Sunday, 25 December 2016

TAFSIR AL MISBAH SURAT AT-TAUBAH AYAT 60

Tafsir Al Misbah Surat At-Taubah Ayat 60



“Sesungguhnya zakat-zakat hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, para mu’allaf, serta untuk para hamba sahaya, orang-orang yang berutang, dan pada sabilillah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu keteapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
       Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapat zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara sangat singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
       Para ukama berdasar sekian banyak teks keagamaan menetapkan sekian syarat bagi fakir dan miskin yang berhak menerima zakat. Tentu saja ketidakmampuan tersebut mencakup sekian banyak penyebab, baik karena tidak ada lapangan pekerjaan maupun kualifikasi atau kemampuan yang dimilikinya tidak memadai untuk menghasilkan kecukupannya bersama siapa yang berada dalam tanggungannya.
       Bahasan para pakar hukum menyangkut “pengelola-pengelolanya” juga beragam. Namun yang jelas, mereka adalah yang melakukan pengelolaan terhadap zakat, baik mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, meupun membagi dan mengantarnya kepada mereka.
       Kata ‘alaiha memberi kesan bahwa para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan sungguh-sungguh dan mengakibatkan keletihan. Ini karena kata ‘ala mengandung makna penguasaan dan kemantapan atas sesuatu. Penggunaan rangkaian kedua kata itu untuk menunjuk para pengelola memberi kesan bahwa mereka berhak memeroleh bagian dari zakat karena dua hal. Pertama, karena upaya mereka yang berat, dan kedua, karena upaya tersebut mencakup kepentingan sedekah.
       Berapa bagian dari zakat buat para pengelola zakat itu menurut Imam Syafi’i adalah seperdelapan, sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagian mereka disesuaikan dengan kerja mereka. Ada pendapat yang lebih baik, yaitu tidak diambil dari zakat yang terkumpul tetapi dari kas negara.
       Kemudian kata al-mu’allafah qulubuhum yang berarti yang dijinakkan hati mereka. Ada sekian macam yang dapat ditampung oleh kelompok ini. garis besarnya dapat dibagi dua. Pertama orang kafir, dan yang kedua muslim. Yang pertama terbagi dua, yaitu yang memiliki kecenderungan memeluk Islam maka mereka dibantu, dan yang kedua mereka yang dikhawatirkan gangguannya terhadap Islam dan umatnya. Keduanya tidak diberi dari zakat, tetapi dari rampasan perang.
       Adapun yang muslim, mereka terdiri dari sekian macam. Pertama, mereka yang belum mantap imannya diharapkan bila diberi akan menjadi lebih mantap. Kedua, mereka yang mempunyai kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dan diharapkan dengan memberinya akan berdampak positif terhadap yang lain. Buat kedua macam ini, ulama berbeda pendapat. Ada yang setuju memberi mereka dari zakat, ada juga yang tidak setuju memberinya tapi bukan dari sumber zakat. Ketiga, mereka yang diberi dengan harapan berjihad melawan para pendurhaka atau melawan para pembangkang zakat.
       Kata “ar-riqaab” yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini dikembangkan sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leheer mereka. Kata fi yang mendahului kata ar-riqaab mengesankan bahwa harta zakat yang merupakan bagian mereka itu diletakkan dalam wadah yang khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar ini, harta tersebut tidak diserahkan kepada mereka pribadi, tetapi disalurkan untuk melepas belenggu yang mengikat mereka itu. Sementara ulama terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya atau yang diistilahkan dengan mukatib. Ini antara lain pendapat Imam Syafi’i. Adapun Imam Malik, menurutnya, yang dalam proses memerdekakan diri tidak diberikan dari bagian ini, tetapi dari bagian al-gharimin, yakni orang-orang yang dililit hutang. Bagian fi ar-riqab menurutnya diberikan untuk membeli budak kemudian memerdekakannya. Madzhab Abu Hanifah membenarkan memberi untuk kedua jenis hamba itu, namun bagian ini tidak diberikan untuk memerdekakan secara utuh tetapi sekadar memberi bantuan untuk tujuan tersebut.
       Kata al-gharimiin adalh bentuk jamak dari kata gharim, yakni “yang berutang”, atau yang dililit hutang sehingga tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Jika ia tidak memiliki, maka ia termasuk kelompok fakir miskin. Tentu saja yang berhak menerima bagian ini bukanlah mereka yang berfoya-foya apalagi menggunakannya untuk kedurhakaan. Ketetapan hukum menyangkut al-gharimin itu merupakan rahmat dan bantuan, baik untuk yang berutang maupun yang memberinya. Imam Syafi’i dan Ahmad Ibu Hanbal membenarkan juga memberi ganti dari zakat bagi siapa yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau kepentingan umum.
       Ulama berbeda pendapat tentang yang wafat dan meninggalkan utang, apakah dapat diambilkan dari bagian al-gharimin atau tidak. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan, bahkan beliau mensyaratkan pemberian bantuan dari zakat bagi yang berutang hanyalah siapa yang terancam dipenjara bila tidak membayar utangnya. Ulama lain membolehkan bagi siapa yang telah wafat untuk dibayarkan utangnya dari uang zakat jika ia tidak meninggalkan harta warisan.
       Kata fii sabiilillaah dipahami oleh mayoritas ulama dalam arti para pejuang yang terlibat dalam peperangan, baik keterlibatannya langsung maupun tidak. Termasuk pula di dalamnya pembelian senjata, pembangunan benteng, dan lain-lain yang berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Ada juga yang berpendapat bahwa termasuk pula dalam golongan ini yaitu jamaah haji atau jamaah umroh.
       Adapun Ibnu as-Sabiil yang secara harfiah berarti anak jalanan, para ulama dahulu mamahaminya bahwa siapa pun yang kehabisan bekal dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di negeri asalnya. Sementara ulama tidak memasukkan dalam kelompok ini siapa di antara mereka yang kehabisan bekal tetapi dapat berutang. Tetapi, pendapat ini tidak didukung oleh banyak ulama. Mengapa dia harus mengandalkan manusia kalau Allah telah menjaminnya? Begitu tulis al-Qurtubi membantah pendapat tersebut. Adapun anak jalanan yang berada di jalan dan tidak memiliki rumah tempat tinggal sehingga hampir sepanjang hari berada di jalan, mereka tidak termasuk dalam kelompok ini. Mereka berhak mendapat zakat dari bagian fakir dan miskin.
       Demikian kelompok-kelompok orang-orang yang butuh lagi perlu mendapat uluran tangan dari mereka yang mampu.

       Dari sekumpulan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang zakat dan sedekah, dapat disimpulkan bahwa harta benda mempunyai fungsi sosial. Fungsi tersebut diterapkan Allah atas dasar kepemilikan-Nya yang mutlak terhadap segala sesuatu di alam raya ini termasuk harta benda. Di samping berdasar persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan dan berdasar ikhtilaf, yakni penugasan manusia sebagai khalifah di bumi.

0 komentar:

Post a Comment