SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Ekonomi Islam
Dosen Pengampu: Bapak Imam
Fadlilah
Disusun Oleh:
Asri Khusnul Azima
(1405015021)
Jefredy S Saputra (1405015033)
Shofie Naqiya
(1405015049)
Sopingi (1405015090)
Mohamad Nasirudin
(1405015115)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah khalifah di muka
bumi. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah
kepada sang khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan
bersama. Untuk mencapai tujuan suci ini, Allah memberikan petunjuk melalui para
rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia
baik akidah, akhlak, maupun syariah.
Perkembangan
ekonomi Islam dewasa ini bisa dikatakan mengalami kemajuan, hal ini dikarenakan
banyak para ekonom yang menyatakan bahwa ekonomi Islam dipandang mampu untuk
menyelesaikan beberapa permasalahan yang timbul dalam bidang ekonomi. Ekonomi
Islam yang sekarang ini ramai diperbincangkan bukanlah semata-mata muncul
begitu saja, melainkan telah hadir dalam beberapa periode dan fase tertentu
yang sejalan dengan perkembangan ajaran Islam pada masa Rasulullah saw.
Oleh
karena itu penting bagi kita untuk mengetahui tahapan dan periode munculnya
pemikiran-pemikiran ekonomi Islam di masa lampau. Hal ini sangatlah perlu
karena dalam praktiknya terdapat beberapa permasalahan yang sama yang terjadi
pada saat ini dan di masa Rasulullah. Dengan mempelajari sejarah pemikiran
Islam diharapkan kita dapat mengimplementasikan teori-teori dan praktik
perekonomian yang tidak menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Ekonomi
Islam?
2.
Bagaimana
Asal-Usul Pemikiran Islam?
3.
Bagaimana
Perkembangan Sejarah Pemikiran Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ekonomi Islam adalah
pengetahuan tentang penerapan perintah-perintah (injuctions) dan tata
cara (rules) yang ditetapkan oleh syariah dalam rangka mencegah
ketidakadilan dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna
memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka memenuhi kewajiban kepada
Allah dan masyarakat.[1]
Dalam
Al-Qur’an Allah swt. memberikan beberapa contoh tegas mengenai ajaran-ajaran
para Rasul di masa lalu (sebelum Nabi Muhammad saw.) dalam kaitannya dengan
masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah
satu bidang perhatian agama. Mengenai risalah kenabian Ibrahim as. dan
putra-putranya, Allah berfirman :
Kami telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk (manusia) dengan perintah Kami, dan Kami turunkan wahyu kepada mereka
untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, melaksanakan salat dan zakat; dan
mereka senantiasa beribadah kepada-Ku.[2]
Sejak
permulaan Islam di Makkah, bahkan sebelum terbentuknya masyarakat muslim di
Madinah, ayat-ayat Al-Qur’an sudah menampilkan pandangan Islam mengenai
hubungan antara agama dan keimanan terhadap adanya Allah dan Hari Kiamat di
satu pihak, dan perilaku ekonomi dan sistem ekonomi di pihak lain. Allah swt.
berfirman:
Celakalah
orang-orang yang berbuat curang, yang meminta takaran penuh dari orang lain dan
mengurangi takara untuk orang lain. Apakah mereka tidak yakin bahwa mereka akan
dibangkitkan (kembali dari kuburnya kelak), di hari yang amat besar, di saat
mana manusia menghadap Tuhan penguasa alam semesta (untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya?)
Riba (bunga)
yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, sesungguhnya tidak menambah di
sisi Allah, (yang dilipatgandakan adalah) zakat yang kamu berikan dengan maksud
mendapatkan rida Allah. Orang-orang yang melakukannya yang akan mendapatkan
pahala berlipat ganda (dari Allah).
Ayat-ayat
yang turun di Makkah ini mengutuk perilaku ekonomi yang ada dan merupakan
petunjuk-petunjuk awal mengenai sistem ekonomi terantisipasi yang konsisten
dengan agama ini. Perlu dicatat bahwa ayat-ayat ini mengaitkan perilaku ekonomi
dengan ajaran tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah di Hari Kiamat kelak.[3]
B.
Asal
Usul Pemikiran Ekonomi Islam
Kemunculan
ekonomi Islam di Era kekinian, telah membuahkan hasil dengan banyak diwacanakan
kembali Ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktiknya Ekonomi Islam di
ranah bisnis modern seperti ini halnya lembaga keuangan syari’ah bank dan
non-bank. Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal
yang tiba-tiba datang begitu saja. Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep
pemikiran dan praktik tentunya telah hadir secara bertahap dalam periode dan
fase tertentu.[4]
Permasalahannya
adalah bagaimana kita menemukan kembali jejak-jejak kebenaran akan sejarah,
fase dan periodisasi munculnya konsep Ekonomi Islam secara teoritis dalam
bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung
pada rambu-rambu halal-haram atau berprinsip Syari’at Islam. Lingkup bahasan
kelangkaan tentang kajian sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak
menguntungkan, karena sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin Muslim
sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga
mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam.
Sesungguhnya, ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu
bidang ilmu interdisiplin yang menjadi bahan kajian para fuqaha,
mufassir, filsuf, sosiolog, dan politikus.[5]
Selain
penjelasan di atas, lingkup pembahasan dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam
juga meliputi penelaahan secara umum asal-usul lahirnya pemikiran ekonomi dalam
Islam, berikut berbagai fase perkembangannya hingga memasuki awal abad ke-20
Masehi. Kemudian juga meliputi pembahasan mengenai berbagai kegiatan
perekonomian umat Islam yang berlangsung pada zaman pemerintahan Rasulullah
saw, dan al-Khulafaurrasyidun, yang mencakup pembahasan mengenai sistem ekonomi
dan fiskal pada masa pemerintahan Rasulullah saw, sistem ekonomi dan fiskal
pada masa pemerintahan al-Khulafaurrasyidin, kebijakan fiskal pada masa
awal pemerintahan Islam, uang dan kebijakan moneter pada awal
pemerintahan Islam, serta peranan harta rampasan perang pada awal pemerintahan
Islam.
Urgensi
sejarah pemikiran ekonomi Islam para Cendekiawan Muslim yang telah
menelorkan berbagai rumusan akan misteri kehidupan yang diturunkan dari Kalamullah
Al-Qur’an dan Hadits Nabiullah saw, benar-benar menyampaikannya secara totalitas.
Tanpa adanya pengurangan maupun penambahan. Prinsip kehati-hatian dan prinsip
mutlak sesuai dengan penyamaian awal sangat dijunjung tinggi. Seperti halnya
al-Qurtubhi, yang menyampaikan, bahwasannya dia telah menyampaikan kepada umat
Muslim dengan tanpa adanya penyaringan atau seleksi terlebih dahulu ketika akan
menyampaikan kepada obyek umat yang berbeda latar belakang masig-masing,
sehingga tidak jarang hal ini umat merasa dibuat semakin bingung.
Ketidaksistematisan
dan indahnya pengemasan unsur keilmuan yang harus disampaikan oleh
masing-masing periwayat keilmuan ini, merupakan suatu hal yang cukup berbahaya.
Hal ini telah ditangkap para Orientalis sebagai sebuah sinyal peluang
untuk diungkapkan. Baik berupa plagiat keilmuan dengan “asal klaim”,
maupun pemutar balikan isi atau konten pernyataan para Cendekiawan,
sehigga memiliki arti yang berlawanan dan tidak sesuai dengan tujuan
penyampaian semula oleh para Cendekiawan Muslim. Oleh sebab itu, penelitian
kembali akan sejarah meskipun tidak akan ketemu kemali, namun dapat dijadikan
sebuah pelajaran utama yang berharga dalam salah satu sandaran pijakan jika
nantinya sejarah terulang kembali dengan kemiripan situasi dan kasus serupa.
Mempelajari sejarah pemikiran ekonomi Islam secara khusus dan sejarah pemikiran
Islam secara umum, dirasa perlu untuk meluruskan kembali dan menyampaikan
sesuatu fakta sejarah kemunculan, perkembangan dan kebijakan.[6]
C.
Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam
Ilmu
ekonomi Islam sebagai sebuah studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada
tahun 1970-an, tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam
itu diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. Karena rujukan utama pemikiran
ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan diturunkannya Al-Qur’an dan masa kehidupan
Rasulullah saw., pada abah akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa
tersebut banyak sarjana Muslim memberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi.
Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentsi relijius
dan sekaligus intelektual yang kuat serta –kebanyakan- didukung oleh fakta
empiris pada waktu itu. banyak diantaranya juga futuristik di mana
pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi
di kalangan pemikir Muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi di dunia
pada masa di mana Barat masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa
tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang.
1.
Perekonomian
di Masa Rasulullah ( 571-632 M)
Kehidupan Rasulullah saw. dan
masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi
Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian
Muhammad saw. adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di
Rasulullah di sini adalah pada masa Madinah. Pada perioden Makkah masyarakat
Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan
perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy.
Barulah periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat
Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan berdab. Meskipun perekonomian
pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan
prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari
perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan
norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan.
Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara
sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus
beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting
sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak
aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan.[7]
Rasulullah saw. mengawali
pembangunan Madinah dengan tanpa sumber
keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan juga timpang. Kaum
muhajirin tidak memiliki kekayaan karena mereka telah meninggalkan seluruh hartanya
di Makkah. Oleh karena itu, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan
Anshar sehingga dengan sendirinya terjadi redistribusi kekayaan. Kebijakan ini
sangat penting sebagai strategi awal pembangunan Madinah. Selanjutnya untuk
memutar roda perekonomian, Rasulullah mendorong kerja sama usaha di antara
anggota masyarakt (misalnya muzaraah, mudharabah, musaqah, dan
lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktifitas. Namun, sejalan dengan
perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan negara juga mingkat.
Sumber pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok
adalah zakat dan ushr. Secara garis besar pemasukan negara ini dapat
digolongkan bersumber dari umat Islam sendiri, non-Muslim, dan umum.[8]
Zakat dan ushr merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah
tahun ke-9 H di mana zakat mulai diwajibkan. Berbeda dengan sumber penerimaan
lain yang pemanfaatannya ditentukan oleh Rasulullah saw. zakat hanya boleh
diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang telah digariskan oleh Al-Qur’an (QS
At Taubah: 60). Untuk orang-orang non-Muslim, Rasulullah memungut jizyah sebagai
bentuk kontribusi dalam penyelenggaraan negara. Pada masa itu besarnya jizyah
satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak,
pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit dan semua yang menderita penyakit
dibebaskan dari kewajiban ini.[9]
2.
Perekonomian
di Masa Khulafaurrasyidin
Para Khulafaurrasyidin adalah
penerus kepemimpinan Nabi Muhammad saw. karenanya kebijakan mereka tentang
perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan dasar-dasar yang dibangun
Rasulullah saw. Khalifah pertama, Abu Bakar Siddiq (51 SH-13 H/537-634 M)
banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai
muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau membangun lagi Baitul
Maal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana
pada masa Rasulullah saw. Beliau juga mulai mempelopori sistem penggajian bagi
aparat negara, misalnya unutk khilafah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5
atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari Baitul Maal. Tunjangan tersebut kurang
mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan
lain 6.000 dirham per tahun.
Khalifah kedua, Umar bin Khattab (40
SH-23 H / 584-644 M), dipandang paling banyak melakukan inovasi dalam
perekonomian. Umar bin Khattab menyadari pentingnya sektor pertanian bagi
perekonomian, karenanya ia mengambil langkah-langkah besar pengembangan bidang
ini. Misalnya, ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia
menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahuun maka ia
akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Saluran irigasi
terbentang hingga daerah-daerah taklukan, dan sebuah departemen besar didirikan
untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air
serba guna kelancaran dan distribusi air. Menurut Maqrizi, di Mesir saja ada
sekitar 120.000 buruh yang bekerja setiap hari sepanjang tahun. Mereka digaji dari
harta kekayaan umat. Juza bin Muawiyah dengan seizin Umar, banyak membangun
kanal-kanal di distrik Khuziztan dan Ahwaz, yang memungkinkan pembukaan dan
pengolahan banyak sekali ladang pertanian.[10]
Permasalahan ekonomi di masa
Khalifah Usman bin Affan (47 SH-35 H / 577-656 M) semakin rumit, sejalan dengan
semakin luasnya wilayah Negara Islam. Pemasukan Negara dari zakat, jizyah, dan
juga rampasan perang semaki besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya,
Balkh, Kabul, Ghazni Kerman, dan Sistan ditaklukan. Untuk menata pendapatan
baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama, Islam mengakui empat kontrak dagang
setelah negara-negara tersebut ditaklukan, kemudian tindakan efektif diterapkan
dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun,
pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara
pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Di Mesir, ketika angkatan laut
Byzantium memasuki Mesir, kaum Muslim di awal perintah Usman mampu mengerahkan
dua ratus kapal dan memenangkan peperangan laut yang hebat. Demikianm kaum
Muslimin membangun supremasi kelautan di wilayah Mediterania. Laodicea dan
wilayah semenanjung Syria, Tripoli, dan Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan
pertama negara Islam. Sementara itu, biaya pemeliharaan angkatan laut sangat
tinggi yang semuanya menjadi bagian dari beban pertahanan periode ini.
Dalam pemerintahan Usman komposisi
kelas sosial di dalam masyarakat berubah demikian cepat, yang kemudian juga
menimbulkan berbagai masalah sosial politik yang berbuah konflik. Tidak mudah
pula mengakomodasi orang kota yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang
baru yang terbuka menyusul ditaklukannya provinsi-provinsi baru.
Ali bin Abi Thalib (23 SH-04H /
600-661M), khalifah yang keempat, terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali
pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari
khalifah sebelumnya, Ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia
secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul
Maal, bahkan menurut yang lainnya ia memberikan 5.000 dirham setiap
tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu
upayanya yang monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama
pemerintahan Islam, di mana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang
dinar dari Romawi dan dirham dari persia.[11]
3.
Pemikiran
Ekonomi Islam
Terminologi pemikiran ekonomi Islam
di sini mengandung dua pengertian, yaitu pemikiran ekonomi yang dikemukakan
oleh para sarjana Muslim dan pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama
Islam. Dalam realitas kedua pengertian ini sering kali menjadi kesatuan, sebab
para sarjana Muslim memang menggali pemikirannya mendasarkan pada ajaran Islam.
Pemikiran ekonomi dalam Islam bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Hadis yang
merupakan sumber dan dasar utama Syariat Islam. Oleh karena itu, sejarah
pemikiran ekonomi Islam sesungguhnya telah berawal sejak Al-Qur’an dan Hadis
ada, yaitu pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad saw, abad ke-7 Masehi.
Pemikiran-pemikiran para sarjana Muslim pada masa berikutnya pada dasarnya
berusaha mengembangkan konsep-konsep Islam sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi, dengan tetap bersandar kepada Al-Qur’an dan Hadis. Memang harus
diakui secara jujur bahwa para sarjana Muslim pasca Rasulullah banyak membaca
karya-karya pemikir Yunani-Romawi, sebagaimana juga karya Syrian-Alexandrian,
Zoroastrian, dan India. Namun demikian, mereka ini melainkan memperdalam,
mengembangkan, memperkaya dan memodifikasinya sesuai dengan ajaran Islam
(Nakosten, Mehdi, 1994)
Siddiqi telah membagi sejarah
pemikiran ini menjadi tiga periode, yaitu periode pertama/fondasi (Masa awal
Islam -450 H/1058 M), periode kedua (450-850H/1058-1446 M), dan periode ketiga
(850-1350 H/ 1446-1932 M). Periodesasi ini masih didasarkan pada kronologikal
(urutan waktu) semata, bukan berdasarkan kesamaan atau kesesuaian ide
pemikiran. Hal ini dilakukan karena studi tentang sejarah pemikiran ekonomi
Islam masih pada tahap eksplorasi awal.[12]
1)
Periode
Pertama/Fondasi (Masa Awal Islam – 450 H/1058 M)
Pada periode ini banyak sarjana
Muslim yang pernah hidup bersama pada sahabat Rasulullah dan para tabi’in
sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang autentik. Beberapa di antara
mereka antara lain: Hasan Al Basri, Zayd bin Ali, Abu Hanifah, Abu Yusuf,
Muhammad Bin Hasan al Syahbani, Yahya Bin Adam, Syafi’i, Abu Ubayd, Ahmad bin
Hanbal, Al-Kindi, Junayd Baghdadi, Al-Farabi, Ibnu Miskwayh, Ibnu Sina, dan
Mawardi.[13]
2)
Periode
Kedua (450-850 H/ 1058-1446 M)
Pemikiran ekonomi pada masa ini
banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta
melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum
kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat
pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini,
misalnya: Al-Ghazali, Nasirudin Tutsi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun,
Al-Maghrizi, Abu Ishaq Al-Shatibi, Abdul Qadir Jaelani, Ibnu Qayyim, Ibnu Baja,
Ibnu Tufayl, Ibnu Rusyd, dan masih banyak lagi. Para pemikir ini memang
berkarya dalam berbagai bidang ilmu yang luas, tetapi ide-ide ekonominya sangat
cemerlang dan berwawasan ke depan.[14]
3)
Periode
Ketiga (850-1350 H/ 1446-1932 M)
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang
lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian,
terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun
terakhir, sebagaimana tampak dalam karya dari: Shah Waliullah, Muhammad bin
Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ibnu Nujaym, Ibnu Abidin,
Ahmad Sirhindi, dan Muhammad Iqbal.[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ekonomi Islam adalah pengetahuan tentang
penerapan perintah-perintah (injuctions) dan tata cara (rules)
yang ditetapkan oleh syariah dalam rangka mencegah ketidakadilan dalam
penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia
yang memungkinkan mereka memenuhi kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
Terminologi pemikiran ekonomi Islam di sini mengandung dua
pengertian, yaitu pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh para sarjana Muslim
dan pemikiran ekonomi yang didasarkan atas agama Islam. Pemikiran ekonomi yang
didasarkan atas agama Islam bertitik tolak dari Al-Qur’an dan Hadis yang
merupakan sumber dan dasar utama Syariat Islam. Oleh karena itu, sejarah
pemikiran ekonomi Islam sesungguhnya telah berawal sejak Al-Qur’an dan Hadis
ada, yaitu pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad saw, abad ke-7 Masehi.
Sedangkan pemikiran ekonomi Islam yang dikemukakan oleh para
sarjana Muslim sendiri merupakan pengembangan dan pendalaman dari pemikiran
ekonomi Islam yang didasarkan atas agama Islam. Perkembangan pemikiran ekonomi
Islam oleh sarjana Muslim sendiri dibagi kedalam tiga periode yaitu: periode
pertama/fondasi (Masa awal Islam -450 H/1058 M), periode kedua
(450-850H/1058-1446 M), dan periode ketiga (850-1350 H/ 1446-1932 M).
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Choirul. Ekonomi Islam. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya. 2015.
Khaf,
Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap fungsi sistem Ekonomi Islam).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pusat
Pengkajian dan Pengemabangan Ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam.
Jakarta: Raja Grafindo
[2]
Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap fungsi sistem Ekonomi
Islam), 1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 2.
[3]
Ibid, hlm. 3-4
[4]
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 2010,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, hal. 2
[5]
Ibid, hlm. 2-3
[6]
Ibid, hlm. 4-6
[7]Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam(P3EI), Ekonomi Islam, 2013,
Jakarta:PT RajaGrafindo, hlm.97-98
[8]
Ibid, hlm. 88-89
[9]
Ibid, hlm. 100
[10]
Ibid, hlm. 101-102
[11]
Ibid, hlm. 104
[12]
Ibid, hlm. 105
[13]
Ibid, hlm. 105-106
[14]
Ibid, hlm. 109-110
[15]
Ibid, hlm. 115
0 komentar:
Post a Comment