Monday, 12 December 2016

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID, YAHYA BIN UMAR DAN AL-MAWARDI



PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID, YAHYA BIN UMAR DAN AL-MAWARDI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Ekonomi Islam
DosenPengampu: Iman Fadhilah. M, Si

DisusunOleh :
Ahmad Rohmatullah                           (1405015      )
Agustina Ikasari                                  (1405015153)
Bagus Widodo                                    (1405015118)
Shofiatul Maghfiroh                           (1405015145)
Tatang turhamun                                 (1405015198)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016/ 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu ekonomi islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul pada 1970-an. tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammmad Saw. Karena rujukan utama pemikiran islami adalah Alquran dan Hadits maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan ditunkannya Alquran dan masa kehidupan Rasulullah Saw. , pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut banyak sarjama muslim yang memeberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi.
Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi relijius dan sekaligus intelektual yang kuat serta -kebanyakan- didukung oleh fakta empiris pada waktu itu. Banyak di antaranya juga sangat futuristik di mana pemikir-pemikir Barat baru mengkajinya ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa dimana Barat masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalan berbagai bidang. Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan.
Setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai permasalahan ekonomi yang ada saat ini. Oleh karena itu salah satu hal yang mendasari dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang tersistematik yang pernah dilakukan pada zaman nabi Muhammad yang merupakan zaman awal kegemilangan Institusi Islam sebelum hancur di tahun 1924.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid?
2.      Bagaimana Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar?
3.      Bagaimana Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi?
,



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)
1.      Biografi Abu Ubaid
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi[1], dilahirkan di bahran (harat), di provinsi khurasan (barat laut afganistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan byzantium maula dari suku azd. Nama aslinya al-qosim ibnu salam ibnu miskin ibnu zaid al-azdhi dan wafat pada tahun 224 H di mekkah.
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an beliau pergi ke kufah, basrah dan baghdad untuk belajar tata bahasa arab, Qiro’ah, tafsir, hadist dan fiqih ( dimana tidak ada satu bidangpun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari faham tengah campuran). Setelah ia kembali ke khurasan ia mengajar dua anak  yang berpengaruh. Pada tahun 192 H. Thabit ibnu sasr ibnu malik ( gubernur yang di tunjuk harun al rosyid untuk wilayah thuhur) menunjuknya sebagai qira’ di tursus sampe 210 H. Setelah itu ia tinggal di baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H setelah berhaji ia tinggal di makkah sampai wafatnya.
Pada pandangan imam ibnu hambal “ ibnu ubaid adalah orang yang setiap hari bertambah kebaikannya”. Menurut abu bakar ibnu al-anbari “ Abu Ubaid membagi malam nya menjadi tiga bagian, 1/3 untuk tidur, 1/3 untuk sholat malam dan 1/3 malam nya lagi untuk mengarang”. Bagi ibnu ubaid satu hari mengarang itu lebih baik dari pada menggoreskan pedang di jalan alloh. Menurut ishaq Abu Ubaid itu yang terpandai di antara aku, ahmad bin hambal dan syafi’i. Dari pendapat pendapat tersebut telihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan mempunyai reputasi tinggi di antara ulama’ di masanya. Ia hidup semasa dengan imam besar seperti imam syafi’i dan imam hambali. Kesejajaran ini membuat imam ibnu ubaid menjadi mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan dengan suatu mazhab tertentu.
Pada masa pemerintahan abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan umat Islam atau masa renaisance. Sebagaimana di ketahui pemikiran pemikiran daulah abbasiyah di bangun oleh abu al-abbas dan abu ja’far al-mansyur. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh kholifah sesudahnya yaitu al-mahdi (775-785M), al-hadi (775-786M), Harun al-rosyid (786-809M),  al-makmun (813-833M), Al mu’tasyim (833-842M), al wasiq (842-847M), al mutawakkil (847-861M). Pada masa almahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashroh menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merrupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.[2]
2.      Pandangan ekonomi Abu Ubaid
a.       Filosofi hukum dari sisi ekonomi
Abu ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama, baginya pengimplementasian dari perinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak hak individual, publik, dan negara.
b.      Dikotomi baduwi (masyarakat tradisional/desa) ke urban
Abu ubaid menegaskan bahwa perbedaan kaum baduwi dan kaum urban yaitu: 1. Ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban administrasi dari semua muslim. 2. Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka. 3. Menggalakan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al quran dan assunnah dengan diseminasi ( penyebaran) keunggulan keualitas isinya. 4. Melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melelui pembelajaran dan penerimaan hudud. 5. Memberikan contoh universalisme islam dengan sholat berjamaah pada waktu jumat dan idd.
c.       Kepemilikan dalam pandangan kebijakan perbaikan pertanian
Menurut Abu Ubaid kebijakan pemerintahan seperti iqta’ terhadap tanah guru dan  deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang di usahakan kesuburannya atau di perbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang di berikan dengan persyaratan untuk di tanami untuk di bebaskan  dari kewajiban membayar pajak.jadi menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput pengembalaan dan tambang minyak tidak boleh di monopoli seperti tanaman pribadi.
d.      Pertimbangan Kebutuhan
Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapa pun besarnya serta bagaimana menyalamatkan orang orang dari kelaparan dan kekurangn.
e.       Fungsi uang
Abu Ubaid mengakuai adanya dua fungsi uang yng tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran dan sebagai media pertukaran.[3]

B.     Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar (213-289 H)
1.      Biografi Yahya Bin Umar
Yahyabin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di kordova, Spanyol.[4] Seperti para cendikiawan Muslim terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya ia bersinggah di Mesir berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al- Qasim, setelah itu pergi ke Hijaj dan berguru, diantaranya yaitu berguru kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Akhirnya Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.
Perkembangan selanjutnya ia menjadi pelajar di Jami’ Al-Qairuwan. Pada masa hidupnya ia terjadi konflik yang menajam antara fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya. Setelah Ibnu ‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ al-Sabt hungga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).[5]
2.      Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas  dalam perekonomian islam, sekaligus factor utama yang membedaan Ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, disamping al-Qur’an, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi  Muhammad SAW dalamm melakukan setiap aktivitas ekonominya. 
Seperti yang telah disinggunmg, focus perhatianYahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapanharga). Penetapanharga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-suq. Terkait dengan hal tersebut, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-ta’ir (penetapanharga) tidak boleh dilakukan . Ia berhujjah dengan dengan berbagai hadist Nabi Muhammad SAW, antar lain:
Dari Annas bin Malik, ia berkata: “telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rosululloh SAW. Mereka (para sahabat) berkata: ”wahai Rosululloh, tetapkanlah harga kami.” Rosululloh menjawab: “sesungguhnya Allahlah yang menguasai (harga), yang memberi rizki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dan persolan jiwa dan harta. “ (Riwayat Abu Daud)
Dari hadist diatas tampak jelas bahwa Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga(tab’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam intervensi harga. Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh manusia (human error). Pemerintah, sebagai institui formal memiliki tanggungjawab menciuptakan kesejahteraan umum, tidak melakukan intervensiharga ketika terjadi aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas. Yahya bin umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
a.       Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikanya dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
b.      Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang ebrlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang dari pasar. Hal ini pernah dipraktikan Umar bin Khatab ketika seorang pedagang kismismenjual barang daganganya dibawah harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah menaikan harga sesuai yang berlaku atau berbeda dengan pasar.
Pernyataan yahya bin Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwaa hukum asal intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi daapat dilakukan jika kesejahteraan masyarakat umum terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang melarang praktik penetapan harga tersebut sekaligus menunjukkan yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi, termasuk kebebasan kepemilikan.
Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supplay) dan permintaan (demand). Namun Yahya bin Umar menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah pwemerintah berhak melakukan intervensi ketika tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulakan kemudharatan  bagi masyrarakat, termasuk ikhtikar dan dumping. Dalam hal ini pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan terhadap pelaku tersebut adalah berupa larangan melakukan aaktivitas di pasar, bukan berupa hubungan maliyah. Menurut Dr. Rifa’at al-Aududi, pernytaan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Tentang ikhtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnyaa kemudharatan terhadap masyarakat merupakan syarat pelanggaran penimbunan barang. Apabilahal tersebutterjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini ndisedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ikhtikar. Adapun para pelaku ikhtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingatkan para pelaku ikhtikar agar tidak mengulang perbuatanya. Apabila mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarannya.
Dengan demikian, dalam ksus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti ikhtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalh mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini berarti juga bahwa dalam ekoonomi islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakay yang dapat meningkatkan kesejaahteraan hidup mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara semena-mena. [6]

C.    Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi
1.      Biografi Al-Mawardi
Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’i lahir di kota Basrah pada tahun 364 H (974 M). Setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab Syafi’i ini dipercaya memangku jabatan qadhi (hakim) diberbagai negeri secara bergantian. Setelah itu Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian di angkat sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim bi Amrillah Al-Abbasi.
Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Sejumlah besar  karya ilmiah yang meliputi berbagai bidang kajian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab, ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah al-Maliki, Nashihat al-Muluk, al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al-‘Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-MalikI. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut, Al-Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.

2.      Pemikiran Ekonomi
Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu kitab Adab ad-Daudnya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya, Al-dan Industri. Dalam kitab al-Hawi, di salah satu bagiannya, Al-Mawardi secara Khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara Islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga negara, penerimaan dan pengeluaran negara, serta institusi hisbah.[7]
Penulis al-Ahkam al-Shilthaniyyah adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan temporal. Jika diamati dalam karyanya yaitu tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas kepala negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, baik secara spiritual, ekonomi, politik dan hak-hak individual secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lallu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.[8]

Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki peran aktif demi terealisasikannya tujuan material dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar kepada kepentingan umum.[9]




Perpajakan
Sebagaimana trend  pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak laput dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya penilaian atas kharaj harus bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah jenis tanaman dan sistem irigasi.
Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
a.       Metode Misahah, yaitu metode penerapan kharaj berdasarkan ukran tanah. Metode ini merupakan fixed tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b.      Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek kharaj.
c.       Metode Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi. Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.

Baitul Mal
Al-Mawardi mengatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap wrganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Ma, Al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakan, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos lain. Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing.[10]



BAB III
                                                                  PENUTUP             
A.    Kesimpulan
Abu Ubaid dalam hal ekonomi memandang dari berbagai perpektif, diantaranya yaitu:
a.       Filosofi hukum dari sisi ekonomi
b.      Dikotomi baduwi (masyarakat tradisional/desa) ke urban
c.       Kepemilikan dalam pandangan kebijakan perbaikan pertanian
d.      Pertimbangan Kebutuhan
e.       Fungsi uang
Yahya bin Umar melarang kebijakan penetapan harga (tab’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian pemerintah tidak mempunyai hak dalam intervensi harga. Yahya bin umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi, kecuali dalam dua hal, yaitu:
c.       Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentu yang sangat dibutuhkan mesyatakat, sehingga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme pasar.
d.      Para pedagang melakukan praktik siyasah al-iqraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar.
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik, karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian layanan publik merupakan kewajiban sosial dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Diantaranya yaitu:
a.       Negara dan Aktivitas Ekonomi
b.      Perpajakan
c.       Baitul Mal


B.     Saran
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita. Amin.



















DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010 Jilid Kedua.
Azwar, Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010 Jilid Ketiga.
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.






[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, Jilid Kedua, hlm. 242.
[2] Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 175-177.
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 271-280.
[4] Ibid., hlm. 261.
[5] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Kedua, hlm. 261-262.
[6] Ibid., hlm. 285-289.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 301-302.
[8] Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 216.
[9] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jilid Ketiga, hlm. 302-304.
[10] Ibid., hlm. 306-309.

1 comment:

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Harga Kaos Dakwah

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya

    ReplyDelete