Friday, 16 December 2016

INTERELASI NILAI JAWA-ISLAM

Interelasi Nilai Jawa-Islam
MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr. Rupi’i Amri, M. Ag


Disusun oleh :
Nur Laili Khoiriyah (122111107)



FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013





I.            PENDAHULUAN
       Kebudayaan Jawa yang masih kental tentu saja masih melekat sampai saat ini kepada masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan yang sangat terhadap apa-apa yang diucapkan oleh sesepuh atau nenek moyang mereka. Tentu saja hal tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki nilai tersendiri dalam kehidupannya.
       Nilai menurut bahasa berarti konsep abstrak dalam diri manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Sesuatu yang sudah mendarah daging dalam diri manusia tersebut. Yang menjadi patokan dalam hidupnya.
       Jawa yang sejarahnya lebih dahulu Hindu-Budda yang masuk daripada Islam tentu memberikan bekas tersendiri walaupun dapat menerima Islam bahkan berganti menjadi beragama Islam. Keyakinan yang melekat pada diri orang Jawa ini dapat kita sebut sebagai nilai Jawa.
       Sedangkan Islam datang tentu membawa nilai yang baru dan lebih baik dari sekedar nilai Jawa. Yang kita tahu bahwa nilai Jawa sebenarnya cukup baik namun ada beberapa hal yang masih kepada nilai Hindu-Buddha. Memberi nilai tersendiri yang memberikan kecerahan dalam hidup masyarakat Jawa.
       Namun, tanpa disadari oleh kita bahwa pada dasarnya ada interelasi antara nilai Jawa dan Islam. Maksud dari interelasi yaitu adanya hubungan satu sama lain diantara dua hal tersebut. Kalau kita teliti lebih lanjut, bahkan banyak hal yang dapat dihubungkan dari nilai Jawa dan Islam.
       Tentu saja hal ini menarik untuk dibahas lebih lanjut. Berikut yang akan kami paparkan dalam makalah kami dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa arti dari interelasi?
2.      Seperti apa interelasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai Jawa?
3.      Apa saja yang menjadi cakupan interelasi nilai Jawa dan nilai Islam?

    II.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Interelasi.
Interelasi dalam KBBI berarti hubungan satu sama lain. Dapat kita pahami bahwa yang dimaksud di sini yaitu hubungan antara nilai Jawa dan Islam yang saling berkaitan dalam berbagai aspeknya, yaitu aspek kepercayaan, aspek ritual, aspek sastra,aspek politik, dan aspek pendidikan.
1.      Interelasi antara Nilai-Nilai Islam dengan Nilai Jawa.
       Sebenarnya bukan hanya nilai Jawa yang mempunyai hubungan dengan nilai Islam, namun Hindu, Budha, dan kepercayaan lama juga memiliki hubungan karena pada dasarnya semuanya bertumpu pada satu titik. Semuanya kental pada nuansa  yang mistik.
       Suku-suku bangsa Indonesia sebelum kedatangan Hindu-Budha sudah memiliki kepercayaan yang sangat kental yaitu animisme dan dinamisme dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial mereka. Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang mereka telah hidup perskutuan-persekutuan desa yang teratur yang mungkin dibawah pemerintahan atau kepala adat desa, walaupun masih dalam bentuk sederhana.
       Animisme dan dinamisme bersifat kenyal (elastis). Dengan demikian, dapat bertahan walaupun mendapat pengaruh dan berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang lebih maju. Keadaan ini memancing teori kekenyalan dan ketegaran kebudayaan asli pribumi dan Indonesia khususnya kebudayaan Jawa.[1]
       Meskipun masih diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, namun Islamisasi besar-besaran baru terjadi pada abad ke-15 dan ke-16 dengan ditandai jatuhnya  Kerajaan Majapahit. Di Jawa penyebaran Islam harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya Kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam kegelapan animisme-dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh Hinduisme.[2]
      
2.      Cakupan interelasi nilai Jawa dan nilai Islam.
1)      Interelasi dalam aspek kepercayaan.
       Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni kepercayaan atau keyakinan terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci, atau yang ghaib. Dalam agama islam aspek fundamental itu dirumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman, yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim. Yang termasuk dalam rukun iman adalah percaya kepada Allah, para malaikat-Nya para Nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya, hari kiamat, surga, dan neraka, dan percaya kepada qadla dan qadar, yakni ketentuan tentang nasib baik ataau buruk dari SWT. Unsur-unsur keimanan itu karena berjumlah enam disebut rukun iman yang enam . Namun demikian, di luar semua itu masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai seperti percaya kepada adanya setan, iblis, syafa’at Nabi Muhammad SAW, dan lain-lain.
       Sementara itu, dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti Dewa Brahmana, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak lagi para dewa. Demikian juga terdapat kepercayaan terhadap kitab-kitab suci, orang-orang suci (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma, dan hidup bahagia abadi (moksa). Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan). Kelepasan yaang dimaksud adalah Nirwana harus menempuh delapan jalan kebenaran, semacam rukun iman juga dalam agama Budha. Meskipun semula agama ini tidak jelas konsep ketuhanannya, tetapi dalam perkembangannya agama Budha juga percaya akan Tuhan yang disebut Sang Hyang Adi Budha. Dari Sang Hyang Adi Budha memanifestasikan diri dalam berbagai tingkatan Budha sehingga terdapat Budha Surga. Demikian juga Buddha Dunia (Manusyi Budha) seperti Budha Gautama selaku penganjur agama ini (Harun Hadiwijono, 1970: 28, 74-75). Adapun pada agama primitif sebagi agama sebelum datangnya Hindu dan Budha berinti tentang kepercayaan tentang animisme daan dinamisme.
       Kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun kepercayaan animisme maupun dinamisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.
       Pada aspek ketuhanan, prinsip ketauhiidan telah berkelindan dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun primitif. Misalnya Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ul husna telah berubah menjadi Gusti Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir),dan lain-lain. Nama-nam itu bercampur dengan nama dari agama lain misalnya yaitu Hyang Maha Agung (Allahu Akbar).[3]
       Kaitannya dengan takdir, dalam budaya jawa tampaknya telah terpengaruh oleh teologi jabariyah yaitu pasrah terhadap garis hidup (narimo ing pandum). Namun, terdapat pula upaya-upaya ikhtiari yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber primitif maupun yang bersumber dari agama Hindu. Jika tentang hari buruk (na’as), orang primitif akan melakukan ritual-ritual agar tidak terjadi kesialan, yang dalam Hindu berupa sesaji-sesaji. Namun, dalam Islam berupa do’a meminta perlindungan kepada Allah. Keduanya menjadi tradisi di kalangan kebanyakan orang Islam di Jawa.
       Roh jahat juga ada pada agama Islam, Hindu, maupun primitif. Dalam Islam, roh jahat yaitu syaithan (setan), dan sebagian jin. Kemudian dalam Hindu diantaranya Wrta, Raksa, dan Picasa. Kepercayaan Jawa terhadap makhluk jahat yang berasal dari agama Islam maupun agama Hindu tampaknya telah saling mengisi.[4]
       Berkaitan dengan percaya terhadap para Nabi, dalm Jawa berkaitan dengan hari na’as. Hari na’asnya yaitu waktu dimana na’asnya para Nabi. Misalnya tanggal 13 Sura (na’asnya Nabi Ibrahim yang dibakar oleh Raja Namrud), tanggal 3 Mulud (na’asnya Nabi Adam diturunkan ke bumi), tanggal 16 Rabi’ulakhir (na’asnya Nabi Yusuf tatkala dimasukkan ke dalam sumur), dan tanggal 24 Dzulkaidah (na’asnya Nabi Yunus tatkala dimakan ikan hiu).[5]
2)      Interelasi dalam aspek ritual.
       Agam Islam mengajarkan pemeluknya untuk melakukan rituall tertentu. Ritual yang dimaksud yaitu berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpan dalam rukun Islam. Khusus mengenai shalat dan puasa, selain berhukum wajib ada juga yang berhukum sunnah.
       Dalam budaya Jawa sering dilakukan upacara-upacara sebelum melakukan pekerjaan, atau tentang anak-anak dari yang masih dalam kandungan sampai setelah lahir, juga ketika kematian yang bertujuan untuk keselamatan. Namun secara luwes Islam memberi warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutran kenduren atau selametan. Yang berupa do’a bersama yang dipimpin oleh orang yang dianggap lebih berpengetahuan tentang Islam. Juga terdapat makan-makanan yang dihidangkan juga ada yang dibawa pulang (berkat). Yang makanannya disediakan oleh penyelenggara.
       Berkaitan tentang lingkaran hidup, terdapat berbagai jenis upacara, antara lain yaitu: upacara tingkeban atau mitoni, upacara kelahiran, upacara sunatan, upacara perkawinan, upacara kematian. Sementara upacara tahunan yaitu: muludan, rejeban, mi’radan, upacara nisfu sya’ban, nyadran, kupatan, dll.[6]
3)      Interelasi dalam aspek sastra.
       Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa bru, sedangkan puisi (tembang/ sekar macapat) dipaki untuk sarana memberikan petunjuk/ nasehat yang secara substansial merupakan petunjuk / nasihat yang bersumber pada ajaran Islam.
       Istilah interelasi dalam hal ini berarti Islam yang di-Jawaka, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walupun demikian, Islam tetap menonjol substansinya:
a. Unsur ketauhidan.
b. Unsur kebajikan.
       Sastra pesisiran sebagai bagian dari sastra Jaawa memiliki kaitan erat dengan perkembangan keagamaan karena pada dasarnya kehidupan keagamaan karena pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya tak dapat dilepaskan dari kerangka agama.
       Karya yang dianggap paling tua adalah naskah yng diidentifikasi berasal dari Tuban. Aspek Islam dari karya sastra tersebut terlihat pada garis besar berisi tentang ajaran tasawufnya al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, yaitu tasawuf yang bercorak sunni.[7]
       Dalam sastra Islam Kejawen unsur-unsur Islam terutama kearifan sufisme dan akaran budi luhurnya disadap oleh para sastrawan Jawa untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.[8]
4)      Interelasi dalam aspek politik.
       Menurut Legge agama Islam menjadi menarik bagi kota-kota pesisir dari dua segi. Di satu pihak sebagai lambang perlawanan terhadap Majapahit, di lain pihak, karena agama Islam sebagi alternatif terhadap keseluruhan pandangan dunia Hindu. “Islam membawa manusia berhadapan muka terhadap Allah tanpa harus ada perantara atau ritual yang ruwet. Islam mempunyai kesamaan yang sangat ampuh untuk mencairkan hirarkis masyarakat Majapahit.
       Agama Islam tanpa kegoncangan-kegoncangan besar dapat diterima dan dapat diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Dengan diterimanya agam Islam, kraton-kraton di pedalaman Jawa mulai unggul terhadap kesultanan-kesultanan di pesisir Utara. Pada akhir abad XVI Senapati dari Matarm berhasil memperluas pengaruhnya sampai ke Kediri. Jawa Tengah dengan mentalitas politiknya yang mengarah ke dlam kembali menjadi pusat kehidupan politik, budaya, dan ekonomi Jawa.
       D.H.Burger dalam bukunya Perubahan-perubahan Struktur Masyarakat Jawa yang dikutip dalam buku editan Drs. M. Darori Amin menulis baahwa struktur masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan yaitu para raja, bupati, kepala desa, dan rakyaat jelata. Raja menjadi kedudukan tertinggi. Raja dianggap sebagai wakil atau penjelmaan Tuhan. Konsep raja berakar dari kebudayaan Hindu, waalaupun pada zaman Mataram banyak konsep Islam, terutama dari segi mistik. Mistik Islam dijadikan dasar untuk menjelaskan hubungan antara rakyat dan raja. Menurut praktek mistik sufi, tujuan manusia yang tertinggi adalah untuk bersatu dengan Tuhan atau manunggaling kawula gusti.
       Inilah yang menyebabkan orang Jawa memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan rasional tetapi emosional. Oleh karena itu, kharisma lebih penting dari pada pemimpin rasional.
       Simbol sinkretisme politik Jawa-Islam tampak menyolok pada gelar raja-raja Jawa-Islam seperti gelar Sultan, kalifatullah sayyidin panatagama, tetunggul khalifatul Mu’min, susuhunan, dan sebagainya. Simbol sinkretisme politik Islam-Jawa juga terdapat pada raja-raja Yogya yang dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono. Istilah Sultan dari bahasa Arab Shultan yang berarti raja atau penguasa menjadi istilah dalam kerajaan-kerajaan Islam di Arab pada masa lalu. Suatu proses Islamisasi dengan cara yang amat arif, kultural, walaupun sinkretis.[9]
5)      Interelasi dalam aspek pendidikan.
       Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan di Jawa, tempat anak-anak muda belajar memperoleh pengetahuan keagamaan yang bertujuan mentransmisikan Islam tradisional. Pada sejarahnya telah ada lembaga pendidikan keagamaan yang serupa yaitu disebut mandala. Mandala sudah ada semenjak sebelum Majapahit. Fungsi lain dari mandala yaitu  semacam tempat komunitas orang suci dalam mempraktekan zuhud dalam beberapa waktu.
  
    Persamaan pesantren dengan mandala yaitu:
1.      Sama-sama memiliki lokasi yang jauh dari keramaian, pelosok desa, dan memperoleh hak istimewa dari penguasa.
2.      Sama-sama memiliki ikatan guru-murid.
3.      Menjalin komunikasi antardharma, yang serupa dengan perjalanan rohani atau lelana.[10]

 III.            KESIMPULAN
       Kebudayaan Jawa yang masih kental tentu saja masih melekat sampai saat ini kepada masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan yang sangat terhadap apa-apa yang diucapkan oleh sesepuh atau nenek moyang mereka. Tentu saja hal tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki nilai tersendiri dalam kehidupannya.
       Dapat kita pahami bahwa yang dimaksud di sini yaitu hubungan antara nilai Jawa dan Islam yang saling berkaitan dalam berbagai aspeknya, yaitu aspek kepercayaan, aspek ritual, aspek sastra,aspek politik, dan aspek pendidikan.






DAFTAR PUSTAKA
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Ridin Sofyan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.




[1] Ridin Sofyan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 17-18.
[2] Ibid. h. 31-32.
[3]  Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 121-123.      
[4] Ibid. h. 125-126.
[5] Ibid. h. 129.
[6] Ibid. h. 131-135.
[7] Ibid. h. 162.
[8] Ridin Sofyan dkk. op. cit. h. 37.
[9]  Darori Amin (ed). op. cit. h. 205-214.
[10] Ridin Sofyan dkk. op. cit. h. 95-100.

0 komentar:

Post a Comment