Interelasi Nilai
Jawa-Islam
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Dr. Rupi’i Amri, M. Ag
Disusun oleh :
Nur Laili Khoiriyah (122111107)
FAKULTAS SYARI’AH DAN
EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Kebudayaan Jawa yang
masih kental tentu saja masih melekat sampai saat ini kepada masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa memiliki keyakinan yang sangat terhadap apa-apa yang diucapkan
oleh sesepuh atau nenek moyang mereka. Tentu saja hal tersebut membuat
masyarakat Jawa memiliki nilai tersendiri dalam kehidupannya.
Nilai menurut bahasa
berarti konsep abstrak dalam diri manusia untuk membedakan yang baik dan yang
buruk. Sesuatu yang sudah mendarah daging dalam diri manusia tersebut. Yang
menjadi patokan dalam hidupnya.
Jawa yang sejarahnya
lebih dahulu Hindu-Budda yang masuk daripada Islam tentu memberikan bekas
tersendiri walaupun dapat menerima Islam bahkan berganti menjadi beragama
Islam. Keyakinan yang melekat pada diri orang Jawa ini dapat kita sebut sebagai
nilai Jawa.
Sedangkan Islam datang
tentu membawa nilai yang baru dan lebih baik dari sekedar nilai Jawa. Yang kita
tahu bahwa nilai Jawa sebenarnya cukup baik namun ada beberapa hal yang masih
kepada nilai Hindu-Buddha. Memberi nilai tersendiri yang memberikan kecerahan
dalam hidup masyarakat Jawa.
Namun, tanpa disadari
oleh kita bahwa pada dasarnya ada interelasi antara nilai Jawa dan Islam.
Maksud dari interelasi yaitu adanya hubungan satu sama lain diantara dua hal
tersebut. Kalau kita teliti lebih lanjut, bahkan banyak hal yang dapat
dihubungkan dari nilai Jawa dan Islam.
Tentu saja hal ini
menarik untuk dibahas lebih lanjut. Berikut yang akan kami paparkan dalam
makalah kami dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
arti dari interelasi?
2.
Seperti
apa interelasi antara nilai-nilai Islam dengan nilai Jawa?
3.
Apa
saja yang menjadi cakupan interelasi nilai Jawa dan nilai Islam?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Interelasi.
Interelasi dalam KBBI berarti hubungan satu sama lain. Dapat kita
pahami bahwa yang dimaksud di sini yaitu hubungan antara nilai Jawa dan Islam
yang saling berkaitan dalam berbagai aspeknya, yaitu aspek kepercayaan, aspek
ritual, aspek sastra,aspek politik, dan aspek pendidikan.
1.
Interelasi
antara Nilai-Nilai Islam dengan Nilai Jawa.
Sebenarnya bukan hanya
nilai Jawa yang mempunyai hubungan dengan nilai Islam, namun Hindu, Budha, dan
kepercayaan lama juga memiliki hubungan karena pada dasarnya semuanya bertumpu
pada satu titik. Semuanya kental pada nuansa
yang mistik.
Suku-suku bangsa
Indonesia sebelum kedatangan Hindu-Budha sudah memiliki kepercayaan yang sangat
kental yaitu animisme dan dinamisme dan hukum adat sebagai pranata kehidupan
sosial mereka. Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang mereka
telah hidup perskutuan-persekutuan desa yang teratur yang mungkin dibawah
pemerintahan atau kepala adat desa, walaupun masih dalam bentuk sederhana.
Animisme dan dinamisme
bersifat kenyal (elastis). Dengan demikian, dapat bertahan walaupun mendapat
pengaruh dan berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang
lebih maju. Keadaan ini memancing teori kekenyalan dan ketegaran kebudayaan
asli pribumi dan Indonesia khususnya kebudayaan Jawa.[1]
Meskipun masih
diperdebatkan kapan Islam masuk ke Jawa, namun Islamisasi besar-besaran baru
terjadi pada abad ke-15 dan ke-16 dengan ditandai jatuhnya Kerajaan Majapahit. Di Jawa penyebaran Islam harus
berhadapan dengan dua jenis lingkungan budaya Kejawen, yaitu lingkungan budaya
istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih dengan mengolah unsur-unsur
Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup dalam
kegelapan animisme-dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja yang terpengaruh
Hinduisme.[2]
2.
Cakupan
interelasi nilai Jawa dan nilai Islam.
1)
Interelasi
dalam aspek kepercayaan.
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya
tentu memiliki aspek fundamental, yakni kepercayaan atau keyakinan terutama
kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci, atau yang ghaib. Dalam
agama islam aspek fundamental itu dirumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan
sehingga terdapatlah rukun iman, yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus
dipercayai atau diimani oleh muslim. Yang termasuk dalam rukun iman adalah
percaya kepada Allah, para malaikat-Nya para Nabi-Nya, kitab-kitab suci-Nya,
hari kiamat, surga, dan neraka, dan percaya kepada qadla dan qadar, yakni
ketentuan tentang nasib baik ataau buruk dari SWT. Unsur-unsur keimanan itu
karena berjumlah enam disebut rukun iman yang enam . Namun demikian, di luar
semua itu masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus
dipercayai seperti percaya kepada adanya setan, iblis, syafa’at Nabi Muhammad
SAW, dan lain-lain.
Sementara itu, dalam budaya Jawa pra Islam
yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya
para dewata seperti Dewa Brahmana, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak
lagi para dewa. Demikian juga terdapat kepercayaan terhadap kitab-kitab suci,
orang-orang suci (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara),
hukum karma, dan hidup bahagia abadi (moksa). Pada agama Budha terdapat
kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha
(penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman
keinginan), dan marga (jalan kelepasan). Kelepasan yaang dimaksud adalah
Nirwana harus menempuh delapan jalan kebenaran, semacam rukun iman juga dalam
agama Budha. Meskipun semula agama ini tidak jelas konsep ketuhanannya, tetapi
dalam perkembangannya agama Budha juga percaya akan Tuhan yang disebut Sang
Hyang Adi Budha. Dari Sang Hyang Adi Budha memanifestasikan diri dalam berbagai
tingkatan Budha sehingga terdapat Budha Surga. Demikian juga Buddha Dunia
(Manusyi Budha) seperti Budha Gautama selaku penganjur agama ini (Harun
Hadiwijono, 1970: 28, 74-75). Adapun pada agama primitif sebagi agama sebelum
datangnya Hindu dan Budha berinti tentang kepercayaan tentang animisme daan
dinamisme.
Kepercayaan dari agama Hindu, Budha,
maupun kepercayaan animisme maupun dinamisme itulah yang dalam proses
perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam.
Pada aspek ketuhanan, prinsip
ketauhiidan telah berkelindan dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha
maupun primitif. Misalnya Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun
dalam asma’ul husna telah berubah menjadi Gusti Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq),
Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir),dan lain-lain. Nama-nam itu
bercampur dengan nama dari agama lain misalnya yaitu Hyang Maha Agung (Allahu
Akbar).[3]
Kaitannya dengan takdir, dalam budaya
jawa tampaknya telah terpengaruh oleh teologi jabariyah yaitu pasrah terhadap
garis hidup (narimo ing pandum). Namun, terdapat pula upaya-upaya
ikhtiari yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber primitif maupun
yang bersumber dari agama Hindu. Jika tentang hari buruk (na’as), orang
primitif akan melakukan ritual-ritual agar tidak terjadi kesialan, yang dalam
Hindu berupa sesaji-sesaji. Namun, dalam Islam berupa do’a meminta perlindungan
kepada Allah. Keduanya menjadi tradisi di kalangan kebanyakan orang Islam di
Jawa.
Roh jahat juga ada pada agama Islam,
Hindu, maupun primitif. Dalam Islam, roh jahat yaitu syaithan (setan),
dan sebagian jin. Kemudian dalam Hindu diantaranya Wrta, Raksa, dan
Picasa. Kepercayaan Jawa terhadap makhluk jahat yang berasal dari agama
Islam maupun agama Hindu tampaknya telah saling mengisi.[4]
Berkaitan dengan percaya terhadap para
Nabi, dalm Jawa berkaitan dengan hari na’as. Hari na’asnya yaitu waktu dimana
na’asnya para Nabi. Misalnya tanggal 13 Sura (na’asnya Nabi Ibrahim yang
dibakar oleh Raja Namrud), tanggal 3 Mulud (na’asnya Nabi Adam diturunkan ke
bumi), tanggal 16 Rabi’ulakhir (na’asnya Nabi Yusuf tatkala dimasukkan ke dalam
sumur), dan tanggal 24 Dzulkaidah (na’asnya Nabi Yunus tatkala dimakan ikan
hiu).[5]
2)
Interelasi
dalam aspek ritual.
Agam Islam mengajarkan pemeluknya untuk
melakukan rituall tertentu. Ritual yang dimaksud yaitu berbagai bentuk ibadah
sebagaimana yang tersimpan dalam rukun Islam. Khusus mengenai shalat dan puasa,
selain berhukum wajib ada juga yang berhukum sunnah.
Dalam budaya Jawa sering dilakukan
upacara-upacara sebelum melakukan pekerjaan, atau tentang anak-anak dari yang
masih dalam kandungan sampai setelah lahir, juga ketika kematian yang bertujuan
untuk keselamatan. Namun secara luwes Islam memberi warna baru pada
upacara-upacara itu dengan sebutran kenduren atau selametan. Yang berupa do’a
bersama yang dipimpin oleh orang yang dianggap lebih berpengetahuan tentang
Islam. Juga terdapat makan-makanan yang dihidangkan juga ada yang dibawa pulang
(berkat). Yang makanannya disediakan oleh penyelenggara.
Berkaitan tentang lingkaran hidup,
terdapat berbagai jenis upacara, antara lain yaitu: upacara tingkeban
atau mitoni, upacara kelahiran, upacara sunatan, upacara perkawinan,
upacara kematian. Sementara upacara tahunan yaitu: muludan, rejeban,
mi’radan, upacara nisfu sya’ban, nyadran, kupatan,
dll.[6]
3)
Interelasi
dalam aspek sastra.
Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa bru, sedangkan puisi
(tembang/ sekar macapat) dipaki untuk sarana memberikan petunjuk/ nasehat yang
secara substansial merupakan petunjuk / nasihat yang bersumber pada ajaran
Islam.
Istilah interelasi dalam hal ini berarti
Islam yang di-Jawaka, sedangkan Jawa di-Islamkan. Walupun demikian, Islam tetap
menonjol substansinya:
a.
Unsur ketauhidan.
b.
Unsur kebajikan.
Sastra pesisiran sebagai bagian dari
sastra Jaawa memiliki kaitan erat dengan perkembangan keagamaan karena pada
dasarnya kehidupan keagamaan karena pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya tak dapat dilepaskan dari kerangka agama.
Karya yang dianggap paling tua adalah
naskah yng diidentifikasi berasal dari Tuban. Aspek Islam dari karya sastra
tersebut terlihat pada garis besar berisi tentang ajaran tasawufnya al-Ghazali
dan Junaid al-Baghdadi, yaitu tasawuf yang bercorak sunni.[7]
Dalam sastra Islam Kejawen unsur-unsur
Islam terutama kearifan sufisme dan akaran budi luhurnya disadap oleh para
sastrawan Jawa untuk mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra
Jawa zaman Hindu.[8]
4)
Interelasi
dalam aspek politik.
Menurut Legge agama Islam menjadi menarik
bagi kota-kota pesisir dari dua segi. Di satu pihak sebagai lambang perlawanan
terhadap Majapahit, di lain pihak, karena agama Islam sebagi alternatif
terhadap keseluruhan pandangan dunia Hindu. “Islam membawa manusia berhadapan
muka terhadap Allah tanpa harus ada perantara atau ritual yang ruwet. Islam
mempunyai kesamaan yang sangat ampuh untuk mencairkan hirarkis masyarakat
Majapahit.
Agama Islam tanpa
kegoncangan-kegoncangan besar dapat diterima dan dapat diintegrasikan ke dalam
pola budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Dengan diterimanya agam Islam,
kraton-kraton di pedalaman Jawa mulai unggul terhadap kesultanan-kesultanan di
pesisir Utara. Pada akhir abad XVI Senapati dari Matarm berhasil memperluas
pengaruhnya sampai ke Kediri. Jawa Tengah dengan mentalitas politiknya yang
mengarah ke dlam kembali menjadi pusat kehidupan politik, budaya, dan ekonomi
Jawa.
D.H.Burger dalam bukunya Perubahan-perubahan
Struktur Masyarakat Jawa yang dikutip dalam buku editan Drs. M. Darori Amin
menulis baahwa struktur masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan yaitu para
raja, bupati, kepala desa, dan rakyaat jelata. Raja menjadi kedudukan
tertinggi. Raja dianggap sebagai wakil atau penjelmaan Tuhan. Konsep raja
berakar dari kebudayaan Hindu, waalaupun pada zaman Mataram banyak konsep
Islam, terutama dari segi mistik. Mistik Islam dijadikan dasar untuk
menjelaskan hubungan antara rakyat dan raja. Menurut praktek mistik sufi,
tujuan manusia yang tertinggi adalah untuk bersatu dengan Tuhan atau manunggaling
kawula gusti.
Inilah yang menyebabkan orang Jawa
memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan rasional tetapi emosional. Oleh
karena itu, kharisma lebih penting dari pada pemimpin rasional.
Simbol sinkretisme politik Jawa-Islam
tampak menyolok pada gelar raja-raja Jawa-Islam seperti gelar Sultan,
kalifatullah sayyidin panatagama, tetunggul khalifatul Mu’min, susuhunan, dan
sebagainya. Simbol sinkretisme politik Islam-Jawa juga terdapat pada raja-raja
Yogya yang dipegang Sri Sultan Hamengkubuwono. Istilah Sultan dari bahasa Arab
Shultan yang berarti raja atau penguasa menjadi istilah dalam kerajaan-kerajaan
Islam di Arab pada masa lalu. Suatu proses Islamisasi dengan cara yang amat
arif, kultural, walaupun sinkretis.[9]
5)
Interelasi
dalam aspek pendidikan.
Pesantren adalah lembaga pendidikan
keagamaan di Jawa, tempat anak-anak muda belajar memperoleh pengetahuan
keagamaan yang bertujuan mentransmisikan Islam tradisional. Pada sejarahnya
telah ada lembaga pendidikan keagamaan yang serupa yaitu disebut mandala.
Mandala sudah ada semenjak sebelum Majapahit. Fungsi lain dari mandala
yaitu semacam tempat komunitas orang
suci dalam mempraktekan zuhud dalam beberapa waktu.
Persamaan pesantren dengan mandala yaitu:
1.
Sama-sama
memiliki lokasi yang jauh dari keramaian, pelosok desa, dan memperoleh hak
istimewa dari penguasa.
2.
Sama-sama
memiliki ikatan guru-murid.
3.
Menjalin
komunikasi antardharma, yang serupa dengan perjalanan rohani atau lelana.[10]
III.
KESIMPULAN
Kebudayaan Jawa yang masih kental tentu
saja masih melekat sampai saat ini kepada masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa
memiliki keyakinan yang sangat terhadap apa-apa yang diucapkan oleh sesepuh
atau nenek moyang mereka. Tentu saja hal tersebut membuat masyarakat Jawa
memiliki nilai tersendiri dalam kehidupannya.
Dapat kita pahami
bahwa yang dimaksud di sini yaitu hubungan antara nilai Jawa dan Islam yang
saling berkaitan dalam berbagai aspeknya, yaitu aspek kepercayaan, aspek
ritual, aspek sastra,aspek politik, dan aspek pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2000.
Ridin Sofyan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2004.
[1] Ridin Sofyan
dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama Media,
2004), h. 17-18.
[2] Ibid.
h. 31-32.
[3] Darori Amin (ed), Islam dan Kebudayaan
Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 121-123.
[4] Ibid.
h. 125-126.
[5] Ibid.
h. 129.
[6] Ibid.
h. 131-135.
[7] Ibid.
h. 162.
[8] Ridin
Sofyan dkk. op. cit. h. 37.
[9] Darori Amin (ed). op. cit. h. 205-214.
[10] Ridin
Sofyan dkk. op. cit. h. 95-100.
0 komentar:
Post a Comment