Maka dari itu, konstitusionalisme dan hukum adalah penyeimbang dalam kehidupan bernegara, karenan hukum berlaku untuk menjaga kedamaian masyarakat dan konsep konstitusionalisme adalah jaminan bagi warga dari perlakuan yang semena-mena.
Meskipun agama bukan produk politik, namun ketika agama menjadi faktor politik, ambiguitas menjadi lebih meluas. Keberlakuan agama tertentu termasuk hukum agama disuatu negara adalah keputusan politik. Dalam skala yang lebih spesifik, penafsiran-penafsiran agama termasuk hukumnya pun seringkali ditentukan oleh kepentingan-kepentingan politik. Dari sisi ini maka penggunaan agama sebagai justifikasi politik sangat jelas.[5]
Timothy L. Fort (1987: 1) pernah memberikan analisisnya menyangkut hubungan agama, negara, dan hukum. Negara dalam hal ini diartikan sebagai kehidupan politik. Menurutnya pola hubungan katiganya adalah pola hubungan yang dingin kompetitif. Dia menyebut pola hubungan itu dengan “zero-sum game”, yakni suatu permainan dimana keuntungan atau kemenangan salah satu pihak berarti kerugian atau kekalahan pada pihak lain. Dengan kata lain, tak pernah hubungan ketiganya berakhir dengan kemenangan semua pihak (win-win solution). Dia mengatakan bahwa salah satu inti persoalan dalam hubungan agama dan hukum adalah karena adanya klaim yang saling tumpang tindih baik agama maupun hukum terhadap manusia dan perilakunya. Agama dan hukum disamping sama-sama menetepkan standar perilaku, juga menetapkan sanksi. Mereka juga memberikan arahan dan seperangkat aturan untuk ditaati. Ketegangan dan mungkin juga konflik diantara keduanya akan menjadi lebih mengemuka ketika misalnya agama dipahami sebagai petunjuk kewahyuan untuk kehidupan. Sedangkan kehidupan butuh lembaga atau organisasi sebagai salah satu elemen dasar dari struktur sosial.[6] Tampak jelas pendapat Timothy lebih menekankan agama sebagai kesatuan organisasi daripada agama sebagai sistem kepercayaan.[7]
Ini berbeda dengan pandangan Harold Berman (1974 :11). Berman berpendapat bahwa hubungan itu tidak selalu harus bersifat kompetitif, tetapi bisa komplementer. Hal ini sangat dimungkinkan, terutama jika agama dipahami sebagai sistem kepercayaan dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan ini sangat privat. Pada tingkat praktik, hubungan privat itu akan terefleksi dalam perilaku (publik). Dengan demikian, moral agama dengan sendirinya akan  ikut. Berman kemudian mengatakan bahwa hukm tanpa agama akan terjerembab ke dalam legalisme mekanis. Agama tanpa hukum akan kehilangan keefektifan sosialnya.[8]
Baik Timothy maupun Berman memiliki titik pemberangkatan yang sama. Mereka sama-sama berangkat dari anggapan bahwa agama dan hukum adalah dua agama yang berbeda. Perbedaannya adalah bahwa Timothy menghendaki pemishan dua dunia itu, sedangkan Berman meghendaki agar dua dunia itu bisa bekerjasama secara sinergis dan saling melengkapi. Ini bisa dipahami karena keduanya hidup dari latar belakang masyarakat yang memisahkan antara agama dan hukum. Agama bersifat individual dan hukum bersifat publik.
Smith (1974), berpendapat bahwa dalam setiap proses pengaturan masyarakat selalu terdapat hubungan yang dinamis di antara mereka. Bahkan hubungan itu demikian saling mengait sehingga kerap kali sulit dibedakan antara unsur-unsur agama dan unsur yang benar-benar sekuler.[9]
Bagi negara Indonesia, yang dengan tegas disebutkan secara resmi bahwa nilai atau hukum agama menjadi salah satu bahan baku hukum nasional, hukum dan agama ini tidak dapat semata-mata dipisahkan. Hukum yang tertulis didalam perundang-undangan tidak dapat selalu dipertentangkan dengan hukum agama, meskipun secara bagian-bagiannya mungkin ada perbedaan.[10]

2.      Konstitusionalisme dan Piagam Madinah
a.      Konstitusionalisme
Telah disebutkan di atas bahwa konstitusionalisme adalah batasan bagi penyelenggara negara agar  penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang. Mengapa hak-hak rakyat harus dilindungi? Menurut Walter F. Murphy konstitusionalisme sangat menjunjung tinggi kehormatan atau harga diri manusia sebagai prinsip utamanya. Walter F. Murphy berpandangan: “Agar kehormatan terlindungi, manusia harus mempunyai hak partisipasi dalam politik, dan kekuasaan pemerintah harus dipagari dengan batas-batas yang bersifat substansif terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah, sekalipun andaikata pemerintah itu mencerminkan kemauan rakyat secara sempurna.[11] 

Dalam berbagai literatur hukum tata Negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari :
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Peradilan yang bebas dan mandiri.
4. Pertanggung jawaban kepada rakyat (akuntabilitas public) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.[12]

b. Piagam Madinah
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat Islam yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan  bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yasrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya “the constitution of Medina”; Nicholson menyebutnya “charter”; Majid Khadduri menggunakan perkataan “Treaty”; dan Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam, sebagai terjemahan kata “al-shahifah”. Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Mukminin agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan lebih tegas dari rumusan al-Quran mengenai prinsip “lakum diinukum walya diin” (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) .
Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi madinah. Piagam Madinah adalah konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Piagam Madinah dibuat atas persetujuan bersama Nabi Muhammad SAW dengan wakil penduduk Madinah, terdiri dari 47 pasal. Karena fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan menyebabkan dokumen tersebut juga disebut sebagai konstitusi.

Disebut “piagam” (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua warga dan prinsip-prinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik. Disebut “konstitusi” (constitution) karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah yang majemuk tersebut.[13]
Baik disebut sebagai “perjanjian maupun “piagam”, dan “konstitusi” bentuk dan muatan shahifat itu tidak menyimpang dari ketiga istilah tersebut. Dilihat dari pengertian shahifat itu adalah dokumen perjanjian antara beberapa golongan, Muhajirin-Anshar-Yahudi dan sekutunya bersama Nabi.
 Berikut isi Piagam Madinah:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy  dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka”.
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komuitas) manusia lain.

Pasal 2
Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 3
Bani Auf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diyat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 4
Bani Sa’idah sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5
Bani Al-Hars sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 6
Bani Jusyam sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 7
Bani An-Najjar sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 8
Banu ‘Amr bin ‘Awf sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9
Banu Al-Nabit sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 10
Banu Al-‘Aws sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan  baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 11
Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang diantara mereka tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.
Pasal 12
Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya.
Pasal 13
Orang-orang mukmin yang taqwa harus menentang orangyang diantara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim , jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
Pasal 14
Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh)  orang beriman.
Pasal 15
Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada golongan lain.
Pasal 16
Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya.
Pasal 17
Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18
Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu membahu satu sama lain.
Pasal 19
Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal 20
Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal 21
Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22
Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.
Pasal 23
Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
Pasal 24
Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 25
Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.
Pasal 26
Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 27
Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 28
Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29
Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 30
Kaum Yahudi Banu Al-‘Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 31
Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 32
Kaum Yahudi Banu Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 33
Kaum Yahudi Banu Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 34
Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 35
Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
Pasal 36
Tidak seorang pun dibenarkan (untuk berperang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi  (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesunggunya Allah sangat membenarkan ketentuan ini.
Pasal 37
Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi mauk muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
Pasal 38
Kaum Yahudi memikul bersama mukiminin selama dalam peperangan.
Pasal 39
Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini.
Pasal 40
Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41
Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.
Pasal 42
Bila terjadi suatu persitiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah Azza Wa Jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini.
Pasal 43
Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.
Pasal 44
Mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.
Pasal 45
Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksankan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46
Kaum Yahudi Al-‘Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
Pasal 47
Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.

IV. KESIMPULAN
Di Indonesia, disebutkan bahwa nilai atau hukum agama menjadi salah satu bahan baku hukum nasional, hukum  dan agama ini tidak dapat semata-mata dipisahkan. Hukum yang tertulis didalam perundang-undangan tidak dapat selalu dipertentangkan dengan hukum agama, meskipun secara bagian-bagiannya mungkin ada perbedaan
Piagam Madinah adalah konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Piagam Madinah dibuat atas persetujuan bersama Nabi Muhammad SAW dengan wakil penduduk Madinah, terdiri dari 47 pasal. Karena fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan menyebabkan dokumen tersebut juga disebut sebagai konstitusi.
Konstitusionalisme adalah batasan bagi penyelenggara negara agar  penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang.
Hubungan antara konstitusionalisme dan hukum bisa dibilang cukup jelas. Ide pokok dari konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited state), agar penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang. Maka dari itu, konstitusionalisme dan hukum adalah penyeimbang dalam kehidupan bernegara, karenan hukum berlaku untuk menjaga kedamaian masyarakat dan konsep konstitusionalisme adalah jaminan bagi warga dari perlakuan yang semena-mena.





















DAFTAR PUSTAKA

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam (Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2006.
Drs. C.S.T. Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional), Yogyakarta: Gama Media, 2002.
C.F. Strong, Konstitusi Konstitusi Politik Modern (Studi Perbandingan Tentang Sejarah  dan Bentuk), Bandung: Nusa Media, 2010.
Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.














[1] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 13.
[2] Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam (Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan Sesungguhnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2006, hal. 19.
[3] Drs. C.S.T. Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal.40
[4] Opcit., Prof. Miriam Budiardjo, hal. 171.
[5] Opcit., Achmad Gunaryo, hal. 20.
[6] Ibid, hlm. 19-20.
[7] Ibid., hlm. 22.
[8] Ibid., hlm. 23.
[9] Ibid., hlm. 24
[10] A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Nasional), Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 84.
[11] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 172.
[12] C.F. Strong, Konstitusi Konstitusi Politik Modern (Studi Perbandingan Tentang Sejarah  dan Bentuk), Bandung: Nusa Media, 2010, hlm. 491.
[13] Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 114.

0 komentar:

Post a Comment