Monday, 5 December 2016

HUBUNGAN ANTARA AGAMA, HUKUM DAN POLITIK


MAKALAH
HUBUNGAN ANTARA AGAMA, HUKUM
DAN POLITIK
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Perkembangan Politik Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Iman Fadhilah, M.Ag



Disusun Oleh:
Siti Alfiyatul Rahmaniyah (112211004)
Sofa Nur Afifah (122211070)
Muhammad Agus Prasetyo (122211051)
Handika Sastra Diputra (122211035)


FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

I.                   LATAR BELAKANG
Segala puji kami haturkan kepada Dzat sang penguasa alam, karena atas izinya kami bisa menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan suatu apapun. Shalawat salam kami haturkan kepada manusia paling mulia di dunia yang membawa lentera kepada kita semua, sehingga kita semua bisa terbebas dari kegelapan dunia.
Dalam makalah ini, kami akan membahas bagaimana hubungan antara agama dan hokum, agama dan politik, politik dan hokum serta hubungan antara agama, hokum dan  politik di Indonesia. Singkatnya, hubungan antara hukum dan politik sangat erat kaitanya sejak dahulu. Menurut seorang ahli hukum, ia melihat bahwa semata-mata negara sebagai lembaga atau organisasi hokum, yaitu sekelompok manusia yang bertindak untuk mencapai beberapa tujuan bersama. Selain itu, ilmu hukum sifatnya normatif dan selalu mencari unsur keadilan.
Dan menurut salah seorang ahli bahwa kaitanya antara agama dan hokum adalah dalam melaksanakan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban melalui pendekatan moral, ada nilai-nilai agama yang diselipkan, maka berarti pelaksanaan hokum sekaligus juga mempunyai nilai melaksanakan ajaran agama melalui pemaksaan penerapan sanksi dengan perangkat penegak hokum tang ada.

II.                RUMUSAN MASALAH

A.    Apa hubungan antara Agama dan Politik?
B.     Apa hubungan antara Agama dan Hukum ?
C.     Apa hubungan antara Hukum dan Politik ?
D.    Apa hubungan antara Hukum, Agama dan Politik?




BAB II
PEMBAHASAN

1.       HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN POLITIK
Agama dan politik dalam pemikiran Nurcholish Madjid ditelusuri pada tulisan-tulisan pada “periode pertama”  tahun 1970-an, yang lebih ditekankan pada otonomi bidang politik yang luas dengan tidak dikaitkan dengan “eksklusifisme”, yang seolah-olah Islam hanya milik Muslimin yang formal berada di ormas-ormas agama Islam. Untuk itu, otonomi politik yang luas itu, mencakup kecilnya keterkaitan dengan “urusan keagamaan”. Kemudian, pada “periode kedua” yakni pada tahun 1980-1990an, lebih dengan tekanan yang positif pada nuansa agama yang mempengaruhi politik. Konteks sejarah dan sosiologis masa awal moderenisasi Orde Baru dan “alam pikiran” yang tumbuh dalam masyarakat disekitar sistem politik (termasuk sistem kepartaiannya) dan budaya politik, tampaknya melatar belakangi tekanan dan nuansa yang demikian itu. Uraian di bawah ini dimulai dengan konteks sosiologis dan psikologis masyarakat itu, kemudian pemaparan pandangan tentang politik Nurcholish Madjid. Islam budaya sebagai lawan dari Islam politik dipandang Nurcholish Madjid sebagai gejala sosiologis masa itu, yang oleh banyak kalangan dirumuskan dengan semboyan “Islam, Yes; Partai Islam, No;”.[1]
Pada “periode kedua” pemikiran politiknya, yakni pada tahun 1980-1990an, Nurcholis Madjid melihat bahwa agama dan politik yang dalam pemikirannya tidak saja dipisahkan, tetapi lebih dari itu “bidang agama” makin sempit di sekitar urusan pribadi,  kini sudah makin kurang signifikan. Dalam tulisannya “Pluralisme Agama di Indonesia”, dia mendapati bahwa asumsi terpinggirnya agama dari dari moderenisasi tidak benar, karena banyak dari teka-teki keseharian itu menjadi warisan dari dogma masa Pencerahan. Kemunculan Islam di dunia, dan ledakan Kristen Protestan di Amerika Latin menunjukkan ketidaktepatan prediksi-prediksi mereka. Untuk itu, tema sentral pluralisme dan sosial politik (serta agama) menuntut kita untuk menengok ke agama. Karena politik adalah satu fungsi kebudayaan, dan karena budaya “kaum beriman” juga bersumber dari agama, maka politik adalah juga fungsi dari agama. Dalam konteks negara Pancasila di Indonesia, Nurcholish Madjid melihat bahwa kontroversi agama pada Pancasila dapat dikembalikan pada tekanan agama Soekarno, yakni Soekarno sendiri selalu bersikeras dengan berpendapat bahwa agama adalah eleman absolut bagi pembangunan bangsa. Oleh karena itu, bagi Nurcholis Madjid, perjalanan empiris Indonesia kini lebih membuktikan pilihan kepada kandungan agama seperti ditekankan Soekarno. Perkembangan mutakhir politik Indonesia menunjukkan bahwa agama  merupakan satu institusi politik yang paling penting dalam sistem Pancasila. Dia berpendapat bahwa ada peluang agama untuk “menjadi satu kekuatan positif yang kuat, dan tidak negatif seperti halnya liberalisme atau sekularisme”.
Agama(Islam) dan politik, dipandang Nurcholis Madjid sebagai hal yang menyatu. Memulai tulisannya yang berjudul “Kaum Muslim dan Partisipasi Politik”, dia mengutip Robert A. Dahl yang menelaah partisipasi politik di New Haven, Connecticut, AS, bahwa perhatian orang di Amerika itu hanya pada hal-hal yang primer (makanan, pekerjaan, hiburan dan semacamnya). “Dua pertiga para pemilih terdaftar menyebutkan perhatian pokok mereka ialah masalah-masalah pokok tersebut, dan hanya seperlima dari mereka menunjukkan minat terhadap politik”.[2]
Dengan mendasarkan teks kitab suci Al-Qur’an dan Hadis, Nurcholish Madjid menguraikan tema partisipasi politik sebagai berikut :
1.      Masyarakat Muslim awal telah meninggalkan tradisi kehidupan politik yang “modern” dan melembagakan kepemimpinan yang dipilih bukan atas dasar nasab (keturunan, prestise), lawan a’mal (prestasi). Jadi, Nabi Muhammad SAW. Telah meletakkan dasar-dasar sistem sosial politik yang terbuka, yang memberi keleluasaan bagi adanya partisipasi warga masyarakat kaum beriman.
2.      Partisipasi politik bermula dari adanya hak individu. Ia mengandung adanya kebebasan individu, tapi pangkal-pangkal hak ini merupakan sesuatu yang mesti dipertanggungjawabkan oleh manusia terhadap tuhan-Nya.
3.      Kebaikan itu harus dalam rangka kebaikan kolektif, di mana individu harus memperhatikan dan mempertimbangkan hak individu itu, sehingga terjalinlah hubungan antar individu yang disusun melalui pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing secara seimbang. Disini perbuatan selalu bersifat sosial – dengan tidak dibenarkan untuk sesuka hatinya bertindak, yang di implikasikannya adalah perlu mekanisme, sehingga itulah pangkal ajaran dan perintah untuk musyawarah.
4.      “budaya” musyawarah yang diajarkan Kitab Suci (surat Al-Ashr), antara lain harus ada sikap sabar.
Kesimpulan Nurcholis Madjid adalah di mana “partisipasi sosial-politik bagi kaum muslim adalah berakar dalam ajaran agamanya, dan bersangkutan dengan prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat itu.[3]

2.      HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN HUKUM

Menurut pendapat Roscoe Pound tentang Hukum menunjukkan bahwa ketentuan agama di akui sebagai hukum dalam pengertian hukum umum. Ini terjadi pada masa yang sangat awal, dimana hukum selalu berasal dari Tuhan. Hukum, moralitas, dan agama sering dianggap saling tidak dapat dipisahkan. Kalau hukum merupakan langsung dari tuhan, maka di akui pula adanya hukum yang mengandung nilai suci, karena muncul dari orang yang mendapatkan inspirasi dari Tuhan. Ketika hukum itu di anggap sebagai berasal dari tuhan yang mempunyai akar atau sumber dari agama maka jenis hukum tersebut mempunyai nilai dan sanksi yang bersifat ketuhanan pula atau setidaknya setengah ketuhanan. Oleh karena itu keterkaitan dengan agama seperti ini yang kemudian semestinya mempunyai akar yang sangat kuat untuk menghasilkan kewajiban moral agar tunduk atau patuh terhadap hukum karena keberadaan hukum itu sekaligus mengandung nilai agama.[4]
Menurut Bernard Weiss, menjelaskan bahwa di dalam Islam, hukum dan agama dalam praktek lembaga peradilan dan dalam kehidupan tidak dapat dipisahkan, namun sekaligus memberi argumentasi bahwa budaya masyarakat islam tidak lepas dari ajaran agamanya, artinya; dalam kehidupan umat Isam, adat kebiasaannya pasti mengandung nilai-nilai hukum Islam, meskipun ukuran kuantitasnya tidak selalu sama. Ini juga akan membantu untuk memberi penjelasan mengenai suatu tradisi bagi masyarakat Islam dan mengenai kebiasaan dalam sistem nasional yang tidak dapat lepas dari kebiasaan yang bernilai hukum islam.
Secara keseluruhan, bagi negara Indonesia, yang dengan tegas disebutkan secara resmi bahwa nilai atau hukum agama menjadi salah satu bahan baku hukum nasional, hukum dan agama ini tidak dapat semata-mata dipisahkan. Hukum yang tertulis di dalam perundang-undangan tidak dapat selalu dipertentangkan dengan hukum agama, meskipun secara bagian-bagiannya mungkin ada perbedaan. Keduanya dapat menjadi satu kesatuan, seperti hukum perkawinan, dll.
Dalam pembicaraan mengenai hukum, ada konsep hak dan kewajiban yang tidak dapat dilepaskan. Kedua hal ini sangat penting dalam oprasinya hukum di tengah-tengah masyarakat. Jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan. Kalau semua hak dan kewajiban itu mengandung nilai moral dan agama namun kemudian dapat diberlakukan sanksi hukuman. Disinilah hukum positif berbicara, dan disinilah perbedaan antara hak dan kewajiban atas dasar nilai-nilai agama, moral, atau konvensi sosial (sebelum menjadi hukum positif) yang tidak mempunyai perangkat untuk memaksa lewat pengadilan, di satu sisi serta hak dan kewajiban yang dapat dipaksa oleh hukum melalui pengadilan di sisi lain.
Dennis Lloyd berpendapat tentang melaksanakan kewajiban melalui pendekatan moral. Jika moral disini berupa nilai-nilai agama, maka berarti pelaksanaan hukum sekaligus juga mempunyai nilai melaksanakan ajaran agama. Namun, pendekatan seperti ini tidak selalu berjalan dengan mulus, sehingga diperlukan penegakan hukum lewat pengadilan yang melalui pemaksaan penerapan sanksi dengan perangkat penegak hukum yang ada.

3.      HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM

Ilmu hukum sejak dulu kala erat hubungaya dengan ilmu politik, karna mengatur dan melaksanakan UU merupakan salah satu kewajiban negara yang penting.  Menurut ahli hokum, Negara dilihat sebagai lembaga atau Instituta, dan menganggapnya sebagai organisasi hukum yang mengatur hak dan kewajiban manusia. Fungsi negara ialah menyelenggarakan penertiban, tetapi oleh ilmu hukum penertipan ini dipandang semata-mata sebagai tata hukum. Manusia dilihat  sebagai objek dari sistem hukum, dan dianggap sebagai pemegang hak dan kewajiban semata-mata. Ilmu hukum tidak melihat manusia sebagi makhluk yang terpengaruh oleh faktor sosial, sikologi,dan kebudayaan akibatnya ialah bahwa ada kecenderungan pada ilmu hukum untuk meremehkan kekuatan-kekuatan sosial dan kekuatan-kekuatan lainya yang berada diluar bidang hukum.[5]
Kalau seorang melihat negara semata-mata melihat negara sebagai lembaga atau organisasi hukum, maka seorang ahli ilmu politik lebih cenderung untuk disamping menganggap negara sebagai system of control, memandang negara sebagai suatu asosiasi, atau sekelompok manusia yang bertindak untuk mencapai beberapa tujuan bersama. Dalam masyarakat terdapat banyak asosiasi, tetapi perbedaan antara negara dan asosiasi lainya ialah bahwa negara mempunyai wewenang untuk mengendalikan masyarakat memakai kekerasan fisik.

4.      HUBUNGAN ANTARA AGAMA, NEGARA DAN POLITIK

Dari materi yang telah kami paparkan di atas yaitu mengenai hubungan antara Hukum dan Politik, Politik dan Agama, maupun antara Agama dan Hukum, menurut Prof. Tahir Azhary dapat dianalogikan dengan gambar sebagai berikut:
NEGARA
HUKUM
agama








                                                                                                                                           
Di dalam lingkaran tersebut ada tiga komponen, yaitu agama, hokum dan negara     artinya ketiga komponen tersebut saling berkaitan erat satu sama lainya.[6] Agama merupakan inti dari lingkaran karena agama sangat berpengaruh besar pada hokum dan politik di Indonesia. Dalam membuat hokum, Indonesia menjadikan nilai agama sebagai salah satu elemen dari hokum tersebut. Kemudian hokum menempati posisi kedua karena dalam substansi hokum harus tercermin nilai-nilai kesusilaan yang mana itu merupakan salah satu bentuk dari norma agama. Posisi ketiga diduduki oleh Negara bukan berarti negara mengurung serta mengukung agama dan hokum tetapi justru negara mencakup Hukum dan Agama.


BAB III
PENUTUP

I.                   KESIMPULAN

           Dari materi yang telah kami paparkan di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hubungan antara agama, hokum dan negara sangatlah erat walaupun antara ketiganya sangat berbeda. Ketiga komponen tersebut saling melengkapi antara satu sama yang lain. Di dalam hokum Indonesia terdapat unsur yang mengandung nilai moral dan kesusilaan. Selain itu, hokum juga harus berhubungan dengan negara kaitanya dalam mengimplementasikan hokum, disitu negaralah yang akan berbicara.

II.                PENUTUP

            Demikian makalah ini kami sampaikan, kami sangat berterima kasih khususnya kepada Dzat sang penguasa alam, karena hanya dengan izinyalah kami bisa menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan suatu apapun. Kedua kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berkontribusi, sehinnga dalam pembuatan makalah ini bisa berjalan dengan lancar.
            Kami menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, makalah ini pun masih banyak kekurangan. Maka dari itu kritik serta saran yang solutif akan kami terima dengan senang hati.










DAFTAR PUSTAKA


           Azizy, Qodri, Elektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Media, 2004).
           Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008).
           Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara (Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
           Hukis-khi-khei-hubungan-agama-politik-hukum.ppt//com, diunduh tanggal 15 April 2014.


[1]Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara “Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid”. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004). Hal: 105-106
[2]               Ibid, hlm. 116
[3] Ibid. Hal: 112-116
[4] Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Media, 2004),hlm. 80           
[5]. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),hlm. 35
[6]Hukis-khi-khei-hubungan-agama-politik-hukum.ppt//com, diunduh tanggal 15 April 2014.

0 komentar:

Post a Comment