PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID, YAHYA
BIN UMAR DAN AL-MAWARDI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Sejarah
Ekonomi Islam
DosenPengampu: Iman
Fadhilah. M, Si
DisusunOleh :
Ahmad Rohmatullah (1405015 )
Agustina Ikasari (1405015153)
Bagus Widodo (1405015118)
Shofiatul Maghfiroh (1405015145)
Tatang turhamun (1405015198)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016/ 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu
pengetahuan modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang ekonomi
Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammmad Saw.
Karena rujukan utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka pemikiran
ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan ditunkannya Alquran dan masa
kehidupan Rasulullah Saw. , pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah
masa tersebut banyak sarjama muslim yang memeberikan kontribusi karya pemikiran
ekonomi.
Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu
memiliki dasar argumentasi relijius dan sekaligus intelektual yang kuat serta
-kebanyakan- didukung oleh fakta empiris pada waktu itu. Banyak di antaranya
juga sangat futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya ratusan
abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi
khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa dimana Barat masih dalam kegelapan
(dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan
dalan berbagai bidang. Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi
dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup
manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam
hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan.
Setiap masa manusia mencari cara untuk
mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak
terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki
konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai
permasalahan ekonomi yang ada saat ini. Oleh karena itu salah satu hal yang
mendasari dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi
yang tersistematik yang pernah dilakukan pada zaman nabi Muhammad yang
merupakan zaman awal kegemilangan Institusi Islam sebelum hancur di tahun 1924.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid?
2.
Bagaimana Pemikiran Ekonomi Yahya bin
Umar?
3.
Bagaimana Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi?
,
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Ekonomi
Abu Ubaid (150-224 H)
1. Biografi Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin
Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi[1],
dilahirkan di bahran (harat), di provinsi khurasan (barat laut afganistan) pada
tahun 154 H dari ayah keturunan byzantium maula dari suku azd. Nama aslinya
al-qosim ibnu salam ibnu miskin ibnu zaid al-azdhi dan wafat pada tahun 224 H
di mekkah.
Ia belajar pertama kali di kota asalnya,
lalu pada usia 20-an beliau pergi ke kufah, basrah dan baghdad untuk belajar
tata bahasa arab, Qiro’ah, tafsir, hadist dan fiqih ( dimana tidak ada satu
bidangpun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari faham tengah campuran). Setelah
ia kembali ke khurasan ia mengajar dua anak
yang berpengaruh. Pada tahun 192 H. Thabit ibnu sasr ibnu malik (
gubernur yang di tunjuk harun al rosyid untuk wilayah thuhur) menunjuknya
sebagai qira’ di tursus sampe 210 H. Setelah itu ia tinggal di baghdad selama
10 tahun, pada tahun 219 H setelah berhaji ia tinggal di makkah sampai
wafatnya.
Pada pandangan imam ibnu hambal “ ibnu
ubaid adalah orang yang setiap hari bertambah kebaikannya”. Menurut abu bakar
ibnu al-anbari “ Abu Ubaid membagi malam nya menjadi tiga bagian, 1/3 untuk
tidur, 1/3 untuk sholat malam dan 1/3 malam nya lagi untuk mengarang”. Bagi
ibnu ubaid satu hari mengarang itu lebih baik dari pada menggoreskan pedang di
jalan alloh. Menurut ishaq Abu Ubaid itu yang terpandai di antara aku, ahmad
bin hambal dan syafi’i. Dari pendapat pendapat tersebut telihat bahwa Abu Ubaid
cukup diperhitungkan dan mempunyai reputasi tinggi di antara ulama’ di masanya.
Ia hidup semasa dengan imam besar seperti imam syafi’i dan imam hambali.
Kesejajaran ini membuat imam ibnu ubaid menjadi mujtahid mandiri dalam arti
tidak dapat diidentikkan dengan suatu mazhab tertentu.
Pada masa pemerintahan abbasiyah ini
merupakan puncak kegemilangan umat Islam atau masa renaisance. Sebagaimana di
ketahui pemikiran pemikiran daulah abbasiyah di bangun oleh abu al-abbas dan
abu ja’far al-mansyur. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh
kholifah sesudahnya yaitu al-mahdi (775-785M), al-hadi (775-786M), Harun
al-rosyid (786-809M), al-makmun
(813-833M), Al mu’tasyim (833-842M), al wasiq (842-847M), al mutawakkil
(847-861M). Pada masa almahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya
hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashroh menjadi
pelabuhan yang penting. Baghdad merrupakan kota yang kosmopolit saat itu,
penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.[2]
2. Pandangan ekonomi Abu
Ubaid
a. Filosofi hukum dari
sisi ekonomi
Abu
ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama, baginya pengimplementasian
dari perinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Ia
memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak hak individual, publik, dan negara.
b. Dikotomi baduwi
(masyarakat tradisional/desa) ke urban
Abu
ubaid menegaskan bahwa perbedaan kaum baduwi dan kaum urban yaitu: 1. Ikut
terhadap keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban administrasi dari
semua muslim. 2. Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi
jiwa dan harta mereka. 3. Menggalakan pendidikan dan pengajaran melalui
pembelajaran dan pengajaran al quran dan assunnah dengan diseminasi (
penyebaran) keunggulan keualitas isinya. 4. Melakukan kontribusi terhadap
keselarasan sosial melelui pembelajaran dan penerimaan hudud. 5. Memberikan
contoh universalisme islam dengan sholat berjamaah pada waktu jumat dan idd.
c. Kepemilikan dalam
pandangan kebijakan perbaikan pertanian
Menurut
Abu Ubaid kebijakan pemerintahan seperti iqta’ terhadap tanah guru dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan
individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang di usahakan kesuburannya
atau di perbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka
tanah yang di berikan dengan persyaratan untuk di tanami untuk di bebaskan dari kewajiban membayar pajak.jadi menurut
Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput pengembalaan dan
tambang minyak tidak boleh di monopoli seperti tanaman pribadi.
d. Pertimbangan
Kebutuhan
Bagi
Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapa pun
besarnya serta bagaimana menyalamatkan orang orang dari kelaparan dan
kekurangn.
e. Fungsi uang
Abu
Ubaid mengakuai adanya dua fungsi uang yng tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai
standar dari nilai pertukaran dan sebagai media pertukaran.[3]
B.
Pemikiran Ekonomi
Yahya bin Umar (213-289 H)
1. Biografi Yahya Bin
Umar
Yahyabin Umar merupakan salah seorang
fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin
Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di kordova,
Spanyol.[4]
Seperti para cendikiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri
untuk menuntut ilmu. Pada mulanya ia bersinggah di Mesir berguru kepada para
pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al- Qasim, setelah itu
pergi ke Hijaj dan berguru, diantaranya yaitu berguru kepada Abu Mus’ab
Az-Zuhri. Akhirnya Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan
menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu
Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.
Perkembangan selanjutnya ia menjadi
pelajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ia terjadi konflik yang
menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh
persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan Yahya bin Umar terpaksa
pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha
menyingkirkan para ulama penentangnya. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari
jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap
tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ al-Sabt hungga akhir hayatnya. Yahya
bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).[5]
2. Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada
Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian islam, sekaligus factor
utama yang membedaan Ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena
itu, disamping al-Qur’an, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan
mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad
SAW dalamm melakukan setiap aktivitas ekonominya.
Seperti yang telah disinggunmg, focus
perhatianYahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapanharga). Penetapanharga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam
kitab Ahkam al-suq. Terkait dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat
bahwa al-ta’ir (penetapanharga) tidak
boleh dilakukan . Ia berhujjah dengan dengan berbagai hadist Nabi Muhammad SAW, antar lain:
Dari Annas bin Malik, ia berkata: “telah
melonjak harga (di pasar) pada masa Rosululloh SAW. Mereka (para sahabat)
berkata: ”wahai Rosululloh, tetapkanlah harga kami.” Rosululloh menjawab:
“sesungguhnya Allahlah yang menguasai (harga), yang memberi rizki, yang
memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan
Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman
dan persolan jiwa dan harta. “ (Riwayat Abu Daud)
Dari hadist diatas tampak jelas bahwa
Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga(tab’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil
interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal
demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam intervensi harga. Hal ini akan
berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh manusia (human error). Pemerintah, sebagai institui formal memiliki tanggungjawab menciuptakan kesejahteraan
umum, tidak melakukan intervensiharga ketika
terjadi aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas. Yahya bin
umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
a. Para pedagang tidak
memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan mesyatakat,
sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme
pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut
dari pasar serta menggantikanya dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan
dan kemanfaatan umum.
b. Para pedagang melakukan
praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas
harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang
tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang ebrlaku di
pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang dari
pasar. Hal ini pernah dipraktikan Umar bin Khatab ketika seorang pedagang
kismismenjual barang daganganya dibawah harga pasar. Ia memberikan pilihan
kepada pedagang tersebut, apakah menaikan harga sesuai yang berlaku atau
berbeda dengan pasar.
Pernyataan yahya bin Umar tersebut jelas
mengindikasikan bahwaa hukum asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi
daapat dilakukan jika kesejahteraan masyarakat umum terancam. Hal ini
sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan
sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk ekonomi. Di samping itu,
pendapatnya yang melarang praktik penetapan harga tersebut sekaligus
menunjukkan yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan
kepemilikan.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti
bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supplay)
dan permintaan (demand). Namun Yahya bin Umar menambahkan bahwa
mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah
tersebut adalah pwemerintah berhak melakukan intervensi ketika tindakan
sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulakan kemudharatan bagi masyrarakat, termasuk ikhtikar dan
dumping. Dalam hal ini pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan
itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap pelaku
tersebut adalah berupa larangan melakukan aaktivitas di pasar, bukan berupa
hubungan maliyah. Menurut Dr. Rifa’at
al-Aududi, pernytaan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk
mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan
untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan.
Tentang ikhtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnyaa kemudharatan terhadap masyarakat
merupakan syarat pelanggaran penimbunan barang. Apabilahal tersebutterjadi,
barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil
penjualan ini ndisedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ikhtikar. Adapun para pelaku ikhtikar itu sendiri hanya berhak
mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingatkan para
pelaku ikhtikar agar tidak mengulang
perbuatanya. Apabila mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah
berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan
memenjarannya.
Dengan demikian, dalam ksus kenaikan
harga akibat ulah manusia, seperti ikhtikar
dan dumping, kebijakan yang
diambil pemerintah adalh mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini berarti juga bahwa dalam ekoonomi islam,
undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan
hak-hak masyarakay yang dapat meningkatkan kesejaahteraan hidup mereka secara
keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara
semena-mena. [6]
C.
Pemikiran Ekonomi
Al-Mawardi
1. Biografi Al-Mawardi
Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di kota Basrah pada tahun 364 H (974 M).
Setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia
berkelana ke berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh
besar mazhab Syafi’i ini dipercaya memangku jabatan qadhi (hakim) diberbagai negeri secara bergantian. Setelah itu
Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian di angkat
sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim bi Amrillah
Al-Abbasi.
Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi
tetap aktif mengajar dan menulis. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi berbagai bidang
kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Amtsal wa
al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab, ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah
al-Maliki, Nashihat al-Muluk, al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al-‘Uyun,
dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah
al-MalikI. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga
tersebut, Al-Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H (1058
M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.
2. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi tersebar
paling tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu kitab Adab ad-Daudnya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku
ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu
pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya, Al-dan Industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya,
Al-Mawardi secara Khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai
mazhab. Dalam Kitab al-Ahkam
as-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan
administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap
rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran negara, serta
institusi hisbah.[7]
Penulis al-Ahkam al-Shilthaniyyah adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang
menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara
urusan dunia dan agama atau urusan spiritual
dan temporal. Jika diamati dalam karyanya yaitu tugas dan fungsi pemerintah
dan negara yang dibebankan di atas kepala negara adalah untuk mensejahterakan
rakyatnya, baik secara spiritual,
ekonomi, politik dan hak-hak individual secara berimbang dengan hak Allah atau
hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lallu
lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa,
distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu
ekonomi.[8]
Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan
Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki peran aktif demi terealisasikannya
tujuan material dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam
membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan
masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib
mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena
setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan
demikian layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar kepada
kepentingan umum.[9]
Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik,
masalah perpajakan juga tidak laput dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya
penilaian atas kharaj harus
bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam
membayar pajak, yaitu kesuburan tanah jenis tanaman dan sistem irigasi.
Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk
menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah
Islam, yaitu:
a. Metode Misahah, yaitu metode penerapan kharaj berdasarkan ukran tanah. Metode
ini merupakan fixed tax, terlepas
dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang
bisa ditanami.
b. Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang
ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk
dalam penilaian objek kharaj.
c. Metode Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan presentase dari hasil
produksi. Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa
panen.
Baitul Mal
Al-Mawardi mengatakan bahwa untuk
membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap wrganya,
negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara
permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negara dari berbagai sumber akan
disimpan dalam pos terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya
masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta
Baitul Ma, Al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak
mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakan, pemerintah dapat
meminjam uang belanja tersebut dari pos lain. Ia juga menyatakan bahwa
pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan
kebutuhan publiknya masing-masing.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Abu Ubaid dalam hal
ekonomi memandang dari berbagai perpektif, diantaranya yaitu:
a. Filosofi hukum dari
sisi ekonomi
b. Dikotomi baduwi
(masyarakat tradisional/desa) ke urban
c. Kepemilikan dalam
pandangan kebijakan perbaikan pertanian
d. Pertimbangan
Kebutuhan
e. Fungsi uang
Yahya bin Umar melarang kebijakan
penetapan harga (tab’ir) jika
kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan
permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian pemerintah tidak
mempunyai hak dalam intervensi harga. Yahya bin umar menyatakan bahwa
pemerintah tidak boleh melakukan intervensi,
kecuali dalam dua hal, yaitu:
c. Para pedagang tidak
memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan mesyatakat,
sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme
pasar.
d. Para pedagang
melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang
dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas
harga pasar.
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib
mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena
setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan
demikian layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar kepada
kepentingan umum. Diantaranya yaitu:
a. Negara dan Aktivitas
Ekonomi
b. Perpajakan
c.
Baitul Mal
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak
kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah
selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
Karim, Adiwarman,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010 Jilid Kedua.
Azwar,
Karim, Adiwarman,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010 Jilid Ketiga.
Nur Chamid, Jejak
Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
[1]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, Jilid Kedua, hlm. 242.
[2]
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran
Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 175-177.
[3]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 271-280.
[4]
Ibid., hlm. 261.
[5]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jilid Kedua, hlm. 261-262.
[6]
Ibid., hlm. 285-289.
[7]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Jilid Ketiga, hlm. 301-302.
[8]
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran
Ekonomi Islam, hlm. 216.
[9]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 302-304.
[10]
Ibid., hlm. 306-309.
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
ReplyDeleteHarga Kaos Dakwah
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya