Wednesday, 28 December 2016

MAKALAH MAQASHID AL SYARI-AH


MAQASHID AL SYARI’AH
MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh Perbandingan
Dosen Pengampu : Prof. Abdul Hadi



Disusun oleh :
Kelompok VI



FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.                   PENDAHULUAN
Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh  seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah,  dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.1
Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid hâjiyat, dan Maqashid tahsînât.
Secara substansial maqasid al-syari’ah mengandung kemashlahatan, baik ditinjau dari maqasid al-syari’ (tujuan Tuhan) maupun maqasid al-mukallaf (tujuan Mukallaf).3 Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid al- Syariah mengandung empat aspek, keempat aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini,[1]
1.      Tujuan hukum syara’.
2.      Dharury, haajiy, tahsiiniy.
3.      Tertib hukum Syara’ menurut tujuannya.
4.      Tingkatan maslahat.
5.      Menghilangkan kesempitan dan menolak bahaya.
Berikut penjelasan dari pokok-pokok di atas secara rinci.







II.                PEMBAHASAN
Tujuan Hukum Syara’
Oleh: Mukharomah (122111099)
Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam islam. Dengan demikian “ pengetahuan tentang maqashid syari’ah  menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya” tentu yang dimaksud hukum disini adalah hukum yang menyangkut bidang muamalah.
Tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat.[2]
Kaidah pertama ini menjelaskan tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukum-hukum syara’; baik berupa hukum taklifi maupun hukum wadh’i dan menjelaskan tingkatan hukum berdasarkan tujuannya. Mengetahui tujuan umum syari’ dalam pembentukan hukumnya adalah diantara hal penting untuk membantu memahami  nash-nashnya dengan pemahaman yang benar dan menerapkannya terhadap kejadian, serta mengeluarkan hukum atas peristiwa yang tidak ada nashnya.[3]
Tujuan umum pembentukan hukum adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan dhaururiyyah (primer), haajiyah (sekunder), tahsiiniyyah (pelengkap).[4] Ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut:
a.       Memelihara agama (al- muhafazhah ‘ala al-diin)
        Agama adalah merupakan persatuan aqidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. Untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan antara sesama manusia. Islam lantaran mewujudkan dan mendirikan agama telah mensyari’atkan kewajiban dan lima hukum fundamental yang merupkan sendi islam. Juga aqidah - aqidah lain dan pokok-pokok ibadah yang disyari’atkan oleh syari’ dengan tujuan menegakkan agama dan meneguhkannya dalam hati dan mengikuti hukum, yang manusia tidak bisa baik kecuali lantaran hukum-hukum itu.[5] 
b.      Memelihara jiwa (al- muhafazhah ‘ala al-Nafs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf, mencaci maki serta perbuatan- perbuatan serupa.
c.       Memelihara akal (al-muhafazhah ‘ala al’aql)
Terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak berguna dimasyarakat, menjadi sumber kejahatan, bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang dilakukan syari’at islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkat kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakan.
d.      Memelihara keturunan (al- muhafazhah ‘ala al-Nasl)
        Jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasaan yang memadai
e.       Memelihara harta
        Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem mu’amalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara proposional melalui cara-cara yang halal.




            Dharury, Haajiy
Oleh: Muhammad Rizal Syauqi (122111096)

Apa yang disyari’atkan islam terhadap dharuriyah manusia?
               Hal-hal yang bersifat dharuriy manusia, seperti yang telah diuraikan, bertitik tolak pada lima hal, yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Apa yang disyari’atkan islam terhadap haajiyah manusia ?
Hal-hal yang bersifat sekunder, bertitik tolak pada suatu yang dapat menhilangkan kesempitan, meringankan beban yang menyulitkan, dan memudahkan jalan-jalan mu’amalah serta mudharabah bagi mereka.
Islam mensyari’atkan dalam ibadah berupa hukum rukhsoh (keringanan atau kelapangan), untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesulitan dalam melaksanakan hukum ‘azimah. Islam memperbolehkan berbuka puasa pada siang hari bagi yang sakit atau musafir, qoshor shalat empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musyafir, dan shalat dengan duduk bagi yang tidak mampu berdiri, dan hukum-hukum rukhshoh lain yang disyari’atkan untuk menghilangkan kesempitan manusia dalam melaksanakan ibadah.
Dalam mu’amalah Islam mensyari’akan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia seperti jual beli, sewa menyewa, mudhorobah, dan beberapa hukum rukhsoh dalam akad yang tidak tertutup dikembangkan melalui qiyas.
Dalam lapangan uqubah (pidana), Islam menyari’atkan tututan diyat (dengan tebusan) kepada aqilah (keluarga pembunuh dari jurusan ayah) untuk meringankan pembunuhan secara tidak sengaja. Islam juga menolak pelaksanaan hukum had karena belum jelas dan memberikan kepada wali terbunuh hak mengampuni pelaksanaan hukum qishosh terhadap pembunuh.
Sebagai tujuan, hukum-hukum yang berupa meringankan dan menghilangkan kesempitan, ialah suatu yang berbarengan dengan hukum-hukum itu, bila berupa ‘illat maupun hikmah pembentukan hukum.
Tahsiniy
Oleh: Nurul Aini Mulihatin ( 122111110 )
Apa yang disyari’atkan Islam terhadap Tahsiniyah manusia ?
Hal-hal yang bersifat kebutuhan manusia, seperti telah diuraikan didepan, bertitik tolak pada suatu yang membuat indah kondisi manusia, juga membuat hal itu sesuai dengan tunutan norma dan akhlak mulia. Dalam berbagai masalah ibadah, mu’amalah dan uqubah, islam mensyari’atkan beberapa hukum yang beorientasi kepada sesuatu yang membantu yang membuat elok dan indah. Hukum-hukum ini dapat membalas manusia kepada jalan yang paling baik dan paling benar.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyari’atkan bersuci badan, pakaian, tempat, penutup aurat, menjaga dari semua najais dan membersihkan diri dari air kencing, Islam menganjurkan berhias ketiak hendak ke masjid, juga menganjurkan  menambah ibadah sunat dengan shodaqoh, shalat, dan puasa. Semua itu dilakukan bersama rukun dan syarat-syaratnya sebagai tata krama untuk mengerjakan semua itu. Hal ini bertujuan untuk membiasakan manusia pada kebiasaan-kebiasaan yang paling baik.
Dalam lapangan mu’amalah, Islam mengharamkan tipu daya, pemalsuan, penipuan, melampaui batas, dan kikir terhadap diri sendiri, melarang penggunaan setiap suatu yang dinggap najis dan bahaya.
Dalam lapangan uqubah (pidana). Islam melarang membunh para perdata, anak-anak dan kaum wanita. Pada waktu terjadi peperangan “Islam melarang penyiksaan dan hiyanat” melarang membunuh yang tidak senganja, dan membakar hidup-hidup atau sudah mati. Dalam lapangan akhlaq dan sandi-sandi keutamaan, Islam telah menetapkan/mengajarkan hal-hal yang dapat mendidik individu dan masyarakat, agar dapat berjalan bersama pada jalan yang paling lurus.
Allah Swt, sendiri telah menunjukan maksudnya terhadap tahsin dan tajmil ini dengan berbagai illat dan hikmah yang diparelkan bersama dengan berbagai hukum-Nya sperti firman-Nya :
$tB... ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR ...

“ Tetapi Dia (Allah) hendak mmebersihkan kamu dari menyempurnakan nai’mat-Nya bagimu”. (Q.S. Al-Maidah : 6)

Dan sabda Rasulullah :
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِاُتَمِمَّ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“Saya hanya diutus untuk menyempurnakan khalak mulia”.
Juga sabda beliau :
اِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ اِلَّا طَيِّبًا
“ Sesungguhnya Allah Swt. Itu suci. Dia tidak menerima kecuali sesuatu yang baik atau suci”.
Melihat hukum-hukum syara’ bersama ‘illat dan hikmah pembentukan hukum-hukumnya dalam berbagai bab dan peristiwa, dapat menghasikan kesimpulan bahwa syari’at Islam itu dalam pembentukan hukumnya tidak lain bertujuan untuk memelihara kepentingan manusia, kepentingan sekunder dan kepentinagan pelengkapnya.
Hikmah syari’at Islam dalam hal ini diinginkannya berupa memelihara tiga kepentingan manusia, yang menghendaki jalan yang paling sempurna. Jika syari’ dengan hukumnya dapat memelihara setiap tiga macam kepentingan itu, maka Islam mensyari’atkan hukum-hukum yang dianggap menyempurnakan tiga kepentingan tersebut dalam merealisir tujuan-tujuannya.
Dalam berabagai kepentingan pokok, ketika Islam mensyari’atkan shalat untuk memelihara agama, disyari’atkan pula melaksanakanya secara berjama’ah dan memberitahukan datangnya waktu shalat itu dengan adzan, supaya dalam  mendirikan agama dan memeliharanya lebih sempurna lantaran dibarengi dengan menampakan syari’ah agama yaitu berkumpulnya umat Islam untuk mengerjakan shalat.
Islam mewajibkan hukum qishosh untuk memelihara jiwa, karena itu disyaria’akan pula pelaksanaannya yang seimbang dan sesuai supaya dapat sampai tujuan qishosh tanpa menimbukan permusuhan dan kemarahan. Karena membunuh si pembunuh secara lahir dalam bentuk yang keji dari yang telah dilakukan oleh pembunuh, dapat mendatangkan pertumpahan darah dan merusak tujuan qishoh.
Islam menharamkan zina untuk memelihara kehormatan, karena itu diharamkan pula berduaan bersama wanita bukan muhrim ditempat sunyi, sebagai langkah prefensi Khomr (minuman keras) diharamkan untuk memelihara akal karena itu diharamkan pula khomar yang sedikit, sekalipun tidak memabukkan. Dijadikan sesuatu, yang wajib tidak bisa sempurna kecuali dengan itu maka sesuatu itu itu sebagai wajib hukumnya. Dan segala sesuatu yang bisa mendatangkan kepada yang haram, sebagai haram. Islam mengigatkan beberapa hal yang mubah. Membatasi beberapa hal yang mutlak. Mentakhsis beberapa yang umum. Semua itu adalah untuk menutup kemungkinan yang bisa terjadi. Islam mensyari’atkan pernikahan untuk memperoleh anak dan keturunan, maka disyari’atkan pula kafa’ah (kesamaan martabat) antara mempelai berdua agar menyempurnakan keserasian dan hubungan keluarga yang harmonis. Maka ajaran-ajaran yang oleh Islam disyari’atkan untuk memelihara kepentingan pokok manusia, ajaran-ajaran itu disempurnakan dengan mensyari’atkan hukum-hukum yang dapat merealisir tujuan ini pada jalannya yang paling sempurna.
Perihal kepentingan-kepentingan yang bersifat sekunder, Islam mensyari’atkan macam-macam mu’amalah seperti jual beli, sewa menyewa, perseroan, mudharabat, maka semua itu disempurnakannya dengan melarang menipu, tidak mengetahui atau menjual yang tiada nampak juga dengan menjelaskan syarat-syarat yang menyertai akad yang sah dan tidak sah. Dan hal-hal lain yang dengan itu dimaksudkan dengn mu’amalah itu dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa menimbulkan pemusuhan rasa dengki atau kesal.
Mengenai kepentingan-kepentingan yang bersifat pelengkap, ketika Islam mensyari’atkan bersuci, disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam mengajukan perbuatan sunat, maka Islam menjadikan ketentuan yang didalamnya terdapat ssuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan  amal yang dilaksanakan sebelum sempurna. Barang siapa dapat melakukan renungan terhadap hukum syari’at Islam, maka jelas bagi dia bahwa tujuan seiap hukum yang disyari’atkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia atau kepentingan sekunder atau kepentingan pelengkapnya, dan atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara kepentingan tersebut.[6]

Tertib Hukum Syara’ Menurut Tujuannya
Oleh: Nur Laily Khoiriyah (122111107)

       Setelah dijelakan pengertian dharury, hajiy, dan tahsiniy, maka tampak jelaslah bahwa kepentingan pokok (dharury) itu adalah termasuk di antara tujuan terpenting. Karena tanpa dharury akan berakibat terganggunya keharmonisan dalam prikehidupan, menjalarnya bencana di antara manusia, dan tersia-sianya kemaslahatan mereka. Setelah dharury ialah hajiy, karena hajiy akan berakibat manusia jatuh dalam kesempitan dan kesulitan, serta menanggung kesulitan yang membebani mereka. Berikut setelah hajiy ialah tahsiniy. Karena tanpa tahsiniy, tidak akan berakibat terganggunya keharmonisan hidup dan tidak berakibat jatuhnya manusia dalam kesempitan. Tetapi berakibat manusia berada di luar lingkungan kesempurnaan tatanan hidup dan apa yang dianggap baik oleh akal sehat.
       Dengan demikian, hukum-hukum syara’ yang disyari’atkan untuk memelihara kepentingan pokok, merupakan hukum yang terpenting dan paling berhak untuk dipelihara. Setelah itu hukum-hukum yang disyari’atkan untuk menyempurnakan kepentingan sekunder. Kemudian hukum-hukum yang disyari’atkan untuk kepentingan memperbaiki dan memperindah. Hukum-hukum yang disyari’atkan untuk kepentingan sekunder dianggap sebagai hal yang menyempurnakan hukum yang disyari’atkan untuk memelihara kepentingan pokok.
       Jika di dalam memelihara hukum tahsiniy itu justru merusak hukum dharury atau hajiy, maka hukum tahsiniy tidak perlu dipertahankan. Karena itu diperbolehkan membuka ‘aurat, apabila diperlukan untuk pengobatan atau tindakan yang bersangkut paut dengan luka-luka. Karena menutup ‘aurat adalah tahsiniy, sedangkan pengobatan adalah dharury. Diperbolehkan memakan barang najis, apabila itu merupakan obat atau keadaan terpaksa. Karena menghindari najis adalah tahsiniy, sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharury.
       Hukum hajiy juga bisa ditinggalkan jika di dalam memeliharanya merusak hukum dharury. Untuk itu beberapa kefardhuan dan kewajiban, wajib dilaksanakan oleh seorang mukallaf yang tidak dalam rukhshoh, sekalipun dalam melaksanakannya dirasakan sulit dan berat bagi mereka. Karena setiap pembebanan pasti mengandung beban dan kepayahan. Seandainya selalu dipelihara agar kesulitan apa saja tidak menimpa seorang mukallaf, niscaya beberapa hukum dharury yang berupa ibadah, uqubah, dan lain-lainnya menjadi sia-sia. Karena seetiap perintah atau larangan terhadap mukallaf adalah dalam rangka memelihara dharury, tidak terlepas dari keberadaan dalam melaksanakannya. Tetapi beban keberatan ini pada dasarnya untuk memelihara hukum-hukum dharury bagi orang mukallaf.
       Hukum-hukum dharury wajib dipelihara. Tidak boleh merusak salah satu hukum dari padanya, kecuali bila dalam memelihara hukum dharury itu mendatangkan kerusakan bagi hukum dharury yang lebih penting lagi. Karena itu wajib berjihad untuk memelihara agama sekalipun di sana terjadi pengorbanan jiwa. Karena memelihara agama itu lebih penting dari memelihara jiwa. Hukum ini menyia-nyiakan hukum dharury karena memelihara hukum dharury yang lebih penting
       Menurut dalil teah jelas bahwa tujuan-tujuan syari’ mensyari’atkan hukum, adalah tidak melampaui dari memelihara salah satu di antara tiga kepentingan tersebut, atau menyempurnakannya. Tujuan-tujuan ini dipelihara secara tertib menurut kepentigannya yang lebih penting. Dan atas penertiban itu ditertibkanlah hukum-hukum yang disyari’atkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan itu.
       Berdasarkan kaidah-kaidah pokok  pembentukan hukum yang pertama ini, dibuatlah prinsip-prinsip hukum syara’ secara khusus untuk menghilangkan kesempitan. Dari setiap kesempitan. Dari setiap prinsip itu keluarlah beberapa cabang yang menghasilkan beberapa hukum.[7]

TINGKATAN MASLAHAT
Oleh: Muhammad Zuhudi
Ditinjau dari segi kaedah umum, jelas sekali bahwa maslahat bertingkat-tingkat. Maslahat yang bersifat dharury mesti lebih dahulu diperhitungkan daripada maslahat hajiy. Sebaliknya, maslahat tahsiny diakhirkan dari maslahat dharury dan hajiy.
   Imam Izzuddin Abdus Salam membagi maslahat kepada tiga macam:
               Pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama), dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang padaa dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, daan dapat mendatangkan kemaslahatan paling besar. Kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.
               Sementara itu, kewajiban bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar maslahat yang terkandung di dalamnya. Jika tingkat kemaslahatannya lebih besar, maka kewajibannya untuk dikerjakan lebih kuat dan harus didahulukan.
               Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh syari’ kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya. Tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah.
               Ketiga, maslahat mubah. Baahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzuddin berkata: “Maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung. Sebagian diantaranya lebih bermanfaat dan lebih besar kemaslahatannya. “ Cuma maslahat mubah tidak berpahala. Perkara mubah mengandung maslahat, tetapi berlaku terbatas dan bersifat perorangan. Sedangkan maslahat di dalam perkara wajib dan sunnah tidak bersifat perorangan. Kemaslahatannya tidak saja kembali kepada pelakunya, tetapi juga kepada masyarakat luas.[8]

MENGHILANGKAN KESEMPITAN DAN MENOLAK BAHAYA
Oleh: Muhammad Muhlisin (122111094)

               Jika maslahat menjadi tujuan hukum taklifi dan hukum wadh’i di antara keduanya terdapat keterkaitan erat maka dengan demikian hukum syar’i semuanya amat memperhatikan kemaslahatan pribadi seseorang. Kemaslahatan pribadi ini tidak bisa ditinggalkan kecuali apabila berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar, atau apabila kemaslahatan pribadi merugikan orang lain.[9] Misalnya, seseorang memakan harta orang lain demi menutupi kebutuhan pribadinya.
               Karena itulah, Islam menetapkan bahwa apabila kepribadian seseorang terancam dalam keadaan darurat yang tidak bisa dihindari kecuali dengan meraih barang terlarang yang bukan hak orang lain, maka ia boleh mengambil barang terlarang itu, bahkan wajib. Para ulama fiqh telah membuat kaedah: “adh-dharurah tubihu al-mahzhurat” (keadaan darurat bisa menyebabkan diperbolehkannya meraih barang terlarang). Bahkan pada kondisi tertentu, meraih barang yang semula dilarang menjadi wajib. Syaratnya apabila tidak mengambil hak orang lain atau tidak termasuk perbuatan yang oleh Islam dijanjikan akan mendapat pahala jika dihadapi dengan penuh kesabaran. Karena itu, Allah SWT berfirman:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah: 173)
Dengan demikian bangkai, daging babi dan darah diharamkan karena mengandung bahaya kematian lebih berat di banding bahaya memakan. Karena itu, memakan makanan tersebut menjadi wajib hukumnya.
               Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusia. Islam tidak menetapkan taklif atas manusia kecuali taklif yang mampu mereka di kerjakan dan bisa di jalani secara kontinyu. Dengan demikian, taklifi syar’i secara umum merupakan taklif yang tingkat kesulitannya dapat di atasi dengan cara menjalaninya secara kontinyu. Sebab kemaslahatan yang bisa terealisir melalui taklif tidak akan terwujud kecuali ditempuh dengan mengerjakannya secara kontinyu. Jika di situ terdapat taklif di atas kesulitan yang wajar seperti perintah berpegang dijalan Allah, maka taklif itu tidak berlaku untuk semua orang dan tidak termasuk yang dituntut dikerjakan secara kontinyu.[10]
               Kegunaan lain, taklif tersebut dapat dikerjakan secara terus-menerus. Karena itu, Allah SWT menghilangkan kesempitan dengan rukhshah (kemurahan) agar dapat dikerjakan terus. Firman Allah:
3... ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ...
Artinya: “Allah menghendaki kelanggaran bagimu, dan tidak menghendaki kesempitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
               Begitulah para ulama telah mengambil dari ayat-ayat Al-Qur’an kaidah yang bertujuan mengambil maslahat dan menolak bahaya. Hal itu bukanlah berarti suatu upaya meniadakan nash, karena ia tidak mampu mewujudkan kemaslahatan. Bagaimanapun kemaslahatan harus sesuai dengan nash, karena kemaslahatan yang bertentangan adalah rekayasa nafsu dan fikiran manusia, yang berarti menetapkan keinginan nafsu terhadap ketetapan nash.

III.             KESIMPULAN

Tujuan umum pembentukan hukum adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan dhaururiyyah (primer), haajiyah (sekunder), tahsiiniyyah (pelengkap).
Hal-hal yang bersifat dharuriy manusia, seperti yang telah diuraikan, bertitik tolak pada lima hal, yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.
Hal-hal yang bersifat sekunder, bertitik tolak pada suatu yang dapat menhilangkan kesempitan, meringankan beban yang menyulitkan, dan memudahkan jalan-jalan mu’amalah serta mudharabah bagi mereka.
Hal-hal yang bersifat kebutuhan manusia, seperti telah diuraikan didepan, bertitik tolak pada suatu yang membuat indah kondisi manusia, juga membuat hal itu sesuai dengan tunutan norma dan akhlak mulia. Dalam berbagai masalah ibadah, mu’amalah dan uqubah, islam mensyari’atkan beberapa hukum yang beorientasi kepada sesuatu yang membantu yang membuat elok dan indah. Hukum-hukum ini dapat membalas manusia kepada jalan yang paling baik dan paling benar.













DAFTAR PUSTAKA


Khallaf, Abd Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Khalaf, Abdul Wahhab, alih bahasa: Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqih, Bandung: Gema Rima press,  1996.
http://hukum.kompasiana.com, diakses pada: 2 Desember 2014,  jam: 21.40 WIB. http:/stitattaqwa.blogspot.com
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.



[1] http://hukum.kompasiana.com, diakses pada: 2 Desember 2014,  jam: 21.40 WIB.
[2] http:/stitattaqwa.blogspot.com
[3] Abd Wahhab Khallaf, ilmu ushul fiqh, Pustaka Amani, Jakarta: 2003, hlm. 292.
[4] Ibid., hlm. 291.
[5]  Abd Wahhab Khallaf,  Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung : Gema Risalah Press, 1985, hlm. 139.
[6] Abdul Wahab Khalaf, alih bahasa: Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqih, Bandung: Gema Rima press,  1996, hlm. 358-367.
[7] Ibid., hlm. 367-369.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 557-559.
[9] Ibid., hlm. 561.
[10] Ibid., hal. 563.

0 komentar:

Post a Comment